Nama-Nama yang Dicuri Dalam Tragedi El Estadio Nacional del Peru 1964

Cerita

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Nama-Nama yang Dicuri Dalam Tragedi El Estadio Nacional del Peru 1964

Oleh: Hari Hartanto

Peru, 24 Mei 1964.

Hingga menit ke-79, 53.000 penonton yang hadir di El Estadio Nacional del Peru sedang dilanda kecemasan. Papan skor menunjukan angka 0-1 untuk kemenangan Tim Nasional Argentina. Jika kedudukan itu terus bertahan, bisa dipastikan mimpi masyarakat Peru untuk menyaksikan tim kebanggan mereka berlaga di Olimpiade Tokyo 1964 lenyap tak bersisa.

Satu menit berselang, sebuah serangan cepat datang dari sisi kanan Peru. Nongo Rodríguez yang bebas dari kawalan langsung mengirimkan umpan silang ke area kotak penalti Argentina.

Di bangku penonton, para suporter yang sebelumnya tertunduk lesu, sontak saja berdiri menanti-nanti. Beberapa menaruh kedua tangannya di kepala, sebagian lainnya menghentak-hentakan kaki untuk meredakan ketegangan. Balon harapan pun menggelembung: apakah ia akan meledak dan menghasilkan konfeti kebahagiaan atau mengempis mengeluarkan gas kekecewaan?

Sementara itu di lapangan, Victor `Kilo` Lobaton yang dikenal sebagai pelari cepat dan sayap handal, berlari dari sisi kiri tanpa terlihat barisan bek belakang Argentina karena sibuk dengan kemelut di depan gawang. Ketika salah satu bek Argentina, Horacio Morales, berusaha menyapu bola, tidak disangka-sangka Lobaton sudah ada di sebelahnya. Lobaton mengayunkan kaki kanannya, bola berhasil diblok dan memantul menuju gawang Argentina. Gol itu mengubah skor menjadi 1-1 sehingga stadion pun bergemuruh.

Kala stadion masih mengalami gempa lokal akibat tarian kegilaan suporter, tiba-tiba wasit Ángel Eduardo Pazos mengarahkan telunjuknya ke area penalti. Dia menganggap Lobaton mengangkat kaki terlalu tinggi. Gol itu pun dianulir.

"Saat itu, lima puluh ribu orang meneriakkan Peru! Peru! Peru! Dan mereka tidak bisa mendengar suara peluit," kata Pazos dalam wawancara dengan majalah sepak bola Chile, Gol Y Gol (1964). "Tapi saya tidak gentar karena permainan sebelumnya batal demi hukum."

Sebagian penonton tidak terima dengan keputusan kontroversial wasit. Seorang suporter bernama Víctor Vásquez atau lebih dikenal sebagai Negro Bomba kemudian memutuskan menginvasi lapangan sambil menenteng sebuah botol, disusul satu penonton lain yang bernama Edilberto Cuenca. Keduanya berusaha mengejar dan memukul wasit. Polisi berhasil mencegah keduanya.

Tapi rupanya menangkap mereka saja tidak cukup, polisi harus memukuli dan menendang mereka secara bergantian. Saat dua orang itu mulai terhuyung, aparat keamanan membiarkan anjing polisi merobek pakaian mereka. Adegan itu adalah awal mula petaka.

"Polisi tidak melepas anjing mereka tetapi membiarkan mereka merobek pakaiannya," ungkap pemain Peru yang kala itu ikut bertanding, Hector Chumpitaz, seperti dikutip BBC.com (2014). "Polisi kami sendiri menendangnya dan memukulinya seolah-olah dia adalah musuh," timpal salah seorang suporter yang hadir kala itu, Jose Salas.

Menyaksikan sesama mereka diperlakukan secara brutal, ribuan suporter di tribun langsung mengamuk. Mereka mencopot kursi yang menempel di stadion dan melempari apa saja yang mereka temukan ke lapangan. Sementara belasan lainnya turun mengejar polisi untuk meluapkan amarah.

Merasa kewalahan, Commander of the Lima Civil Guard yang bertugas memimpin pengamanan pertandingan kala itu, Jorge de Azambuja, memerintahkan anak buahnya untuk mengambil langkah agresif. "Saya memerintahkan gas air mata untuk dilemparkan ke tribun. Saya tidak bisa mengatakan detail jumlahnya. Saya tidak pernah membayangkan konsekuensi yang mengerikan", ungkap Jorge de Azambuja, seperti dikutip Revistalibero.

Hanya dalam hitungan menit, El Estadio Nacional del Perú berubah dari Pesta Valhalla yang hingar bingar menjadi Kiamat Ragnarok yang mencekam.

Di bagian tribun penonton, puluhan ribu suporter mengalami kepanikan massal setelah secara bertubi-tubi gas beracun menghampiri mereka. Sebagian memanjat ke sisi tertinggi stadion untuk menghindarinya, lainnya merangsek ke lapangan. Tapi yang terbanyak adalah mereka yang berlarian menuju pintu keluar. Sialnya, pintu keluar masih tertutup rapat.

Héctor Chumpitaz bahkan mengibaratkan gerbang-gerbang stadion layaknya perut calon ibu yang tak kunjung bisa mengeluarkan bayi. Hanya ada kematian dan kematian.

Sementara di dalam stadion para suporter bertaruh nyawa dengan gas air mata dan injakan kaki sesama mereka. Sementara di luar stadion, terjadi pertempuran mengerikan antara suporter dan pihak kepolisian. Mobil-mobil dibakar, toko dijarah, dan tembakan peluru berdesingan.

"Aku bisa melihat, mengintip melalui dinding di samping kamar mandi bagaimana mereka menggantung petugas di pohon", kenang kompatriot Chumpitaz, Inocencio La Rosa, dalam wawancara dengan Koran El Comercio (2009).

Nama-Nama yang Dicuri

Dalam laporan resmi pemerintah, terdapat 328 orang meninggal dan 500 lainnya luka-luka. Hakim Benjamin Castaneda yang bertugas melakukan investigasi, meragukan hal tersebut karena tidak menghitung korban yang meninggal akibat tembakan peluru.

Castaneda dalam kerjanya menerima banyak laporan masyarakat yang menyaksikan mayat-mayat dengan luka tembak, namun dirinya selalu gagal menemukan bukti. Setiap kali dia bergegas ke rumah sakit untuk memverifikasi laporan tersebut, mayat-mayat itu sudah dibawa pergi sesaat sebelum dia tiba. Ada kecurigaan yang kuat tentang pemindahan rahasia oleh pihak kepolisian.

Jurnalis Peru, Efraín Rúa, dalam bukunya El Gol de La Muerte (2014) juga dalam Thesisnya Análisis del diario La Prensa: La objetividad periodística en la cobertura de la tragedia del Estadio Nacional Año 1964 (2016), mengisahkan bahwa pada momen-momen genting itu setidaknya terdapat 25 orang tahanan yang kabur dari Palace of Justice tanpa seorang tahu bagaimana itu bisa terjadi.

Desas-desus berkembang di masyarakat bahwa para penjahat itu sengaja dibebaskan untuk membantu polisi mengumpulkan mayat yang berserakan di jalan-jalan dan menguburkannya di Callao, sebuah area pelabuhan yang berjarak sekitar tiga belas kilometer dari El Estadio Nacional del Perú.

Sayangnya kisah kuburan massal di Callao tidak pernah benar-benar dikonfirmasi, apalagi menjadi landasan awal bagi pihak berwenang melakukan penyelidikan. Kisah ini hanya berakhir menjadi mitos yang menghantui masyarakat Peru dari satu generasi ke generasi berikutnya.

"Kematian itu tidak pernah diselidiki. Gas air mata dilemparkan ke tribun, tembakan dilepaskan di jalan-jalan, dan mayat-mayat hilang. Ini adalah bagian dari sejarah sepakbola Peru dan juga sepak bola Argentina,” kata Rúa seperti dikutip Koran Tiempo Argentino (2017). "Ini adalah kisah yang sedikit diingat dan memiliki banyak aspek gelap".

Dalam laporannya—yang akhirnya ditolak pemerintah—Castaneda juga menuding bahwa tragedi ini adalah sebuah desain yang dirancang Menteri Dalam Negeri Peru, Juan Languasco, dalam rangka menghancurkan moral masyarakat yang sedang terbakar api perubahan.

Pada tahun-tahun itu Peru memang sedang memanas karena harga pangan meroket dan masyarakat kesulitan mengakses pekerjaan. Pemogokan terjadi di banyak tempat. Sementara di Andes, protes petani mulai bertransformasi menjadi gerakan politik yang lebih serius. Upaya unjuk kekuatan perlu dilakukan untuk membuat masyarakat belajar, lewat darah dan air mata.

Sebagai respon tuduhan Castaneda, pemerintah menuduh kelompok Trotskyst berada di balik kekerasan yang dilakukan suporter di stadion. Tarik menarik kepentingan ini membuat fakta dan keadilan tidak pernah terungkap.

Melampaui Sepakbola

Penyesalan, bagaimanapun, tidak hanya menghantui masyarakat Peru. Kendati bisa pulang dengan selamat ke Uruguay, namun wasit Ángel Eduardo Pazos tidak pernah bisa melupakan kejadian paling mengerikan dalam hidupnya itu. Setibanya di rumah, Pazos langsung mengurung diri berhari–hari.

Ketika keberanian mulai muncul, dia memutuskan menemui pendeta untuk berkonsultasi atas apa yang baru saja dia lewati. “Saya ingin meyakinkan diri saya sendiri bahwa itu bukan kesalahan saya, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa pers Peru. Betapa tidak adil dan mengerikannya semua itu!" katanya kepada Gol Y Gol (1964).

Namun, semakin keras dia berusaha meyakinkan diri bahwa dirinya tidak bersalah, rasa bersalah itu justru semakin menggerogoti jiwanya. "Jika saya tahu bahwa badai manusia akan pecah, saya akan menghadiahkan ribuan gol kepada Peru, melawan semua hukum permainan dan melawan suara hati saya sebagai seorang profesional," sesalnya.


Sejalan dengan Pazos, pelatih Argentina kala itu, Ernesto Duchini, mengaku lebih baik timnya menanggung kekalahan ketimbang mendapati ada ratusan orang tidak kembali ke rumah mereka hanya demi menonton sepakbola. "Saya mendambakan kemenangan, tetapi dengan harga sebesar ini saya lebih suka kekalahan yang paling memalukan".

Hari Hartanto, konten kreator, tinggal di Kota Depok. Bisa dihubungi lewat akun Twitter @hariordie

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi

dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar