Time Is On Our Side, Yes It Is!

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Time Is On Our Side, Yes It Is!

Artikel #AyoIndonesia karya Budi Prasetyo H.

You’re searching for good times

But just wait and see

Time, is on my side

Yes it is!

- Time Is On My Side, The Rolling Stones (1964)

Jakarta, 18 November 2016

Hari ini, saat pulang bekerja, pikiran saya tak bisa lepas dari Timnas Indonesia yang akan berlaga melawan Thailand. Sepanjang perjalanan pulang, saya khusyuk memikirkan yang akan terjadi pada Timnas selama gelaran Piala AFF 2016 ini. Sembari mendengarkan alunan gitar dari Brian Jones dan Keith Richards yang dipadukan suara khas Mick Jagger dari smartphone saya, perlahan terngiang ingatan enam tahun yang lalu.

Bogor, Desember 2010

Mengikuti sepakbola sejak tahun 2001, saya terbilang telat mengenal sepakbola lokal. Baru pada tahun 2005 saya mulai mengikutinya, itupun sebatas mendukung Persija Jakarta. Pertandingan Timnas pertama yang saya lihat secara langsung barulah Piala Asia 2007 saat melawan Bahrain. Itu adalah pertama kalinya saya menonton sepakbola di stadion. Dikarenakan berbagai alasan, baru pada tahun 2010 saya bisa lagi menonton Timnas di Stadion.

Setelah kemenangan telak melawan Malaysia di fase grup, saya memutuskan datang ke stadion untuk menonton langsung Timnas. Awalnya orangtua menentang keras karena alasan keamanan, namun dengan tekad yang kuat, akhirnya saya merebut izin untuk berangkat ke Senayan. Dikarenakan waktu dan dana yang mepet, saya memutuskan untuk menonton pertandingan melawan Laos dari rumah. Saya baru melangkahkan kaki ke Stadion saat Timnas berhadapan dengan musuh bebuyutannya, Thailand.

Singkat cerita, saya bersama adik lelaki dan beberapa teman saya datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk menyaksikan pertandingan antara Indonesia melawan Thailand. Masih teringat jelas di memori saya saat Bambang Pamungkas mencetak dua gol melalui titik putih. Seluruh stadion bergemuruh, berteriak merayakan kemenangan melawan musuh bebuyutan Thailand.

Setelah menonton laga semifinal di televisi karena keterbatasan dana (ya, saat itu saya masih duduk di bangku SMU dan memutuskan menabung saja untuk pertandingan final), bersama dengan paman saya berangkat ke Senayan untuk membeli tiket final. Berangkat setelah shalat subuh dari Bogor ternyata bukanlah pilihan bijak. Ribuan orang telah mengantri di loket-loket pembelian tiket. Setelah menunggu selama enam jam dan handphone saya dicopet, akhirnya saya mendapatkan tiket pertandingan final. Walaupun kesal, saya berfikir kalau Indonesia juara maka semua akan terbayar lunas.

Namun seperti yang telah kita ketahui, Indonesia (kembali) gagal meraih trofi Piala AFF. Gol-gol dari M. Nasuha dan M. Ridwan gagal membalas tiga gol yang dilesakkan Malaysia pada leg pertama. Saya tertunduk sedih, harus pulang ke Bogor dari Jakarta dengan mengendarai sepeda motor malam itu, kehilangan handphone, namun Indonesia tetap gagal meraih trofi.

Bekasi, 18 November 2016

Lamunan saya terbuyarkan oleh suara Adzan Maghrib. Setelah menunaikan ibadah, saya membuat segelas kopi dan melanjutkan lamunan saya. Mengais ingatan enam tahun yang lalu bukanlah sesuatu yang gampang ternyata. Walaupun Timnas bermain sangat baik enam tahun yang lalu, namun terasa ada yang kurang dari permainan anak-anak asuh Alfred Riedl. Sembari menghisap sebatang rokok cengkeh kualitas super, saya mencoba mengingat yang kurang dari Timnas Indonesia enam tahun yang lalu.

Tidak adanya pemimpin di lapangan! Memang terdapat sosok seperti Firman Utina saat itu, namun sosoknya yang pendiam kurang dapat menjadi sosok pemimpin. Bambang Pamungkas sejatinya adalah pemimpin tim ini, namun ia hanya menjadi penghangat bangku cadangan seiring gemilangnya penampilan Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales. Kala itu Indonesia juga terlalu terpaku dengan formasi 4-4-2 dan kurang memiliki variasi taktik. Hal ini terbukti saat pertandingan final, ketika Malaysia dapat mengeksploitasi kelemahan-kelemahan Indonesia.

Timnas Indonesia enam tahun yang lalu juga terlihat sangat bergantung pada sosok Firman Utina. Saat Firman dijaga ketat, penyerangan terlihat mandek. Tidak adanya gelandang lain yang mampu mendistribusikan bola sebaik Firman juga menjadi kendala saat itu, walaupun terdapat nama-nama sekelas Eka Ramdani dan Ahmad Bustomi, kedua nama tersebut belum dapat menjadi alternatif bagi Riedl.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, absennya Boaz Solossa saat itu sedikit banyak juga berpengaruh. Boaz yang kala itu memiliki masalah dengan manajemen Timnas menolak untuk dipanggil oleh PSSI. Dengan absennya Boaz, Riedl terpaksa membawa pemain-pemain yang belum berpengalaman seperti Johan Jaunsyah dan Yongki Aribowo. Saya rasa apabila Boaz ikut serta pada pagelaran AFF 2010 lalu, Riedl akan lebih memiliki banyak variasi serangan dan Indonesia (mungkin) membawa pulang Piala AFF ke Jakarta.

Dibanding pagelaran empat tahun lalu, sebenarnya saya lebih optimis dengan skuad kali ini dari materi pemain. Ketiga kiper yang dibawa kali ini semuanya adalah kiper bagus. Mulai dari alumni Tim 2010 Kurnia Meiga, lalu De Gea-nya Persija Andritany, serta kiper muda berbakat Teja Paku Alam. Rentang usia ketiganya juga tidak begitu jauh sehingga menghadirkan persaingan ketat yang tentunya menguntungkan Indonesia.

Di lini belakang hanya Benny Wahyudi yang tersisa dari skuad AFF 2010. Sisanya adalah bek-bek muda berkualitas seperti Yanto Basna, Abdu Lestaluhu, Manahati Lestusen, dan Hansamu Yama. Ketiganya merupakan bek muda masa depan Indonesia. Selain mereka masih ada bek-bek yang masih dalam masa emas sepakbola.

Beralih ke lini tengah, saya rasa kali ini Timnas Indonesia memiliki gelandang yang lebih bervariasi. Ada regista seperti Evan Dimas, gelandang tengah berenergi seperti Stefano Lilipaly dan Bayu Gatra, serta sayap-sayap seperti Zulham Zamrun dan Andik Vermansyah. Di lini depan ada Boaz dan Ferdinand yang merupakan fantasista serta prima punta pada diri Lerby dan Muchlis Hadi.

Sebenarnya sangat disayangkan Irfan Bachdim cedera, karena duetnya dengan Boaz merupakan duet striker Indonesia klasik. Mereka mengingatkan saya pada duet Bambang Pamungkas dengan Ellie Aboy, atau Budi Sudarsono, yang tak kenal lelah mengejar bola. Namun apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Saya tidak yakin ada di antara Ferdinand Sinaga, Lerby Eliandry, dan Muchlis Hadi mampu memainkan peran striker seperti Irfan. Namun saya yakin Riedl mampu menemukan komposisi terbaik untuk Timnas Indonesia.

Saya sedikit teringat dengan kondisi Timnas Italia sepuluh tahun yang lalu. Diterpa badai calciopoli, membawa pemain yang dianggap sudah habis, dan tidak diunggulkan, nyatanya Italia meraih gelar juara dunia setelah 24 tahun. Walaupun tidak sama persis, dengan segala masalah yang ada saya harap Indonesia mampu menggondol Piala AFF untuk pertama kalinya tahun ini. Kalaupun Timnas gagal membawa pulang gelar juara, toh saya tidak sedih-sedih amat. Dengan rataan usia 24.8 anggap saya ini waktu pembelajaran buat generasi Teja, Hansamu, Manahati, Evan Dimas. Kalaupun bukan tahun ini, masih ada dua tahun lagi. Time is on our side my brother, believe me!

Pemain Bass dan Penulis amatir. Penggila musisi yang berasal dari Britannia Raya dan Sepakbola Italia. Jatuh ke pelukan Si Nyonya Tua sejak 15 tahun yang lalu berkar Raja Alessandro. Hit me on twitter @tyohars and my blog tyohars.tumblr.com. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar