Lagi Perang, kok, Cuti?

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Lagi Perang, kok, Cuti?

Setelah pembekuan terhadap Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dicabut FIFA pada 2016 lalu, sepakbola Indonesia memang langsung kembali semarak. Akan tetapi, hal tersebut tetap tak membuat PSSI dipandang lebih positif. Bahkan hari demi hari, komentar-komentar miring terhadap federasi sepakbola tertinggi Indonesia tersebut semakin nyaring terdengar.

Kini masyarakat Indonesia pun semakin jengah dengan kabar buruk terbaru dari PSSI. Di tengah-tengah masalah-masalah sepakbola nasional yang belum terurai dan tertuntaskan, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, memutuskan untuk cuti dari kepengurusan PSSI. Langkah ini diambil Edy yang hendak fokus pada kampanye dirinya menjadi Calon Gubernur Sumatera Utara.

"PSSI adalah mandat rakyat, untuk itu saya mengajukan cuti. Terhitung mulai pada saat saya dinyatakan resmi sebagai calon gubernur. Sebelumnya, saya tidak pernah menggunakan organisasi PSSI ini untuk kepentingan pribadi. Jadi kalau ada orang yang berbicara itu, sangat salah," kata Edy kepada para wartawan di Medan, Jumat (9/2).

"Walaupun tidak ada dalam aturan PSSI untuk saya harus cuti, tapi saya harus, tahun ini begitu banyak pekerjaan PSSI. Tak mungkin saya berada di sini sedang melakukan kepentingan pribadi sehingga mengorbankan organisasi yang benar-benar ini mandat rakyat," sambungnya.

Pernyataan tersebut jelas mengherankan. Edy, yang diusung partai Golkar, Gerindra, Hanura, PKS, PAN, dan Nasdem tersebut mengatakan banyaknya pekerjaan di PSSI menjadi alasannya untuk cuti agar bisa fokus kampanye. Bukankah itu justru berarti ia meninggalkan PSSI yang sedang banyak pekerjaan demi kepentingan dan ambisi pribadinya untuk mendapatkan jabatan yang ia inginkan di Sumatera Utara? Mementingkan kepentingan bangsa untuk kepentingan pribadi.

Soal pekerjaan yang banyak, Edy yang di Pilgub Sumut berpasangan dengan Musa Rajekshah memang benar. Tim nasional Indonesia akan mengikuti Asian Games 2018 pada Agustus mendatang. Selain itu, Liga 1 2018 yang masih menjadi tanda tanya dimulai dari segi regulasi dan jadwal pun menjadi persoalan lain.

Belum lagi persoalan-persoalan masa lalu yang masih belum terselesaikan, seperti kasus utang pada La Nyalla Mattalitti (Ketum PSSI sebelumnya), kasus kematian suporter Persita yang masih belum terusut tuntas pelakunya, persoalan PT LIB yang masih menunggak hak siar, ranking, dan subsidi pada klub Liga 1 2017, dan masih banyak lagi. Karenanya tak heran Menteri Pemuda dan olahraga, Imam Nahrawi, merespons permintaan cuti Edy dengan kalimat yang cukup menyentil: "Saya kaget mendengar itu. Lagi perang, kok, cuti?"

Soal ini, Edy sendiri berkelit bahwa masalah-masalah tersebut tetap akan tertangani karena bawahan-bawahannya terus berupaya menyelesaikannya. "Jelas Wakil Ketua PSSI, dan Sekjen sebagai pembantu utamanya serta para exco. PSSI sangat demokrasi tidak bisa memutuskan hal-hal tertentu tanpa ada sifat pembinaan untuk membangun organisasi." Jika betul demokrasi seperti yang dikatakannya, lalu di mana letak peran seorang Ketua Umum?

Betul tidak ada aturan yang dilanggar oleh Edy. Tapi keputusan Edy cuti dari Ketum PSSI sungguh amat disayangkan di tengah situasi sepakbola Indonesia yang masih semrawut dan membutuhkan pengambil keputusan-keputusan penting untuk sepakbola Indonesia yang lebih baik, di mana itu seharusnya ada di tangan seorang Ketua Umum.

Saat ini, bagian-bagian dari sepakbola Indonesia tengah menjerit atas masalah-masalah yang mereka hadapi. Pelatih PSM Makassar, Robert Rene Alberts, misalnya, ia sampai rajin mengutarakan keresahannya pada sepakbola Indonesia yang acak-acakan seperti saat ini lewat video yang ia unggah di akun Instagramnya. Ia mengkritik jadwal kick off Liga 1 2018 yang masih tak menentu, ia juga menyayangkan penyelenggaraan Piala Presiden yang menurutnya tidak bagus untuk pra-musim.

"Ini bukan tentang klub, ini tentang bagaimana caranya sepakbola Indonesia bisa bersaing di level internasional. Itu harus dimulai dari dasar. Itu harus dimulai dari pembinaan pemain muda. Itu harus dimulai dari klub. Dari situ pemain terbaik bisa dipilih untuk tim nasional. Tapi sampai sekarang (5 Februari), tidak ada berita resmi tentang kapan kick off liga. Jadi sebenarnya apa prioritas sepakbola di Indonesia sekarang ini?" ujar Alberts.

Sepak mula Liga 1 2018 sebelumnya dijadwalkan pada 24 Februari 2018, yang kemudian kembali diralat yakni menjadi tanggal 3 Maret 2018 mendatang, bahkan PT LIB mengatakan kemungkinannya mencapai 90%. Namun, beberapa waktu lalu kembali diubah menjadi maksimal 10 Maret 2018. Hal inilah yang membuat Robert Alberts giat bersuara, karena ketidak jelasan sepak mula, menurutnya, membuat persiapan tim menjadi tidak maksimal.

"Sampai sekarang, 11 Februari, kami sedang pemusatan latihan di Bali, masih belum ada berita kapan kick off liga. FIFA (saja) punya kalender setiap tahunnya, bahkan sampai beberapa tahun ke depan supaya asosiasi-asosiasi sepakbola di dunia bisa menyinkronkan jadwal mereka dengan kalender FIFA. Juga AFC, yang menjadi induk asosiasi sepakbola kita, punya kalender sehingga negara-negara anggotanya bisa berkordinasi dalam menentukan jadwal. Tapi itu tidak dilakukan di sini, di Indonesia."

"Kita harus segera melakukannya. Jika tidak, pelatih seperti saya tidak bisa membuat perencanaan. Padahal dengan persiapan yang baik akan membuat tim tampil baik, nantinya akan menjadi liga terbaik. Benahi organisasi untuk masa depan," sambung Alberts di videonya yang lain.

Sungguh ironis tentu ketika semua orang berbicara tentang masa depan sepakbola Indonesia yang lebih baik, berbicara tentang bagaimana pengelolaan liga yang baik, bagaimana klub dan federasi profesional seharusnya berjalan, Ketum PSSI malah memutuskan cuti demi kepentingan pribadinya untuk menjadi orang nomor satu di provinsi Sumatera Utara padahal masih banyak masalah yang menyangkut masa depan sepakbola Indonesia.

Perlu diketahui, cutinya Edy bukan untuk waktu yang sebentar. Pilgub sendiri akan serentak diselenggarakan di seluruh Indonesia pada akhir Juni 2018 mendatang. Ini artinya, setidaknya Edy akan cuti selama empat bulan. Bahayanya lagi jika Edy menang, karena sebelumnya ia mengatakan tetap akan menjabat sebagai Ketua Umum PSSI meski ia terpilih sebagai Gubernur Sumut periode 2018-2023.

Atas pertimbangan tersebut, sebenarnya, alangkah lebih bijaksana jika Edy Rahmayadi bukan memutuskan cuti, melainkan mundur dari Ketum PSSI. Karena sepakbola Indonesia yang saat ini masih belum memiliki banyak prestasi dan fondasi yang kuat untuk menjadi negara sepakbola yang baik dan benar, membutuhkan sosok yang siap dan mampu memberikan waktu, tenaga, pikiran, dan segalanya untuk memikirkan dan mencarikan solusi demi sepakbola Indonesia yang lebih baik.

Tak perlu jauh-jauh ke masa depan sepakbola Indonesia, sebenarnya keputusan Edy untuk cuti ini menjadi hal yang buruk bagi PSSI sebagai organisasi; semakin membuat PSSI menjadi sasaran caci maki (silakan baca komentar pada salah satu unggahan di akun Instagram PSSI di bawah ini). Pertanyaannya, mengapa PSSI rela mengorbankan organisasi (dicaci maki) demi kepentingan pribadi Edy Rahmayadi?

Komentar