Jaga Sikap, Ini Lapangan Hijau!

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Jaga Sikap, Ini Lapangan Hijau!

Oleh Naqib Najah*

Para pemain bola tahu, lapangan hijau tidak ubahnya kantor yang sakral bagi mereka. Sikap memegang peranan penting, atau jika tidak, bersiaplah didepak dari jagat sepak bola karena buruknya sikap.

Kalimat bernada perintah untuk menjaga sikap sering ditemui di tempat-tempat sakral. Seseorang diminta menjaga sikapnya saat masuk ke dalam masjid, gereja, atau pura. Jaga sikap Anda, demikian bunyi kalimat tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sakral berarti yang disucikan. Sementara kata suci diartikan sebagai tempat yang tidak bernoda, bebas dari dosa, dan cela. Lapangan hijau perlahan-lahan tidak sekadar lahan bermain saja. Tidak sekadar tempat pertemuan antara dua kubu dalam pertandingan bertajuk sepak bola. Lebih dari itu, lapangan hijau adalah tempat sakral yang tidak menerima noda dalam bentuk sikap yang negatif atau tindakan tidak fair play.

Lou Holtz, seorang analis sepak bola untuk ESPN, menekankan pentingnya sikap dalam merespons apa yang terjadi dalam diri kita. Ketika seorang pemain sepak bola mendapat gangguan dari lawan, maka yang terpenting adalah bagaimana meresponsnya.

“Hidup adalah sepuluh persen apa yang terjadi pada Anda dan sembilan puluh persen bagaimana Anda menanggapinya,” tutur Lou Holtz. Respons yang baik, akan berdampak pada yang baik pula. Sebaiknya, respons yang buruk akan menjatuhkan reputasi kita.

Cristiano Ronaldo mungkin lupa akan nasihat Lou Holtz. Dua minggu setelah penobatannya sebagai pemain terbaik dunia, Ronaldo malah mendapat ganjaran kartu merah. Bermain di Estadio Nuevo Arcángel, Sabtu (24/1/2015), wasit mengusir sang mega bintang karena respons buruknya terhadap penjagaan pemain Cordoba, Edimar. CR7 ditempel ketat Edimar saat Real Madrid mendapat tendangan bebas. Setengah frustrasi karena kedudukan masih 1-1-, Ronaldo malah menendang Edimar. Penjagaan ketat direspons Ronaldo dengan sikap yang buruk. Kartu merah pun diberikan.

Kealpaan juga menimpa dua pemain Atletico Madrid. Gabi dan Arda Turan mungkin ingin menikam Jesus Gil Manzano yang berdiri selaku pengadil lapangan saat melawan Barcelona, Kamis (29/1/15). Sudah kalah 2-3 di babak pertama, Atletico masih harus menerima keputusan ganjil dari wasit muda berusia 30 tahun itu. Sudah terang-terang tangan Jordi Alba menyentuh bola di area terlarang, wasit tidak memberikan tendangan penalti untuk tuan rumah. Gabi memprotes wasit berlebihan, kartu kuning kedua pun dikeluarkan.

Arda Turan juga mengalami kealpaan yang sama. Merasa terganggu oleh kawalan pemain Barcelona hingga sepatunya copot, hakim garis yang ada di dekatnya bergeming tidak mengibarkan bendera pelanggaran. Sepatu yang kadung copot pun dilemparkan kepada sang hakim garis. Beruntung sang pengadil lapangan hanya memberinya kartu kuning saja.

Jika merujuk pada nasihat Lou Holtz, maka Ronaldo, Gabi dan Arda Turan sebenarnya sedang lalai. Tidak penting apa yang sedang menimpa seorang pemain, tapi yang lebih penting bagaimana meresposnya. Jangan mengarahkan emosi pada aksi lawan, tapi yang terpenting adalah reaksi kita atas perlakuan lawan tersebut. Lagi-lagi, respons yang baik akan berujung pada ganjaran yang baik.

Dalam dunia kerja lebih luas, attitude harus dipegang seseorang baik saat berada di luar lingkungan kerja dan terlebih di saat sedang bekerja.

Para pemain bola tahu, lapangan hijau tidak ubahnya kantor yang sakral bagi mereka. Sikap memegang peranan penting, atau jika tidak, bersiaplah didepak dari jagat sepak bola karena buruknya sikap.

Joe Girard, seorang pakar di bidang marketing tidak pernah lupa untuk selalu menjaga sikapnya di saat menawakan barang kepada pelanggan. Ketika dia bekerja  di saat itu juga dia turut menjual dirinya. Sikap masih satu bagian dari profesionalisme pekerjaan.

Bulan Desember tahun 2013 lalu, F73 Production merilis sebuah film documenter berjudul Class of 92. Ben Turner dan Gabe Turner yang berdiri selaku sutradara mengisahkan perjalanan enam pemain Manchester United yang berperan kuat dalam kesuksesan kota Manchester ini.

