Memahami Ironi Fair Play Jepang

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Memahami Ironi Fair Play Jepang

Jepang lolos ke babak 16 besar. Mereka melaju setelah menang atas Senegal dalam hitung-hitungan peraturan fair play yang diterapkan FIFA. Permasalahannya, cara mereka bermain melawan Polandia justru dianggap mencederai norma fair play itu sendiri.

Begitu wasit meniupkan peluit panjang terakhir di Arena Volgogard pada Kamis (29/6/2018) waktu setempat, raut wajah pemain Jepang menunjukkan kecemasan. Mereka tetap berada di atas lapangan, menantikan kabar hasil pertandingan Senegal vs Kolombia di Arena Samara yang digelar pada waktu bersamaan.

Tak berapa lama kemudian, senyum dan tawa pecah di antara skuat Samurai Biru. Mereka menjadi satu-satunya wakil Asia di fase gugur berkat peraturan fair play.

Sebelum pertandingan melawan Polandia digelar, Jepang tahu bahwa mereka sedikit berada di atas angin ketimbang Senegal. Bukan karena unggul poin atau selisih gol, melainkan karena mengoleksi kartu lebih sedikit.

Dalam dua pertandingan pertama, Jepang total mendapatkan tiga kartu kuning (masing-masing untuk Makoto Hasebe, Takashi Inui, dan Eiji Kawashima). Adapun Senegal mencatatkan lima kartu kuning(masing-masing untuk Cheikh Ndoye, Youssouf Sabaly, Mbaye Niang, Salif Sane, dan Idrissa Gueye).

FIFA memang menjadikan jumlah kartu sebagai bahan untuk menentukan peringkat di fase penyisihan grup. Kartu kuning berarti -1, kartu merah (kuning 2x) berati -3, dan kartu merah langsung berarti -4. Tim dengan minus paling sedikit berhak menempati posisi yang lebih baik.

Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh skuat asuhan pelatih Akira Nishino di 10 menit terakhir pertandingan.

Ketika Jan Bednarek mencetak gol pada menit ke-59, situasinya tidaklah menguntungkan untuk Jepang karena di saat bersamaan skor antara Senegal vs Kolombia masih imbang tanpa gol. Namun setelah mengetahui bahwa Kolombia unggul berkat gol Yerry Mina pada menit ke-74, Nishino bergerak cepat.

Sang pelatih menarik keluar penyerang Yoshinori Muto pada menit ke-82. Ia memasukkan Hasebe untuk mempertebal lini tengah, sekaligus menyampaikan pesan kepada para pemain yang lain: jangan mengambil risiko dan jangan sampai mendapatkan kartu kuning.

Alhasil, pertandingan berjalan monoton: oper, oper, dan oper. Tidak ada perebutan bola 50-50. Tidak ada tendangan ke gawang, pelanggaran, atau sepak pojok terhitung sejak Hasebe memasuki lapangan hingga laga berakhir.

Berdasarkan statistik Opta, dalam lima menit terakhir pertandingan bola berada di lapangan tengah sebanyak 86,5%, di wilayah pertahanan Jepang 11,1%, dan di wilayah pertahanan Polandia hanya 2,45%. Hasebe dkk. sama sekali tidak menyentuh bola di sepertiga akhir lapangan!

36 Tahun Lalu di Gijon

Kebijakan `game management` yang diambil oleh Nishino tetap menuai kritik tajam. Dengan menginstruksikan para pemain untuk bermain aman dan tidak mengincar kemenangan, ia dianggap menginjak-injak nilai fair play. Polandia, yang juga bermain tanpa semangat tinggi karena sudah pasti tersingkir, juga tak lepas dari makian.

"Ini adalah hal memalukan. Piala Dunia berjalan menakjubkan sejauh ini, namun sedikit dicemari oleh Polandia dan Jepang," tutur mantan kapten Inggris, Terry Butcher,, kepada BBC.

Manajer Irlandia Utara, Michael O`Neill, mengaku tidak paham alasan seorang pelatih mempertaruhkan nasib timnya di lapangan lain.

"Saya berharap Jepang babak belur di putaran berikutnya," kata O`Neill. "Hal ini seperti membuat Anda kembali menyaksikan laga pada 1982."

Laga yang dimaksud oleh O`Neill adalah laga antara Jerman Barat dengan Austria yang digelar di Stadion El Molinon, Gijon, Spanyol dalam Piala Dunia 1982.

Jerman berada di posisi sulit menjelang pertandingan. Mereka hanya mengoleksi tiga poin dalam dua laga pertama (kalah dari Aljazair dan menang atas Cile). Mereka bisa lolos dari fase grup asalkan menang atas Austria.

Adapun Austria memuncaki grup dengan koleksi enam poin. Mereka unggul selisih gol atas Aljazair yang juga memiliki perolehan poin sama.

