Catatan dari Emirates

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Catatan dari Emirates

Oleh: Devina Heriyanto*

Kami tidak turun di Arsenal, melainkan di stasiun Holloway Road. “Lebih dekat lewat sini,” kata teman sekaligus pemandu saya hari itu (16/03).

Ini hari terakhir saya di London, dan setelah liputan penuh selama dua hari, saya hanya ingin berjalan-jalan keliling kota. Ketika teman saya bertanya apakah ada satu tempat yang ingin saya tuju, saya cuma jawab: stadion sepakbola, milik kesebelasan mana pun.

Berangkatlah kami menuju Emirates Stadium pada sebuah Sabtu pagi. Saya menginap di daerah Kensington, yang sebenarnya lebih dekat ke Stamford Bridge. “Tapi itu jelek,” kata teman saya, sambil menunjukkan foto stadion The Blues dari depan. Memang sekilas mirip ruko saja.

Saya bukan penggemar Arsenal, meski pernah dekat dengan satu di antaranya dan membaca Fever Pitch-nya Nick Hornby. Sesungguhnya, saya tidak punya kesebelasan favorit di liga mana pun.

Dua sahabat saya adalah penggemar Liverpool, yang rajin ikut nobar dan bahkan punya kaus jersi kesebelasan. Waktu kami menyadari bahwa hanya saya yang tidak cinta amat kepada The Reds, jawaban mereka adalah, “Nanti kita harus evaluasi lagi pertemanan ini.”

Jelas mereka hanya bercanda. Tapi hubungan antara penggemar dan kesebelasan sepakbola bukan hal main-main.

“Obsesi membutuhkan ketahanan mental yang terpuji,” kata Nick Hornby dalam, well, Fever Pitch. Seorang penggemar bisa tahu sejarah, data, nama-nama, dan angka soal kesebelasan favoritnya. Belum lagi, kemampuan untuk mengesampingkan segala hal di hadapan sebuah pertandingan.

Saya tidak masuk ke dalam Stadion Emirates, karena merasa cukup hanya mengelilinginya saja. Di sepanjang dindingnya, terdapat mural dan tulisan mengenai pemain-pemain legendaris dan pujian penggemar dan pelatih terhadap mereka. Ada juga patung-patung legenda Arsenal, yang dari sekian banyak, hanya Thierry Henry yang saya kenal.

Terlalu banyak hal yang saya tidak tahu. Lebih tepatnya: tidak cukup peduli untuk tahu. Sekali lagi, saya bukan penggemar. Lagi pula, sudah lama saya tidak mengikuti pertandingan sepakbola semenjak bekerja di luar kota dan tinggal jauh dari rumah.

Bagi saya, menonton sepakbola adalah kegiatan rumahan, yang dilakukan bersama keluarga. Pertama kali saya begadang demi menyaksikan pertandingan adalah selama Piala Dunia 2006 di Jerman. Saya masih ingat berkumpul di depan televisi kami yang masih berbentuk tabung, menyesap kopi hitam sambil berselimut dikelilingi oleh ayah, kakak, dan paman-paman saya. Sebagai anak perempuan umur dua belas tahun, jelas saya mendukung Tim Nasional Inggris karena ada David Beckham di sana.

Sejak itu saya sering bergabung bersama ayah dan kakak saya untuk menonton pertandingan. Kakak saya punya kesebelasan-kesebelasan yang dia gemari, salah satunya Internazionale Milan untuk Serie A. Dulu saya suka AC Milan, karena ada Kaka di sana. Setelah memahami sejarah pembentukan Inter dan nilai-nilai yang dianutnya, saya memilih untuk netral saja. Ayah saya tidak punya kesebelasan favorit. “Tapi dia punya kesebelasan yang dibenci,” begitu canda kami di rumah.

Hasilnya kami terbiasa menonton sepakbola sebagai sesuatu untuk dinikmati. Pertandingan antara dua kesebelasan yang punya sejarah dan track record yang berbeda, tapi tetap setara setidaknya dalam 90 menit di lapangan. We watch football as a game, not as a battle between the forces of good and evil. Apa pun hasilnya atau siapa pun yang menang, kami tidak peduli, selama kami bisa menyaksikan pertandingan yang menyenangkan.

Saya mengerti kenapa banyak yang memilih mengidentifikasi dirinya dengan satu kesebelasan tertentu. Bagaimana pun, manusia adalah makhluk sosial. Adalah alamiah jika memiliki preferensi atau keterikatan dengan sebuah kelompok. Pada akhirnya, keterikatan emosional dan investasi mental inilah yang membuat setiap pertandingan berarti.

Namun jelas ada perbedaan antara menonton sepakbola tanpa keterikatan emosional dengan menonton pertandingan sebagai seorang penggemar. Sebuah pertandingan yang baik harusnya bisa tetap bisa dihargai sebagaimana mestinya, bukan cuma sekadar soal menang atau kalah atau poin yang diperoleh masing-masing kesebelasan.

Sebelum berangkat ke London, saya sempat menyaksikan sekilas pertandingan Arsenal dan Manchester United. Saya menonton bersama seorang teman yang menggemari Man United, dan saat itu saya bilang ke dia bahwa sepertinya Arsenal akan menang.

“Kenapa? Kamu suka Arsenal sekarang?” tanyanya.

“Karena mereka bagus mainnya malam ini,” saya bilang. Sebuah alasan yang menurut saya sangat jelas, tapi entah kenapa harus tetap dijelaskan gamblang ke orang lain. Obsesi berlebihan terhadap satu kelompok menghalangi orang untuk menghargai kelompok lain, seberapapun baiknya performa mereka.

Tidak ada yang salah dengan menggemari satu kelompok. Hanya saja, kadang ada bias-bias yang memengaruhi cara pandang dan cara berpikir kita.

Sebagai seorang yang tidak menggemari Arsenal, dapat berkunjung ke Emirates, meski hanya sebentar, tetap menyenangkan. Sambil menahan angin kencang yang menerpa kota selama pekan terakhir musim dingin, saya berusaha menikmati semua yang ada di sekeliling.

“Wisata religi,” sebut teman saya pagi itu. Saya tersenyum dan mengangguk setuju.

Sepakbola adalah agama, kata orang-orang. Bagian lain yang sering lupa dikatakan: kadang fanatisme, baik dalam sepakbola, agama, atau hal-hal lainnya dalam hidup, bisa membutakan manusia, bahkan membuat sesuatu yang suci dan kudus menjadi terkutuk.


*Tidak lari di lapangan hijau, cukup di atas tuts keyboard saja. Suka mengoceh di Twitter https://twitter.com/devinayo">@DevinaYo dan ngeblog di sini.

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.


Simak opini dan komentar redaksi Panditfootball terkait jadwal Liga 1 yang belum juga rilis di Kamar Ganti Pandit lewat video di bawah ini:



Komentar