Rezim Diktator & Dua Gelar dunia Italia

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Rezim Diktator & Dua Gelar dunia Italia

Oleh: Toni Sugianto (@tonaaiiii)

Kegagalan Italia lolos ke putaran final Piala Dunia 2022, bak mimpi buruk di siang bolong. Bagaimana tidak, Gli Azzurri (julukan bagi Tim Nasional Italia yang berarti si biru) merupakan salah satu kesebelasan negara tersukses di ajang tersebut. Empat bintang yang terpampang di atas logo pada jersey mereka, menjadi bukti dari kedigdayaan tim ini. Negeri Pizza menempati posisi kedua dengan raihan trofi terbanyak dengan empat gelarnya bersama Jerman namun tiga kali dengan Jerman Barat (sebelum merdeka), dan di bawah Brasil yang sudah mengoleksi lima gelar.

Banyak yang menasbihkan Italia sebagai tim nasional sepak bola terbaik Eropa sepanjang masa. Mereka mengalahkan Inggris yang selalu mengklaim sebagai pencetus sepakbola modern dengan sloganya football coming home, yang baru meraih 1 gelar saja. Namun naas, kegagalan Italia pergi ke Qatar akhir tahun ini, disebabkan oleh sebuah negara yang bahkan belum pernah mencicipi lolos ke putaran final Piala Dunia.

Ya Makedonia Utara! Negara yang baru merdeka pada 1991 ini, memupus harapan Gianluigi Donnarumma dkk, untuk meraih gelar dunia kelima mereka. Dan yang lebih tragis, juara Piala Eropa 2020 ini harus kalah melalui gol semata wayang dari Aleksander Trajkovski pada menit 90+2 alias masa injury time. Dunia seakan tak percaya, bagaimana bisa tim yang dihuni banyak pemain bintang dan baru saja memenangkan gelar Eropa, harus kalah oleh tim yang isinya tidak banyak orang kenal.

Mulai dari para pendukung, pemain, hingga presiden FIFA tidak percaya atas gagalnya Italia mengalahkan Makedonia Utara. Kisah heroik Makedonia Utara hampir mencapai klimaksnya. Mereka bisa lolos apabila berhasil menang di laga terakhir menghadapi Portugal. Namun sayang, kisah Daud mengalahkan Goliat tidak terjadi dua kali. Timnas yang dihuni oleh Goran Pandev ini harus mengakui keunggulan Portugal dengan skor 2-0. Dengan hasil ini Makedonia Utara gagal pergi ke Qatar, namun tidak dengan pemain terbaik dunia, Cristiano Ronaldo.

Kegagalan Italia pasca Juara 2006

Tendangan penalti Fabio Grosso yang berhasil mengecoh Fabien Barthez, menjadi puncak dari perjuangan Italia untuk meraih gelar keempat mereka. Gegap gempita menyambut kemenangan ini dirasa berbeda oleh para pendukung Italia. Pasalnya, Italia bukanlah unggulan pertama pada turnamen tersebut. Ada nama-nama lain seperti Brasil & Argentina yang mengisi daftar utama. Selain itu, Italia sudah lama tidak mencicipi partai final dalam berbagai ajang.

Final Piala Dunia terakhir mereka terjadi saat kalah oleh Brasil pada tahun 1994 melalui babak tendangan penalti juga. Saat itu, sang mega bintang mereka, Roberto Baggio gagal mengeksekusi penalti dan tendangannya harus melambung jauh ke udara. Ego besar Baggio dan konfliknya dengan sang pelatih Arrigo Sacchi sepanjang turnamen, menjadi salah satu faktor kegagalan Italia pada saat itu. Baggio yang baru meraih Ballon D`or & Sacchi yang sukses bersama AC milan, saling bersikeras satu sama lain.

Kisah Italia & Baggio pada 1994 dapat disaksikan di serial “Divine Ponytail”yang tayang di Netflix. Kembali ke Italia masa kini. Pasca juara pada 2006, Italia & Piala Dunia bak kisah cinta yang tak pernah direstui. Keduanya sulit tuk bersama meski semesta memberi jalan. Pada 2010 & 2014 Italia harus angkat koper terlebih dulu pada fase grup. Jika dilihat dari materi pemain, Italia harusnya bisa lolos dengan mudah ke fase berikutnya.

Bahkan, pada 2010 Italia harus rela menjadi juru kunci setelah tidak pernah menang dalam tiga laga. Semuanya hanya teori di atas kertas semata. Kutukan juara Dunia yang gagal pada fase grup pun dimulai di sini. Berlanjut di 2018 dan yang terbaru pada 2022, Italia bahkan tak lolos ke putaran final Piala Dunia. Sebuah ironi! Tim peraih gelar terbanyak dari benua Eropa harus gagal lolos dua kali secara beruntun. Hal ini membuat publik sepak bola bertanya-tanya “apakah Italia cuma jago di masa lalu saja? atau ada faktor lain yang membuat semua ini bisa terjadi?” pertanyaan itu harusnya menjadi pertanyaan besar bagi semua stakeholder sepak bola Italia.

Juara Dunia Dua Kali Bersama Rezim Diktator.

Sepak bola dan Politik menjadi dua hal yang sulit dipisahkan. Keduanya saling membenci namun juga saling membutuhkan. Setiap ajang yang menarik banyak perhatian publik, selalu sexy untuk dieksploitasi. Tidak hanya pada ajang Internasional, kelas tarkam sekalipun, jika itu banyak diminati publik, politik akan ada di sana. Tak terkecuali Piala Dunia. Ajang antar Negara 4 tahunan ini menjadi perhelatan olahraga terbesar dunia.

Para petinggi Negara menjadikan Piala Dunia sebagai representasi sebuah bangsa di panggung dunia. Kisah Italia yang berhasil meraih dua gelar secara berurutan, menjadi salah satu kisah bagaimana Politik & sepak bola selalu hidup berdampingan. Ketika itu, Italia dipimpin oleh seorang Perdana Menteri bernama Mussolini. Sosok yang kejam dan bengis ini dikenal dunia memiliki haluan fasis. Sang diktator menjadikan Piala Dunia 1934 sebagai ajang memperkenalkan ideologinya. “Mussolini berkeinginan untuk membentuk citra bangsa italia baru yang berani, atraktif, kuat, dan sportif.” Ujar John Foot dalam buku Calcio, A History of Italian Football.

Italia saat itu dilatih oleh seorang yang kelak akan melegenda, bernama Vittorio Pozzo. Ia selalu menggambarkan anak asuhnya sebagai Tentara yang sedang berperang dan pertandingan sepak bola adalah arena pertempurannya. Kedisiplinan dan rasa patriotis ditanamkan kepada semua pemainnya. Tak ayal, Italia tampil sebagai tim yang agresif, keras, bahkan brutal. Salah satu bek andalan mereka yaitu Luis Monti, tak segan untuk menghajar lawan-lawan hingga cedera.

Monti adalah salah satu pemain yang memiliki dua kewarganegaraan. Pada 1930 ia membela timnas Uruguay yang menjadi juara pertama Piala Dunia. Tanpa bantuan II Duce (sebutan bagi sang diktator) sulit bagi Italia untuk lolos hingga partai final. Pengaruh Mussolini sangatlah besar. Bahkan, ia bisa menunjuk Wasit yang akan memimpin laga Italia. Austria yang saat itu menjadi favorit juara, harus bertemu tuan rumah Italia di semifinal.

Permainan cantik mereka harus terhenti oleh agresivitas & keunggulan fisik dari Italia. Banyak cerita beredar bahwa sang wasit yang memimpin laga tersebut, bertemu Mussolini sehari sebelum pertandingan. Italia akhirnya lolos ke babak final setelah unggul tipis 1-0. Berbagai kontroversi itu semakin jelas di laga final. Menghadapi Cekoslowakia yang tampil impresif pada ajang tersebut, laga final ini lagi-lagi dipimpin oleh pengadil yang sama. Di akhir laga, Italia menang dengan skor 3-1, sekaligus meraih trofi pertama mereka.

Bagaimana bisa seorang Wasit muda yang minim pengalaman bernama Ivan Eklind, asal Swedia, memimpin dua laga yang cukup krusial. Tidak cukup sampai di situ, Piala Dunia 1934 menyajikan banyak cerita kontroversi lain yang membuat sejarah menjadi menarik. Selain ketidakhadiran juara bertahan Uruguay karena berbagai faktor, laga Italia VS Spanyol pada perempat final yang harus diulang karena hasil seri, menjadi cikal bakal adanya babak tambahan waktu dan babak adu penalti di masa depan.

Terlepas banyaknya kontroversi yang mewarnai Piala Dunia 1934 ini, Italia tetaplah menjadi salah satu tim terkuat pada ajang tersebut. Empat tahun berselang atau tepatnya pada 1938, Italia kembali menjadi juara secara back to back setelah mengalahkan Hungaria pada babak final. Piala Dunia kali ini seperti ajang pembuktian bagi Italia karena banyaknya tuduhan licik dengan keuntungan mereka sebagai tuan rumah. Piala Dunia kali ini juga melahirkan rivalitas klasik antara Brasil vs Italia yang kelak bersaing menjadi dua negara dengan pengoleksi trofi Piala Dunia terbanyak.

Italia dihuni oleh pemain legenda asal Inter Milan yang namanya diabadikan sebagai nama stadion kandang mereka, Giuseppe Meazza. Dengan kesuksesannya Italia merengkuh dua gelar Piala Dunia secara beruntung, membuat Mussolini semakin percaya bahwa ia dan ideologinya dibutuhkan dunia pada saat itu. Mussolini jugalah sosok yang membawa Italia ke kancah perang dunia II bersama Adolf Hitler dari Jerman. Namun sayang, Perang di dunia nyata tidak sama dengan Piala Dunia.

Pada 1934, Italia secara resmi menyerah tanpa syarat di Perang Dunia II. Menurut surat perjanjian tersebut, Mussolini menyatakan Italia menyerah tanpa syarat. Dengan demikian, salah satu aliansi utama Nazi Jerman yang terpenting telah keluar dari medan pertempuran. Setelah era fasisme tumbang, Mussolini mengalami kejatuhan tragis. Pada 28 April 1945, Mussolini dan kekasihnya Clara Petacci dieksekusi oleh kelompok Parisan Italia.

Sebelumnya mereka ditangkap saat berusaha kabur melintasi perbatasan Italia dan Swiss. Berbagai kontroversi dan banyaknya campur tangan pihak lain, tidak akan merubah fakta bahwa Italia adalah juara dunia. Karena sejarah hanya akan mencatat siapa sang pemenang, bukan siapa yang kalah dengan semua alasannya.

Sumber foto: FIFA

Komentar