Karena Abduh Lestaluhu adalah Kita

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Karena Abduh Lestaluhu adalah Kita

Artikel #AyoIndonesia karya Muhammad Abdulloh

Apa yang lebih Indonesia daripada mendapatkan kartu merah di 30 detik terakhir karena hal yang terjadi di luar lapangan?

Perjuangan timnas Indonesia pada leg ke-2 final AFF Cup 2016 di Rajamangala stadium terganjar dengan gelar runner-up. Untuk kelima kalinya Indonesia ‘berhasil’ menjadi runner-up dan melayakkan opa Alfred Riedl menjadi Mr. Runner-up. Hasil ini juga sekaligus mengokohkan Kiatiasuk Senamuang yang menjuarai Piala AFF sebagai pemain (2002) dan pelatih (2014 dan 2016).

Apa yang salah? Tentu banyak hal dapat dijadikan alasan, dari hukuman FIFA hingga tidak kompletnya komposisi pemain karena liga yang masih berjalan atau formasinya yang salah. Siapa yang salah? Tentu banyak orang dapat dijadikan kambing hitam, mengapa Alfred Riedl? Mengapa Zulham Zamrun? Mengapa Ferdinan Sinaga? Mengapa Andik Vermansyah tidak dapat bermain?

Dua minggu ini menjadi cerita panjang bagi sejarah persepakbolaan Indonesia, dari ketua umum PSSI yang tentara aktif, penjualan tiket di markas tentara, hingga stadion Pakansari yang tiba-tiba populer. Para pewarta dan ‘pengamat’ tak akan kehabisan angle untuk dibahas.

Rasanya, bagi penulis, baru kemarin AFF 2010 dengan sensasinya berlalu. Irfan Bachdim, Christian ‘El Loco’ Gonzales, hingga laser hijau. Pun demikian dengan SEA Games 2013 dengan Diego Michielsnya, dua turnamen yang berhasil mengantarkan Indonesia sebagai runner-up. Rasanya baru kemarin pula, Boaz Salossa bermain bersama Ilham Jayakesuma pada Tiger Cup 2004 (nama AFF Cup ketika itu) dan digelari wonderkid hingga menjadi pemain (paling) senior di tim AFF Cup 2016.

Lalu kemana evolusi sepakbola Indonesia? Tentunya hal ini dapat dilihat dari sebaran pemain timnas yang hanya membawa dua pemain berusia 30 tahun, Boaz Salossa dan Benny Wahyudi, dan terdapat beberapa nama superstar dari timnas U-19 yang pernah fenomenal itu. Sebut saja Hansamu Yama dan Evan Dimas. Ya, ini (harusnya) masa para generasi Y (generasi yang lahir tahun 1990an). Generasi yang terpapar revolusi digital, generasi pemaraf petisi daring.

Lalu dengan pemain muda dengan darah muda, lalu apa yang salah? Pernah ada suara sumir dari seorang pelatih dalam acara talkshow yang terkenal tajam itu bahwa dengan adanya karut marut sepakbola pada medio 2012-2014 PSSI sebagai induk olahraga sepakbola Indonesia tidak lagi memperhatikan kompetisi Kelompok Umur (KU). Padahal dalam iklan komersial kompetisi sepakbola anak yang diadakan oleh grup usaha asal Prancis, Indonesia tidak buruk-buruk amat. Bahkan, Indonesia pernah melakukan ‘investasi’ jangka panjang di Uruguay.

Namun, para lulusan metode tersebut tidaklah terlalu mentereng, masih kalah mentereng dengan metode diklat klasikal seperti Diklat Ragunan. Hingga datanglah masa fenomenal medio 2013 dengan pelatih karismatik Indra Sjafrie, yaitu timnas U-19. Permainan ‘ganas’ a la Indra Sjafrie yang berhasil memberikan gelar AFF U-19 2013 seakan menguap ketika para superstar timnas U-19 naik kelas ke timnas senior.

Permainan yang begitu - begitu saja dari pelatih yang begitu - begitu saja. Tentunya mengagetkan bagi sebagian supporter Indonesia ketika mengetahui pelatih yang ditunjuk oleh PSSI ‘baru’ adalah ‘orang lama’, si Penglanglang Buana Asia Tenggara, Opa Alfred Riedl. Ini adalah kali ketiga ‘bule’ Austria ini menukangi timnas Indonesia. Permainan kick and rush menjadi ciri khas timnas Indonesia pada AFF Cup 2016, namun tanpa si singa Gonzales di kotak penalti. Dengan strategi ini, Indonesia berhasil mencetak 12 gol sepanjang turnamen dengan rataan 1,7 per pertandingan, bahkan Indonesia selalu mencetak dua gol di setiap pertandingan kecuali pertandingan final leg kedua.

Lalu dengan pemain muda, strategi menyerang yang lumayan, apa yang salah? Mengenai suporter, tentu ini adalah oasis di tengah dahaga aksi timnas Indonesia. Setelah setahun berpuasa, para supporter dapat merayakan ‘lebaran’ bersama – sama dalam gelaran AFF Cup 2016 dengan sejenak menanggalkan attribut kedaerahan. Bahkan, tahun ini, Bapak Ketua PSSI baru yang perwira itu melakukan ‘revolusi’ dengan menjual tiket final di markas tentara yang menghasilkan banyak cerita di minggu lalu. Antusiasme supporter tak surut, bahkan penasaran dengan penampilan timnas yang baru, tidak seperti sang juara yang suporternya sudah sedikit bosan.

Nah, pemain muda, strategi menyerang, supporter antusias, lalu? PSSI yang baru tampak seperti PSSI yang begitu – begitu saja, masih ada beberapa ‘orang lama’ di dalam PSSI yang baru. Bahkan operator Liga yang baru, PT Gelora Trisula Semesta, adalah bentuk sementara dari PT Liga Indonesia. Dan juga si bos karismatik dari klub kepala singa itu menjadi waketum PSSI yang baru dan terlihat di bench timnas Indonesia, persis seperti yang ia lakukan di tiap pertandingan klub kepala singa. Namun, kita harus tetap optimis dengan PSSI baru yang sudah memenuhi hasrat sebagian supporter, yaitu dipimpin tentara.

Pemain muda, strategi menyerang, supporter antusias, PSSI baru, apa yang kurang? Karakter! Sepakbola Indonesia masih permisif dan berorientasi singkat. Publik masih terus ‘memaafkan’ kekalahan Indonesia baik di AFF Cup maupun SEA Games, bahkan kekalahan fenomenal Lord Aji Santoso perlahan – lahan mulai dimaafkan, karena beliau ditunjuk menjadi pelatih U-23 dan saat ini menukangi Persela Lamongan. Bongkar pasang pemain, pemain one-hit-wonder masih menjadi corak Timnas Indonesia. Indonesia masih memiliki sedikit pemain dengan ‘identitas’ yang menjadi langganan timnas dan panutan. Dalam dekade terakhir, hanya terdapat Kurniawan Dwi Yulianto, Ilham Jayakesuma, Bambang Pamungkas, dan Boaz Salossa. Nampaknya nama terakhir sebentar lagi akan gantung sepatu dan harus segera ‘dikloning’. Pengurus PSSI dapat mencontoh langkah yang ditempuh oleh federasi sepakbola jerman (DFB).

Jerman telah banyak menelurkan pemain ‘beridentitas’ dengan sepakbola berkarakter, sepakbola yang berorientasi jangka panjang. Apakah mungkin PSSI mencontoh langkah DFB? Apa yang tidak mungkin? Leicester saja bisa juara EPL sedangkan Liverpool belum pernah mencicipinya, RB Leipzig dapat mengangkangi Bayern Muenchen di 1.Bundesliga.

Abduh Lestaluhu mungkin melakukan tindakan nekat di akhir pertandingan. Namun dia adalah kita, wajah sepakbola Indonesia. Ada kekesalan yang tak terungkap ketika Indonesia (lagi-lagi) harus takluk di final kelima kalinya. Lebih dari itu, seperti halnya Abduh, kita harus terus belajar dan berkembang, seperti julukan Andrie Wongso, Sang Pembelajar.

I believe in an idea, an idea that a single individual who has the right heart and the right mind that is consumed with a single purpose, that one man can win a war. Give that one man a group of soldiers with the same conviction, and you can change the world.

-- Captain America pada komik Dark Reign : New Nation

Penulis merupakan part-time developer, full-time (Football Manager) Manager. Bisa dihubungi di surel muhammad.abdulloh93@gmail.com. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Komentar