Jerman sudah unggul melalui gol Hrost Hrusbech ketika laga baru berjalan 10 menit. Alih-alih meningkatkan tekanan untuk mengejar ketertinggalan, Austria justru bermain pasif.

Alasan utama Austria tidak keluar menyerang adalah karena jika Jerman menang dengan selisih minimal tiga gol, maka mereka yang tersingkir dari Piala Dunia.

Skor 1-0 bertahan hingga laga berakhir. Para pemain Jerman dan Austria, yang sebelumnya dikenal sebagai seteru abadi, justru saling berangkulan bertukar tawa ketika menuju ruang ganti.

Di tribun, Para penonton kesal karena pertandingan berjalan membosankan. Teriakan "Fuera! Fuera!" ("Keluar! Keluar!") dan "Argelia! Argelia!" (Aljazair! Aljazair!) dikumandangkan oleh warga Spanyol yang jijik dengan permainan kedua tim.

Skandal ini dikenal dengan nama Schande von Gijón; Disgrace of Gijon. Serial animasi ternama The Simpsons bahkan sampai menjadikan peristiwa ini sebagai inspirasi cerita ke dalam salah satu episode mereka (meski tidak pernah ada konfirmasi dari rumah produksi).

Aljazair sempat mengirimkan protes ke FIFA. Mereka menuntut Jerman dan Austria didiskualifikasi.

FIFA tidak menemukan kesalahan. Namun, untuk menghindari `main mata` kembali terulang di masa mendatang, dibuatlah keputusan bahwa laga teraakhir fase penyisihan grup digelar secara bersamaan.

Tahun 2018 di Rusia

Yang membuat situasi lebih rumit, permasalahan tidak berhenti hanya sekadar hitung-hitungan kartu dan peraturan fair play.

Fakta bahwa Senegal tersingkir akibat jumlah kartu seakan menjadi legitimasi stereotip bernada rasialis bahwa tim-tim Afrika bermain dengan mengandalkan fisik, bukan otak dan teknik.

Sebelum menghadapi Jepang, pelatih Senegal Aliou Cisse mendapatkan pertanyaan perihal laga antara Jepang dengan Senegal adalah laga tentang otak vs otot.

"Kualitas fisik Senegal melawan kualitas teknik Jepang. Saya tidak ingin mendeskripsikannya seperti itu," tutur Cisse. "Mereka tahu cara menekan lawan yang memegang bola, jadi mereka pasti kuat. Kami sendiri punya individu-individu dengan kualitas teknik yang lebih baik dari rata-rata. Kami akan membuktikannya."

Apa daya. Dalam pertandingan tersebut Jepang hanya mendapatkan dua kartu kuning, sedangkan Senegal tiga kartu. Sebuah hal yang sedikit banyak berperan atas kegagalan mereka melaju ke fase gugur.

Melihat cara laga Jepang vs Polandia berjalan, kegagalan ini terasa semakin menyakitkan bagi Senegal. Cisse bahkan mengatakan lebih memilih cara lain untuk tersingkir.

"Senegal tidak lolos bukan karena tidak pantas. Inilah hidup. Poin fair play adalah salah satu peraturan dan peraturan ini ada di regulasi turnamen. Kami harus menghormatinya," kata Cisse.

Nishino sendiri mengaku tidak puas dengan cara mereka lolos. Namun, Belgia telah menanti di babak 16 besar dan rasanya tidak ada hal lain yang pantas dilakukan selain bersyukur.

"Bagaimana jika kami kemasukan gol lagi dan skor menjadi 0-2? Kami berhasil melaju. Maka, mungkin ini adalah keputusan tepat," ujar pria berusia 63 tahun itu.

Apa yang dilakukan Nishino mungkin menjadi ironi bagi fair play yang memuluskan langkah Jepang. Akan tetapi strategi mengulur-ulur waktu merupakan strategi tersendiri dalam sepakbola.

Ada risiko dalam menerapkan strategi mengulur-ulur waktu. Bisa saja saat kehilangan bola justru mengakibatkan terciptanya gol untuk lawan. Atau dalam kondisi Jepang, jika Senegal nyatanya bisa mencetak gol penyama kedudukan dan pertandingan melawan Kolombia berakhir imbang, Jepang akan tersingkir karena Kolombia akan unggul selisih gol dari Jepang yang poinnya sama sementara Senegal menjadi juara grup. Strategi mengulur-ulur waktu bisa menjadi bumerang.

Lagipula, jika ada kesebelasan yang paling pantas mengambil keuntungan dari peraturan fair play, maka mereka adalah Jepang. Mereka hanya mencatatkan 28 pelanggaran sepanjang fase penyisihan grup, paling sedikit di antara tim-tim di Grup H.

Soal permainan negatif yang dimainkan, rasanya kita tidak bisa berbuat banyak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Jepang pun sadar dengan risiko yang ada. Namun mereka menjadi kubu yang diuntungkan kali ini. Keputusan mengambil risiko yang mereka pilih berjalan sesuai rencana.

Komentar