Morrissey, Liverpool, dan Dendam Mereka pada Margaret Thatcher

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Morrissey, Liverpool, dan Dendam Mereka pada Margaret Thatcher

Oleh: Fajar Nugraha

Tahukah Anda bahwa “Margaret on the Guillotine” milik Moz (Morrissey) pernah dinyanyikan pula oleh The Travelling Kopites? Lagu itu adalah salah satu dari dua belas nomor dalam debut album Viva Hate yang dirilis oleh HMV Records pada 14 Maret 1988. Sedangkan The Travelling Kopites adalah pseudonim bagi pendukung Liverpool di laga tandang.

Kontroversi macam apa yang ada di balik lagu itu—yang membuat Moz diciduk Scotland Yard dan diinterogasi agen intelijen Special Branch karena tuduhan makar? Atas alasan apa pendukung Liverpool menyanyikan refrain lagu itu saat laga tandang melawan Reading di Madejski Stadium—yang bertepatan dengan peringatan tragedi Hillsborough kedua puluh empat?

Kritikus film dari New Statesman, Ryan Gilbey, menilai biopic Moz yang berjudul “England is Mine” gagal total dalam menggambarkan Moz. Baginya, judul biopic itu malah menggugurkan figur Moz muda bersama The Smiths yang dengan caranya sendiri mengkritik kebijakan politik di negaranya. Terlepas dari blunder fatal pada judul biopic Moz itu, album Viva Hate meneruskan kiprah Meat is Murder dan The Queen is Dead dari The Smiths di kemudian hari.

Majalah Rolling Stone menyebut album Viva Hate sebagai “a tight, fairly disciplined affair”. Sedangkan Pitchfork menyebutnya sebagai “one of Morrissey`s most interesting records, and certainly his riskiest”. Bagi saya sendiri, album Viva Hate adalah album yang memang wajib didengar sebelum masuk liang lahat. Siapa yang menyangka perilisan album Viva Hate itu berbarengan dengan hari kelahiran Sasha Grey dan ulang tahun ke-55 Persib Bandung?

Kendati pasca perilisan Viva Hate Moz diciduk Scotland Yard dan diinterogasi oleh penyidik Special Branch karena tuduhan makar, Moz tetap lolos dari sangkaan itu. Kurangnya bukti konkret yang menunjukkan upaya makar itulah yang membuat Moz bisa melenggang dari investigasi. Namun baru setelah peristiwa itu, Moz justru semakin memperlihatkan tendensi kebenciannya pada Thatcher. Hal itu mencuat lewat wawancaranya dengan Loaded Magazine dan surat terbukanya yang dipublikasi di The Daily Beast.

Morrissey, penyanyi kawakan sekaligus mantan vokalis The Smiths. Foto: @BBC6Music

Dalam lirik “Margaret on the Guillotine”, Moz menyinggung sosok (yang disangka Thatcher) sebagai seseorang yang mempunyai ‘wonderful dream’. Lantas pada sesi wawancaranya dengan Loaded Magazine, Moz menyebut Thatcher sebagai ‘a terror without an atom of humanity’. Tak hanya itu, Moz pun memaparkan lebih jauh sosok Thatcher menurut pandangannya dalam surat terbukanya di The Daily Beast.

“Thatcher menghancurkan industri manufaktur Britania, ia membenci para buruh tambang, ia membenci para seniman, ia membenci Irish Freedom Fighters dan menghendaki mereka untuk mati, ia membenci warga miskin Inggris dan tak melakukan apapun untuk membantu mereka, ia tak punya nurani dan keramahan, bahkan kabinet bentukannya pun ingin menendangnya dari tampuk kepemimpinan,” tegas Moz.

Bahkan dalam surat terbuka itu, Moz melabeli Thatcher sebagai ‘Barbaric’. Ia menyimpulkan itu karena Thatcher memutuskan untuk merebut kembali Falklands dari okupasi militer Argentina. “Thatcher hanya akan dikenang oleh para sentimentalis yang tak merasakan kesengsaraan di bawah kepemimpinannya, tapi mayoritas pekerja Britania telah melupakannya, dan warga Argentina akan melakukan selebrasi atas kematiannya.” tutup Moz dalam surat terbukanya.

