Sepakbola dan Identitas Sosial

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola dan Identitas Sosial

Oleh: Mohammad Rizqi Isnurhadi

Kita seringkali mendengar fans sepakbola membangga-banggakan kesebelasan nasional negaranya atau bahkan pemain yang berasal dari negaranya. Ketika tim nasionalnya menang, mereka ikut senang dan bangga. Ketika tim nasionalnya kalah, mereka ikut bersedih. Seakan mereka juga ikut bertanding.

Tak hanya tim nasional, fans sepakbola terutama yang bukan berasal dari negara superpower dalam sepakbola biasanya ikut membangga-banggakan pemain yang berasal dari negaranya meski tak sedang membela tim nasional. Mohamed Salah misalnya, terus dipuja-puja warga Mesir ketika ia sedang bermain untuk Liverpool. Bahkan tak sedikit pula warga Mesir yang menjadi fans dadakan klub asal Merseyside ini hanya karena Salah, pemain kebanggaan mereka, bermain untuk klub tersebut.

Membanggakan seorang pemain atas dasar kebangsaan mungkin sudah mainstream, tetapi kini yang sedang popular adalah ikut membanggakan pemain atas dasar agama. Semangat inilah yang diusung oleh akun Instagram Muslim Footballers dan Muslim Athletes.

Muslim Footballers (@muslimfoorballer) adalah akun di Instagram yang menyajikan informasi, berita, foto, fakta dan kutipan dari pesebakbola Muslim. Akun ini sering membagikan informasi terkait keislaman seorang pemain sepakbola, misalnya foto seorang pemain sepakbola yang sedang melaksanakan Umroh, Haji atau sekedar salat berjamaah di Masjid. Nama pemain sepakbola tenar yang sering disebut di akun ini adalah Salah dan N’golo Kante. Tak jarang pula pertanyaan seperti “Pemain A Islam bukan min?” muncul di kolom komentar akun Instagram ini.

Akun Instagram Muslim Athletes (@muslimathletes) tak jauh berbeda dengan akun Muslim Footballers. Bedanya ia menyajikan informasi terkait atlet olahraga secara luas, tak hanya pemain sepakbola saja.

Akun Muslim Athletes diikuti sebanyak 190 ribu pengikut sementara akun Instagram Muslim Footballers diikuti 13 ribu pengikut. Kedua akun ini dan pengikutnya memiliki semangat yang serupa dengan semangat nasionalisme. Mereka ikut bangga ketika pemain beragama Islam berhasil meraih penghargaan. Mereka bahkan mendukung pemain beragama Islam walaupun pemain tersebut tak sedang bermain untuk klub atau kesebelasan yang didukung oleh sang fans.

Konstruksi Identitas Negara-Bangsa

Selama ini kita menganggap dukungan yang diberikan fans terhadap pemain sepakbola dari negaranya sebagai suatu hal yang wajar. Sementara, tak sedikit yang beranggapan bahwa akun seperti Muslim Athletes adalah suatu hal yang absurd. Padahal jika kita tinjau ulang, mendukung atas dasar nasionalisme juga merupakan konsep yang tak kalah absurd. Kita tak mengenal sang pemain secara pribadi, kita bahkan mungkin tak pernah bertemu dengannya secara langsung. Mengapa kita harus merasa bangga ketika sang pemain meraih prestasi?

Yuval Noah Harari dalam karyanya Sapiens: A Brief History of Mankind berpendapat bahwa nasionalisme hanyalah suatu mitos bersama atau “shared myth”. Ia hanya ada karena manusia secara beramai-ramai mempercayai mitos tersebut. Mitos ini muncul seiring perkembangan peradaban. Dahulu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil sehingga ia memiliki ikatan yang kuat secara pribadi. Seiring membesarnya kelompok manusia hingga suatu titik di mana hampir tak mungkin mereka mengenal satu sama lain secara pribadi, dibutuhkan suatu metode organisasi sosial yang baru. Salah satunya adalah nasionalisme.

Kisah fiksi nasionalisme muncul sebagai metode organisasi sosial untuk menyatukan cara pandang beragam manusia. Menurut Benedict Anderson, nasionalisme adalah suatu imagined community. Ia merupakan konstruksi sosial untuk menyatukan beragam manusia dalam suatu komunitas yang di mana ia memiliki rasa kepemilikan atau “sense of belonging”. Sense of belonging terhadap suatu bangsa inilah yang membuat seorang fans sepakbola mendukung dan turut membanggakan prestasi seorang pemain yang berasal dari negara mereka.

Setiap manusia memiliki identitas yang interseksional. Identitas tersebut bisa mencakup gender, ras, bangsa, agama, suku, strata sosial dan lain-lain. Seseorang bisa saja berbangsa X, beragama Y dan bersuku Z. Sebagai contoh, saya adalah seseorang yang berwarganegara dan berbangsa Indonesia, beragama Islam dan merupakan keturunan suku Melayu. Oleh karena itu, sebetulnya identitas saya tak hanya terbatas sebagai seseorang yang berbangsa Indonesia.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, identitas utama seseorang selalu berganti. Di era kekhalifahan Islam misalnya, agama menjadi identitas utama seseorang. Bahkan di era Perang Dunia II, kelompok Nazi meletakkan identitas ras Arya sebagai identitas utama mereka. Meski merupakan warga negara Jerman, Yahudi dieksterminasi karena tak memiliki ras Arya yang dianggap superior.