Kami banyak menulis cerita mengenai kiprah Class of 92. Simak beberapa ceritanya DI SINI.

David Beckham, Nicky Butt, Ryan Giggs, Gary Neville, Phil Neville dan Paul Scholes  dipuji-puji sebagai pemain jebolan akademi sepak bola MU yang sukses mengantarkan Setan Merah meriah trofi Liga Inggris pada musim 1993/1994. Ini adalah trofi Liga Inggris pertama bagi Sir Alex Ferguson bersama MU.

Di tengah mengkilaunya karir keenam orang tersebut, Eric Horrison selaku pelatih MU junior saat itu, menuturkan kisah terkait mantan anak-anak asuhnya. Dia memuji keenam pemain di atas. Mereka sukses hingga level profesional tidak hanya karena bakat. Lebih dari itu, mereka mempunyai sikap dan loyalitas terhadap tim.

Eric kecewa ketika salah satu pemain binaannya, Raphael Burke tidak bisa meroket seperti keenam pemain di atas. Eric tahu, Burke pemain berbakat saat masih berada di level MU junior. Hanya saja, sikap yang buruk merubah segalanya.

“Yang paling kusesalkan adalah Raphael Burke. Dia adalah pemain yang bertalenta. Jika sikapnya bagus ia akan menjadi pemain lapis pertama,” ucap Eric mengutarakan kekecewaanya.

Eric Harrison mengambil peran penting dalam perkembangan angkatan 92 yang legendaris itu. Hal itu dipaparkan dengan cukup baik dalam film dokumenter The Class of 92 (2013). Simak reviewnya DI SINI.

Dalam film Class of 92, Burke mengakui secara jujur bahwa kegagalannya dikarenakan buruknya sikap. Dia tidak bisa berdedikasi layaknya Giggs dkk.

“Kau harus bisa beradaptasi, itulah sepak bola. Aku bertalenta tapi tidak berdedikasi seperti mereka. Saat orang bertanya seperti apa Becks dan Giggs, jika kamu ingin seperti mereka, berdedikasilah," aku Burke tentang dirinya sendiri.

Ancaman lengsernya seseorang dari popularitas lapangan hijau juga menghampiri Mario Balotelli. Seribu pujian terkait skillnya di lapangan hijau, ternyata sebanding dengan komentar buruk orang lain terkait sikap si Bengal.

Dari Inter Milan, Balotelli melanjutkan kiprahnya ke Manchester City, Milan dan kini sedang terseok-seok memperbaiki reputasinya di Liverpool. “Mario berisiko mengikuti jejak Adriano. Saya berharap bahwa dia bangun suatu pagi dan menyadari bahwa ia membuang-buang semuanya,” ucap Roberto Mancini.

Tidak hanya Mancini, Mino Raiola selaku agen pun mewanti-wanti pemainnya supaya memperbaiki sikap. Raiola tahu, skill tidak ada apa-apanya jika seorang pemain mempunyai sikap yang kacau.

“Mario yang sebenarnya punya kemampuan untuk menjadi yang terbaik di dunia, namun tidak dengan karakternya. Dan di fase seperti ini, Liverpool merupakan pelajaran terbaik yang bisa ia dapat. Ia merupakan pemain dengan tipe sensasional," tegas Raiola tentang Balotelli.

Terbaru, yang banyak dibicarakan, adalah nasib Ravel Morrison. Disebut-sebut sebagai pemain muda berbakat sejak masih bocah, Morrison memulai langkahnya dari Carrington, pusat latihan dan akademi Man United. Namun karena banyak berulah, Sir Alex membuangnya. Ia bermain di West Ham hingga Cardiff, dan terus saja membuat ulah. Terakhir ia resmi pindah ke Lazio, menjadi pemain Inggris setelah Paul Gascoigne yang berseragam Lazio. Ia mungkin bisa menjadi pemain penting di Lazio, tentu saja selama bisa datang ke tempat latihan tepat waktu dan tidak dalam keadaan teler.

Simak cerita seru mengenai kebengalan-kebengalan dan keteleran-keteleran Morrison DI SINI.

Lapangan hijau adalah tanah yang sakral. Tidak boleh ada noda di wilayah ini. Kesakralan sepak bola, terbentuk karena kerasnya persaingan dan tingginya perhatian publik. Maka sudah saatnya kalimat jaga sikap Anda tidak hanya tertera pada tempat-tempat peribadatan, namun sepak bola pun menuntut sikap bagi para pelakunya.

 =====================

*Naqib Najah: penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Aktif jualan “cermin” di paraqibma.blogspot.com. Twitter: Naqib_Najah.

Komentar