Itulah alasan mengapa Moz begitu membenci Thatcher sejak The Smiths berkiprah. Hingga ia menghadiahkan “Margaret on the Guillotine” pada Thatcher. Ia begitu menikmati babakan repetitif pada lagu itu; “when will you die? when will you die? when will you die?”

Selain Moz, ada juga pihak lain yang begitu membenci Thatcher: pendukung Liverpool. Mengapa pendukung Liverpool, sama seperti halnya Moz, turut mendendam dan amat sangat membenci seorang Margaret Thatcher?

Pendukung Liverpool dan rasa benci mereka terhadap Thatcher

Kebencian pendukung Liverpool pada Thatcher berawal dari Tragedi Heysel pada 29 Mei 1985 silam. Setelah kejadian itu, hooliganisme di Inggris mencapai titik kulminasi. Thatcher yang kala itu tengah menjabat sebagai perdana menteri, menanggulanginya dengan tangan besi.

Thatcher menerapkan kebijakan yang mengharuskan setiap pendukung klub mesti memiliki semacam kartu identitas suporter jika ingin masuk ke dalam stadion. Lantaran kebijakan Thatcher itu, sontak mematikan potensi klub untuk menjaring penonton baru datang ke stadion.

Tak hanya pada pendukung sepakbola saja Thatcher mempraktikkan tangan besinya. Tengok bagaimana kebijakannya mengatasi demonstrasi serikat buruh di South Yorkshire yang dipimpin oleh Arthur Scargill. Scargill menentang keputusan Thatcher untuk menutup tambang-tambang batubara yang sudah tidak ekonomis. Konfrontasi antara serikat buruh dan pemerintahan Thatcher itu dikenal dengan nama “Battle of Orgreave”.

Kala itu Scargill mengira Thatcher akan menyerah begitu listrik padam akibat pasokan batubara yang terputus. Namun ternyata Thatcher sudah bersiap diri dengan menimbun stok batubara. Sehingga dalam adu kuat yang berlangsung selama satu tahun, pemogokan besar itu berakhir tanpa konsesi dari pemerintah. Sejak saat itu kekuatan serikat buruh tak pernah bisa kembali seperti sedia kala—yang di mana di dekade sebelumnya sukses menggulingkan Heath sebagai perdana menteri.

Puncak kebencian pendukung Liverpool pada Thatcher adalah saat terjadinya Tragedi Hillsborough pada 15 April 1989. Di Hillsborough Stadium milik Sheffield Wednesday kala itu, dihelat partai semifinal FA Cup antara Liverpool dan Nottingham Forest. Karena crowd control stadion yang buruk, 96 pendukung Liverpool yang berada di tribun Lepping Lane tewas terhimpit.

Selama kurun waktu 20 tahun lebih, pada akhirnya terkuak juga kebenaran bahwa memang terjadi penutupan fakta dengan sengaja. Ternyata memang ada faktor kelalaian oleh pihak kepolisian South Yorkshire yang bertugas kala itu. Namun, di laporan akhir pasca kejadian, nama unit kepolisian South Yorkshire tetap bersih. Thatcher tetap bersikukuh bahwa penyebab utama kejadian adalah ulah pendukung Liverpool sendiri.

Kontan, hal itu menunjukkan bahwa Thatcher memang tak mempunyai nurani di hadapan keluarga dari 96 korban tragedi Hillsborough. Salah satu teori yang yang menyimpulkan mengapa Thatcher bersikeras mempertahankan argumennya adalah bahwa ia berutang jasa pada kepolisian South Yorkshire. Terlebih saat unit kesatuan polisi itu mengatasi protes dan demonstrasi buruh tambang pada saat “Battle of Orgreave”.

Penyebab utama kemurkaan publik sepak bola Inggris pada Thatcher tak lain dari kesimpulan investigasi pemerintahan Thatcher sendiri. Mereka berkesimpulan bahwa Tragedi Hillsborough terjadi karena ulah para pendukung Liverpool yang mabuk dan berbuat onar.

Ungkapan terima kasih The Kopites atas dukungan bagi para korban tragedi Hillsborough, 1989. Foto: @433Formation

Di tribun stadion Anfield saat laga kandang Liverpool selalu terlihat spanduk bertuliskan “Expose the lies before Thatcher dies”. Kendati kebenaran terungkap sebelum Thatcher meninggal, namun ia sudah terlalu uzur untuk memberikan klarifikasi perihal tragedi itu.