Keutamaan negara bangsa sebagai identitas seseorang adalah konstruksi yang merupakan warisan bangsa barat. Konsep negara-bangsa yang berdaulat berasal dari Eropa dengan ditandatanganinya Perjanjian Westphalia. Perjanjian Westphalia adalah perjanjian yang mengakhiri perang tiga puluh tahun di Eropa. Perjanjian ini menjadi dasar bagi tatanan masyarakat internasional yang baru. Ia mendasari bentuk negara-bangsa dan juga pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.

Konsep negara-bangsa berkembang dan menjangkiti negara-negara non-Eropa melalui proses kolonialisme. Bangsa Eropa yang menjajah negara-negara Asia dan Afrika membentuk batas-batas arbitrer serta memperkenalkan sistem birokrasi dan administrasi a la Eropa lalu membentuk pemikiran serta sistem negara-bangsa di koloni-koloni mereka. Periode penjajahan membuat kita lupa bahwa identitas kebangsaan bukanlah satu-satunya identitas yang kita punya.

Sepakbola kini dan akan datang?

Mengutip tulisan Dex Glenniza di artikel berjudul “Naturalisasi Menghapus Nasionalisme”, ia mengatakan “Jika dahulu negara dan nasionalisme dipupuk melalui konflik (perang) bahkan sampai genosida, sekarang ajang olahraga seperti Piala Dunia dan Olimpiade adalah acara yang terus melanjutkan konsep negara dan nasionalisme untuk banyak manusia”. Konsep kompetisi olahraga termasuk sepakbola kontemporer memang masih mewarisi pandangan nasionalisme kuno. Di ajang seperti Piala Dunia misalnya, setiap atlet masih mewakili suatu negara-bangsa. Tetapi apakah ajang olahraga tak akan pernah berubah?

Perubahan Identitas Masyarakat

Nasionalisme adalah konsep yang telah dibangun ratusan tahun lamanya. Tapi bukan berarti setiap orang akan mempercayai konsep ini selamanya. Di era internet, setiap orang kini tak lagi terbatas pada wilayah geografis. Ia dapat mengakses informasi, berinteraksi dan bertukar pikiran dengan beragam manusia yang terpisahkan jarak ribuan kilometer dalam waktu yang sangat singkat. Sebagai dampak dari perkembangan internet, keutamaan negara-bangsa sebagai identitas sosial utama seorang individu mulai terkikis. Internet dapat membuka pintu selebar-lebarnya bagi konstruksi identitas baru yang tak terkekang oleh negara-bangsa.

Dunia olahraga terutama dunia sepakbola bukanlah dunia yang tak mengikuti perubahan zaman. Sepakbola di level klub kini lebih diminati. Ia menunjukkan bahwa sepakbola tak hanya merupakan ajang memupuk nasionalisme semata. Sebuah klub sepakbola memiliki skuat yang dihuni oleh pemain dari beragam nasionalisme dan didukung oleh fans yang juga berasal dari berbagai penjuru dunia.

Sepakbola di level klub merupakan tantangan bagi konsep nasionalisme. Siapapun dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai pendukung dan merupakan bagian dari Manchester United. Seorang pendukung Manchester United, misalnya, sangat membanggakan klub tersebut walaupun ia tak pernah tinggal bahkan tak pernah mengunjungi kota Manchester. Sepakbola di level klub menunjukkan bahwa ada identitas sosial yang lain yang dapat bertanding dalam suatu kompetisi olahraga atau sepakbola selain negara.

Dunia sepakbola beradaptasi pula dengan perubahan konstruksi identitas di masyarakat. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin bahwa suatu hari nanti, semangat yang dibawa oleh akun Muslim Athletes dan Muslim Footballers akan diwadahi dalam suatu kompetisi antara kesebelasan Muslim melawan kesebelasan Buddha misalnya.

Manusia tak ingin tereksklusi, ibarat kata Dua Lipa “scared to be lonely”. Oleh karena itu, manusia selalu ingin mengidentifikasikan dirinya terhadap sesuatu. Pada dasarnya, identifikasi terhadap suatu identitas sosial, apa pun itu, baik bangsa, agama, ras maupun klub sepakbola didasari oleh keinginan manusia untuk tergabung dalam suatu kelompok sosial. Membanggakan seorang pemain sepakbola yang merupakan bagian dari identitas sosialnya adalah mekanisme natural agar ada yang dibanggakan dari hidup yang medioker ini.


Penulis merupakan seorang Content and Community Executive di Bicara.co yang bisa dihubungi lewat Twitter @Ay4mGor3ng

Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.


Simak opini dan komentar Rochy Putiray terkait para pengurus PSSI yang ditangkap oleh Satgas Anti Mafia Bola di video di bawah ini:




Komentar