Persiraja, Innalillahi

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Persiraja, Innalillahi

Oleh: Alfath Asmunda*

Pada mulanya seperti seseorang yang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitulah umpama yang tepat menggambarkan awal mula saya menyukai sepakbola. Terbilang sangat baru memang. Bahkan, jika ibarat umur seorang bayi, ini merupakan masa-masa di mana baru tumbuh gigi susunya.

Saya jatuh cinta pada sepakbola berawal dari ajakan seorang teman menonton olahraga–yang kini harus saya akui sebagai olahraga paling—indah sekaligus juga paling menyakitkan di muka bumi.

Awalnya, menyetujui ajakan itu karena saya berniat ingin mengusir suntuk saja dari rutinitas hidup di kota, di mana penghuninya sudah tampak pasrah menerima sedikit pilihan kala suntuk datang mendera. Dan pilihan itu hanya ada: duduk di warung kopi, atau sesekali datang ke pantai [tentu berbayar], main ke sungai [juga harus merogoh kocek], dan kembali lagi duduk di warung kopi. Begitu saja.

Apa yang saya katakan barusan tentang kota ini sudah pasti bisa didebatkan panjang. Tetapi saya tak ingin berdebat soal itu. Benar atau salah tergantung siapa yang merasa. Dan begitulah rasa yang mengganjal di hati saya.

Bermula dari situ, ketika ada klub sepakbola di kota ini yang mencuri perhatian saya, saya mulai menemukan tempat terbaik melepas belenggu suntuk hidup di kota yang nyaris menyentuh umur seribu tahun ini.

Klub itu bernama Persiraja. Riwayatnya bermula pada 1957. Jatuh bangun tak pelak pernah menimpanya. Saya percaya sebuah tim sepakbola yang hebat selalu pernah terluka. Begitu juga dengan Persiraja Banda Aceh.

Tapi hari ini saya tersentak sadar. Luka ditorehkan oleh sepakbola ternyata sangat perih. Menghantam segala sendi tubuh saya yang sebenarnya baik-baik saja. Lambung terasa mual. Mulut saya pahit. Bagian belakang kepala terasa bagai diduduki sekarung semen. Mata saya berair. Jantung terasa lambat berdegup. Bedebah betul rasa ini!

Baru saja rasanya saya berteriak girang menyaksikan para pemain Persiraja membobol jala lawan-lawannya. Memetik kemenangan demi kemenangan. Sukma kebahagiaan bertebaran di hati. Ikut membantu bibit-bibit cinta yang saya tanam di relung hati untuk Persiraja.

Namun kemarin, dari semua apa yang saya rasakan itu sekelebat tersapu oleh kekalahan paling telak dalam sejarah perjalanan saya mencintai Persiraja Banda Aceh.

Klub kesayangan saya itu dilibas tanpa ampun oleh PSS Sleman dengan hasil akhir 0-5 di perempat-final Liga 2 Indonesia, liga di mana Persiraja jika dilihat dari riwayat panjangnya, sejarah yang diembannya, marwah yang melekat di tubuhnya, sudah sepatutnya hijrah dari level liga tersebut.

Akal sehat saya seperti berontak tak terima. Saya marah sekaligus sedih. Kekalahan ini, dari sudut pandang saya, bagai balasan kepada cinta saya yang diperlakukan tidak manusiawi.

Saya sudah berjuang mencintai Persiraja sepenuh hati. Di mulai dari ketika muncul rasa di hati kecil saya yang menyatakan bahwa; Persiraja bukan lagi sebagai pelarian dari rasa suntuk, melainkan saya benar-benar telah jatuh hati padanya.

Mengkhususkan dalam sepekan waktu berharga yang saya miliki untuk menyaksikan klub ini bertanding adalah bagian dari wujud cinta saya itu. Datang ke stadion dengan membeli tiket dari uang yang seharusnya digunakan untuk memberi jatah perut saya menerima asupan gizi tiga kali sehari. Namun demi Persiraja, saya harus pasang kuping tebal mengabaikan protes cacing-cacing yang kelaparan itu di perut.

