Sejarah Fair Play yang Melahirkan Aturan Poin Fair Play

Cerita

by redaksi

Sejarah Fair Play yang Melahirkan Aturan Poin Fair Play

Fair play cukup melekat dalam diri Jepang. Sebelum Piala Dunia 2018, Jepang sudah dua kali mendapatkan penghargaan fair play dari FIFA.

Yang pertama didapatkan Jepang pada Piala Dunia 2002 ketika mereka bersama Korea Selatan dinobatkan sebagai inspirasi atas kerjasama yang baik antara dua negara tuan rumah dalam menyelenggarakan Piala Dunia (dua negara dikenal "bermusuhan" di luar sepakbola). Lalu pada 2011 saat mereka menjadi contoh sebagai negara yang mampu tetap berprestasi, menjuarai Piala Dunia Perempuan, padahal di saat yang sama mereka baru saja mendapatkan bencana gempa yang dahsyat.

Kali ini fair play kembali menaungi Jepang. Negeri Matahari tersebut melaju ke babak 16 besar Piala Dunia 2018 dengan poin fair play. Poin fair play tersebut menyelamatkan mereka yang menelan kekalahan di laga terakhir dari Polandia. Di saat yang sama Senegal takluk dari Kolombia.

Sejatinya poin yang dimiliki Jepang sama dengan yang diraih Senegal. Pun begitu dengan selisih gol, produktivitas gol dan head-to-head. Di sinilah poin fair play mengunggulkan Jepang.

Poin fair play ditentukan dari jumlah kartu kuning dan kartu merah yang didapatkan sebuah kesebelasan. Yang lebih sedikit diganjar kartu dianggap lebih lebih fair play. Akan tetapi apa yang tersaji pada laga Jepang melawan Polandia menjelang menit akhir membuat keunggulan fair play yang didapatkan Jepang menjadi agak tercoreng di mata sejumlah pihak.

Sejarah Fair Play Melahirkan Aturan Poin Fair Play

FIFA selaku federasi tertinggi sepakbola dunia sudah menggaungkan azas fair play sejak 1987. Slogan My Game is Fair Play pun mulai menggema hampir di semua pertandingan sepakbola di seluruh dunia. Tujuannya agar sepakbola tetap mengedepankan olahraga di atas segala rivalitas atau pertemuan dua kubu yang berusaha saling mengalahkan.

Fair play ini mencakup di dalam dan di luar lapangan. Dalam FIFA Fair Play Code, fair play sendiri merujuk pada upaya setiap pemain untuk membuat sepakbola lebih baik. Untuk di luar lapangan, FIFA ingin sepakbola tidak merugikan pihak-pihak tertentu dan membasmi hal-hal negatif. Fair play maknanya mulai meluas di luar lapangan lewat aksi-aksi amal yang pada intinya sepakbola bisa membuat dunia menjadi lebih baik.

Walaupun begitu ada prinsip-prinsip yang dianut FIFA untuk beberapa hal yang menyangkut dengan tindakan fair play. Dimulai dari larangan melakukan diving, bermain untuk menang namun menerima kekalahan dengan lapang dada, mematuhi laws of the game, respect, mempromosikan daya tarik sepakbola, hormati mereka yang menjaga reputasi sepakbola, menolak korupsi, obat terlarang, rasisme, seksisme, kekerasan, perjudian dan hal lain yang membahayakan olahraga.

Namun untuk penghargaan Fair Play di Piala Dunia sudah terjadi sejak 1970. Ketika itu timnas Peru bermain dengan bersih tanpa ada satu kartu kuning dan merah yang didapatkan. FIFA merasa perlu mengapresiasi permainan Peru tersebut sehingga lahirlah penghargaan Fair Play.

Tapi banyak hal lain yang bisa menyebabkan seseorang, tim, dan pihak-pihak tertentu mendapatkan penghargaan Fair Play. Pada 1987, FIFA memberikan penghargaan fair play pada suporter kesebelasan asal Skotlandia, Dundee United. Pada laga final Piala UEFA melawan kesebelasan Swedia, IFK Goteborg, Dundee kalah di hadapan pendukungnya sendiri. Walaupun begitu pendukung Dundee memberikan aplaus pada Goteborg yang keluar sebagai pemenang. Pemandangan inilah yang melahirkan FIFA Fair Play Awards di luar FIFA Fair Play Trophy di Piala Dunia.

Setelah kejadian itu hampir setiap tahun FIFA memberikan penghargaan Fair Play. Dimulai dari pemain yang mengaku bola mengenai tangannya (sehingga lawan mendapatkan penalti), Gary Lineker yang sepanjang 15 tahun kariernya tidak mendapatkan kartu kuning ataupun merah, Nandor Hidegkuti yang pertama kali menjadi pelatih sekaligus pemain, dan masih banyak lagi aksi-aksi lain yang membuat sepakbola lebih humanis dan inspiratif.

Jepang Bermain Fair

Sejak Peru bermain bersih di Piala Dunia dan mendapatkan FIFA Fair Play Trophy, terobosan baru dilakukan pada Piala Dunia 2018 lewat aturan poin fair play yang diberlakukan untuk penentuan peringkat kesebelasan dengan poin, selisih gol, produktivitas gol, head-to-head yang seimbang. FIFA tampaknya menghindari cara terakhir untuk penentuan dua atau lebih kesebelasan yang seimbang melalui undian.

Aturan baru soal poin fair play untuk menentukan peringkat dua atau lebih kesebelasan dengan torehan poin sama tersebut ternyata langsung berguna pada Piala Dunia 2018 ini. Jepang menjadi kesebelasan pertama dalam sejarah sepakbola yang merasakan "keuntungannya" dalam bermain fair.

Tapi dari hasil grup H tersebut, apa yang tersaji pada laga Jepang kontra Polandia membuat makna fair play menjadi pertanyaan. Sekitar 10 menit terakhir jelang pertandingan usai, Jepang dan Polandia sama-sama memainkan permainan negatif. Keduanya sama-sama enggan mencetak gol untuk mempertahankan skor. Karena Jepang diuntungkan atas situasi tersebut, Jepang pun lolos ke babak 16 besar dengan cara yang dianggap tidak mencerminkan fair play itu sendiri.

Disinyalir Jepang mulai bermain aman dan tidak berusaha mencetak gol setelah mengetahui di laga lain Senegal tertinggal 0-1 dari Kolombia. Anggapan yang tidak terlalu keliru karena awalnya Jepang bermain spartan dan berupaya keras untuk mencetak gol. Anehnya Polandia pun meladeni permainan tindakan mengulur waktu Jepang dengan tidak mencoba merebut bola.

Tidak bermain untuk menang. Inilah yang melahirkan ironi pada keunggulan poin fair play Jepang. Jepang justru tidak lagi menyerang untuk mempertahankan keadaan dan membuat pertandingan menjadi tidak menarik. Semakin tidak menarik karena Polandia juga tidak berupaya merebut bola untuk mengamankan kemenangan. Akan tetapi apa yang dilakukan Jepang dan Polandia sebenarnya sah-sah saja dilakukan dan tidak melanggar azas fair play.

Baca juga: Memahami Ironi Fair Play Jepang

Komentar