Pada 13 April 2013, laga Liga Primer mempertemukan antara Reading menghadapi Liverpool. Sebagai tuan rumah, segenap elemen klub Reading di Madejski Stadium memberikan sebuah tribute kehormatan mengenang 96 korban Tragedi Hillsborough. Tak hanya sebuah laga tribute, laga itu berselang 5 hari dari kematian Thatcher.

“Ole, ole, Maggie`s dead, dead, dead” terdengar dikumandangkan mulai dari bus-bus di ruas jalanan kota Reading, hingga ke dalam Madejski Stadium. Ketika pendukung Liverpool melakukan conga selama 15 menit sembari meneriakkan chant “We will all do a conga `cos Maggie is a gonner”, pendukung Reading membalasnya dengan chant “Always the victims” dan “We pay your benefits”. Tak hanya itu, refrain lagu “Margaret on the Guilotine” milik Moz pun tak luput diteriakkan.

Total 96 kursi Madejski Stadium dikosongkan. Sebagai chairman Reading, Sir John Madejski memimpin sesi mengheningkan cipta bagi 96 korban Tragedi Hillsborough. Seisi stadion senyap dalam 96 detik. Setelah mengheningkan cipta untuk para korban Tragedi Hillsborough selesai, Madejski Stadium bergemuruh kembali. Namun tak hanya kebisingan chant saja. “Kebisingan” pun hadir dari spanduk-spanduk yang dikibarkan pendukung Liverpool di tribun.

Spanduk seturut obituari kematian Thatcher dibentangkan. Mulai dari spanduk “You didn’t care when you lied, We don’t care that you died” hingga yang bertuliskan “a stroke of good luck”. Ada pula spanduk “Ding Dong! The Witch is Dead”. Kata-kata itu diadaptasi dari judul lagu The Wizard of Oz yang merajai tangga lagu Sunday`s top 40 setelah kematian Thatcher. Bahkan spanduk yang bertuliskan “We`re gonna have a party” dengan gambar potret Thatcher renta yang tengah dikejar malaikat maut, turut dikibarkan.

Meskipun laga berakhir imbang, namun hari itu angka di papan skor tak terlalu penting bagi kedua klub. Jikalau pun ada menit mengheningkan cipta dan ban lengan hitam melingkar di tangan pemain, itu semua ditunjukkan untuk 96 korban Tragedi Hillsborough, bukan untuk Thatcher.

Pangeran Siahaan, salah satu pandit lokal, mengungkapkan, “Anda tahu ia pemimpin macam apa jika Liverpool dan Alex Ferguson, dua entitas yang pada hari biasa akan saling membenci, mengubur kapak perang sejenak jika berbicara mengenai Margaret Thatcher”. Fergie murka pada pernyataan seorang wartawan yang menyamakan sosok dirinya dengan Thatcher. Sebelum menjadi pelatih, masa lalu Fergie adalah seorang buruh galangan kapal. Sektor profesi itu adalah yang paling ditindas oleh pemerintahan Thatcher.

Bahkan rival abadi dunia-akhirat Liverpool, yakni Everton, akan melakukan hal yang sama dengan Fergie apabila membicarakan Thatcher. Pada derby Merseyside edisi kesekian, pendukung Everton membentangkan spanduk yang bertuliskan “You took our milk, but you`ll never take our pride. Rot in hell, Maggie. From the whole of Merseyside”.

Spanduk itu ditujukan untuk Thatcher yang pada saat diangkat sebagai menteri pendidikan era Heath, melakukan kebijakan pemangkasan anggaran. Dampak yang paling terasa dari program itu adalah penghapusan susu gratis di sekolah untuk murid usia 7-11 tahun. Karena itulah, ia disebut sebagai ‘Si Perampas Susu’ oleh pendukung Everton.

Ada hal yang mesti Anda ketahui, Moz adalah seseorang yang membenci sepakbola. Sedangkan pendukung Liverpool pun tak terlalu sering mendaur-ulang lagu-lagunya untuk dijadikan chant. Sudah jelas, keduanya adalah negasi. Namun jika memang tengah membahas Thatcher, keduanya bakal menganggap satu sama lain sebagai kamerad di medan puputan.

Penulis adalah redaktur musik di metaruang.co. Biasa berkicau di akun Twitter @fajaregal


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar