Ada Kisah Ibu di Benak Setiap Anaknya

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ada Kisah Ibu di Benak Setiap Anaknya

Menyimak cerita para atlet hebat tentang ibu mereka semakin menegaskan bahwa ada jejak ibu dalam setiap kalungan medali atau trofi yang mereka angkat.

Melihat Angel Di Maria menangis kala mencetak gol di laga final Piala Dunia 2022 menghadapi Prancis, saya mengira bahwa selain karena terharu, ia juga teringat perjuangan ibunya.

“Kala hujan, kala dingin, kala gelap.” Begitulah Di Maria menggambarkan betapa ibunya berjuang sangat keras agar dirinya tetap bisa berlatih dan mewujudkan mimpi menjadi seorang pesepakbola.

Di Maria lahir dari aura rivalitas sepak bola antara Newell’s Old Boys dengan Rosario Central. Diana Hernandez, sang ibu, merupakan penggemar Rosario. Sementara sang ayah, Miguel Di Maria, seorang penggemar Newell’s.

Ketika Miguel mendapat telepon dari pelatih Rosario yang menginginkan anaknya bermain di sana, ia dengan sedikit keengganan (tanpa menolak tawaran itu) mencoba mencari alasan. Miguel bertanya kepada istrinya bahwa jarak rumah ke tempat latihan cukup jauh. “Kita tak punya mobil. Bagaimana kita akan mengantarkannya ke sana?”

Jarak rumahnya ke tempat latihan Rosario itu sendiri sekitar sembilan kilometer. “Jangan khawatir,” ujar Diana meyakinkan. “Aku akan membawanya ke sana.” Dari situlah perjuangan Diana untuk masa depan Di Maria dengan Rosario dimulai. Yaitu mengantarkan Di Maria ke tempat latihan dengan mengayuh sepeda setiap hari!

Tidak hanya berhenti sampai di situ, Diana adalah orang pertama yang berbicara kepada Di Maria ketika ia sedang mengalami fase sulit di tempat latihan.

Pelatih Di Maria ingin setiap pemainnya memiliki fisik yang kuat dengan berani berduel di udara. Tapi, bukan itu keunggulan Di Maria dan ia sadar betul akan hal itu. Di Maria menangis ketika pelatihnya berbicara kepadanya dengan marah, gara-gara ia kalah saat berduel di dalam kotak penalti. “Kamu memalukan. Kamu tak bakal jadi apa-apa. Kamu akan gagal.”

Karena hal itu, Di Maria menangis di dalam kamar. Diana menghampiri dan ketika Di Maria membohonginya dengan mengatakan bahwa ia menangis karena berkelahi, Diana tahu kalau anaknya itu berbohong. Mau tak mau, Di Maria harus mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia ingin berhenti bermain sepakbola. Di Maria merasa ia telah gagal. Ia merasa malu, ia tak ingin keluar rumah, ia tak ingin pergi ke sekolah.

“Kamu harus kembali,” kata Diana. Kamu harus kembali berlatih hari ini. Kamu harus membuktikan pada pelatihmu.”

Setelah itu, dunia kembali membaik bagi Di Maria. Menurutnya, teman-temannya mendukungnya dengan membiarkannya ia memenangi duel udara. Di Maria kembali bersemangat lagi dan perlahan membuktikan diri meski tidak unggul dalam duel fisik, ia mampu memaksimalkan diri dengan menunjukkan kecepatan dan dribble untuk melewati lawannya.

Namun, permasalahan tidak sampai di situ saja. Pada bulan Januari 2005, ketika umur Di Maria menginjak 16 tahun, ada semacam keraguan dari ayahnya bahwa anak laki-lakinya itu akan gagal menjadi pesepakbola karena tak kunjung mendapatkan tempat di tim utama Rosario Central.

“Kamu punya tiga pilihan: pergi bekerja denganku, menyelesaikan sekolah, atau bisa mencoba satu tahun lagi di sepakbola. Tetapi jika tidak berhasil, kamu harus ikut bekerja denganku,” kata Miguel.

Di Maria tak bisa berkata apa-apa. Ia memang berasal dari keluarga kelas bawah di Argentina, dan ia sadar bahwa keluarganya sangat membutuhkan uang. Dalam kondisi seperti itu, Diana tiba-tiba berkata, “Satu tahun lagi di sepakbola!”

Diana barangkali mempunyai firasat bahwa anaknya akan menjadi pemain hebat. Benar saja, di bulan Desember, Di Maria menjalani debut bersama Rosario!

Seandainya Di Maria memutuskan untuk berhenti, dan Diana tidak mendukung anaknya bermain sepakbola, kita tak akan melihat Di Maria yang meraih medali emas Olimpiade, Liga Champions, Copa Libertadores, serta Piala Dunia.

***

Kisah tentang Di Maria itu tiba-tiba menyelinap di dalam benak, ketika saya melihat anak-anak di sebuah SSB di Kota Cimahi diantar para ibunya saat latihan. Tentu tak ada di antara mereka yang mengantar anaknya dengan menggunakan sepeda.

Saya duduk di tribun, memerhatikan anak-anak yang dibagi dari usia sembilan hingga tiga belas tahun, sedang asyik mengikuti instruksi pelatihnya di lapangan. Di sekitar saya adalah para ibu, yang berbincang tentang apa saja, yang tak ada kaitannya dengan sepakbola.

Ketika saya mengajak mereka berbicara, maka terbukalah sedikit perjuangan mereka sebagai orang tua yang sepenuhnya mendukung apa yang disukai dan dicita-citakan anaknya, yakni menjadi seorang pesepakbola hebat.

Mengantarkan anak ke tempat latihan adalah satu dari sekian banyak hal yang dilakukan seorang ibu. Menyemangati ketika anak mengeluh dan ingin berhenti sejenak adalah sebuah kewajiban.

Saya kira ada banyak ibu yang berjuang sedemikian keras untuk mendukung anaknya menjadi atlet. Seorang ibu yang ingin anaknya menjadi atlet renang, misalnya, tidak segan untuk mengantarkan anaknya ke tempat latihan setiap pagi, dan menyiapkan sarapan untuk anaknya. Membelikan segala peralatan penunjang adalah sebuah kewajiban - semacam pertanggungjawaban moral sebagai orang tua.

Dan, tidak semua anak berhasil menjadi apa yang mereka (atau orang tua mereka) inginkan.

Anak-anak SSB di Kota Cimahi itu mungkin tidak semuanya akan berkarir sebagai pesepakbola profesional. Beberapa di antaranya, ketika sudah besar, barangkali akan menjadi guru, polisi, tentara, konten kreator, pengusaha, pelukis, atau profesi lain yang tak ada korelasinya sama sekali dengan sepakbola.

Tetapi, sosok ibu yang selalu mengantarkan ke tempat latihan, yang membelikan sepatu atau jersei baru - dan perjuangan-perjuangan yang lain - akan selalu berada di sebuah tempat dalam benak seorang anak.

***

Pada dasarnya, mengingat ibu adalah mengingat perjuangan. Penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu pun dialas-dasari oleh Kongres Perempuan pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta, di mana dalam kongres itu diserukan asas-asas perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam olahraga, perjuangan ibu tentu saja tak tampak gambar atau ceritanya ketika seorang atlet hebat sedang mengangkat trofi atau meraih medali. Perjuangan ibu hanya bisa dirasakan oleh seorang pemain. Para penonton hanya menyimak cerita-cerita itu dan di satu sisi ikut merasakan keharuannya.

Saya ikut merasa terharu saat melihat Hakim Ziyech menangis ketika mendapat pesan-pesan dari ibunya ketika baru saja pindah ke Chelsea, Achraf Hakimi memeluk ibunya setelah pertandingan selesai, serta ketika melihat Celia Maria Cuccittini, ibunda Lionel Messi, memeluk anaknya sembari menangis, tepat setelah Argentina menumbangkan Prancis di final Piala Dunia.

Kita punya cerita dan kenangan tersendiri terhadap perjuangan ibu kita masing-masing. Dan kita punya cara tersendiri untuk membalasnya.

Komentar