Bahkan kala Persiraja bertanding di kandang lawan, di seberang pulau sana yang terkenal dengan pendukung sepakbola fanatiknya, saya bersusah payah membeli paket internet untuk menonton streaming laga tersebut. Betul memang, perjuangan yang saya lakukan belum seberapa dibandingkan, misalnya, ada di antara kita yang bahkan tega membobol celengan untuk mewujudkan hasrat melihat Persiraja dari dekat memetik kemenangan. Orang-orang yang ‘segila’ itu tak sekonyol-konyolnya pergi dengan membawa misi melihat Persiraja dicundangi dengan kekalahan, bukan?

Kita juga rela berpanas-panasan dipanggang sinar matahari, ditusuk dingin oleh tajamnya hujan, tapi itu semua sedikitpun tak membuat surut langkah kaki menuju Stadion H. Dimurthala, yang konon selalu, kita, siapapun yang mencintai Persiraja, menganggap di sinilah tempat yang pantas bagi kita melihat klub lain tertunduk malu.

Kita tak pernah menuntut lebih pada Persiraja. Saya melihat itu bagian dari pada kekeliruan kita mencintai klub ini. Kita seperti dituntun masuk ke lembah cinta yang tidak rasional. Tiap kali kalah, hanya ada permintaan maaf yang terlontar tanpa memperbaiki secara sempurna kesalahan-kesalahan yang menyakitkan itu. Jika ini ibarat sebuah hubungan percintaan anak manusia, rasanya antara kita dan Persiraja seperti tengah menjalin hubungan yang tak sehat.

Sebelah sisi porsi hati kita yang mestinya dihidangkan kebahagiaan dari hubungan ini, sering sekali tak ditepati. Sebaliknya, porsi kita-lah yang dipaksa harus lebih peka memahami segala kemungkinan yang terjadi.

Suguhan kemenangan di kandang lawan inilah porsi yang luput dilakukan Persiraja terhadap hubungan cinta antara kita dengannya. Karena hanya harapan itu, kemenangan di kandang lawan itu, balasan yang sepadan dari cinta yang telah kita pupuk kepada Persiraja selama ini.

Kita tahu semua sudah berusaha. Dan kita juga (kembali) bisa memahami, dalam sepakbola kekalahan tak lebih dari persoalan gagal menata keberuntungan saja. Akan tetapi, yang tak bisa diterima akal sehat kita dari semua ini ialah, mengetahui bahwa kekalahan di kandang PSS Sleman Rabu (21/11) sore silam, terjadi karena dibuat oleh kebodohan-kebodohan yang telah diprediksi, tapi tak coba diantisipasi. Juga kecerobohan-kecerobohan yang mestinya lebih pantas dilakukan oleh sebuah klub yang bermain di liga tarkam.

Apa yang terjadi kemarin di Maguwoharjo adalah aib yang tak perlu kita bela. Kita cari-cari pembenaran untuk menutupinya. Kita berhak marah. Dan sebagaimana reaksi ketika seseorang sedang marah, segala bentuk nasehat bijak laksana masuk ke kuping kanan keluar ke kuping kiri.

Sampai di sini, barangkali ada yang geram ingin mengatakan; kalau memang cinta, harusnya tanpa syarat dong. Omong kosong kalau ada yang berpikiran demikian!

Mencintai itu tidak melulu soal saling memahami. Juga tak mungkin dibuat tanpa syarat. Sebab pada sisi yang lain dari mencintai, ada dorongan kuat bagi kedua belah pihak yang saling cinta itu, untuk melakukan tindakan menuntut.

Dan terakhir, kepada liga 1 Indonesia yang kami idam-idamkan, silakan kembangkan layar. Berangkatlah dan tinggalkan kami. Musim keberangkatan kali ini, kami—Persiraja—sudah innalillahi...


*Penulis merupakan suporter Persiraja di tribun C. Dapat dihubungi di akun Twitter @alfaaaath.

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Foto: Liga-Indonesia.id

Komentar