Menyambut Masa Depan Cerah Bersama Weah

Backpass

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Menyambut Masa Depan Cerah Bersama Weah

Pada 28 Januari 2002, George Weah memutuskan pensiun dari timnas Liberia. Tidak hanya publik sepakbola Liberia yang ikut berduka, tetapi juga seluruh negara. Pensiunnya Weah dari timnas merupakan pertanda bahwa ia sudah memasuki senja karier sepakbolanya. Adalah Weah yang mengangkat derajat sepakbola Liberia.

Weah lantas benar-benar gantung sepatu satu tahun kemudian. Namun, ternyata itu tidak berarti Liberia kehilangan sosok yang bisa menduniakan mereka. Justru sebaliknya, pensiunnya Weah menjadi awal munculnya harapan-harapan indah untuk masyarakat Liberia, karena setelah tak lagi berkarier lagi di dunia sepakbola, Weah semakin gencar menjalankan aksi kemanusiaan.

Puncaknya terjadi pada awal tahun 2018 ini. Setelah serangkaian perjalanan dan perjuangan, akhirnya Weah bisa memulai impiannya untuk lebih memanusiakan Liberia. Pada 22 Januari 2018, ia resmi terpilih sebagai Presiden Liberia ke-25. Menjadi pemimpin negara, ia pun berjanji akan memerangi korupsi, memperbaiki ekonomi negeri, memberantas buta huruf, dan meningkatkan kelayakan hidup masyarakat Liberia. Melihat perjalanan kariernya, hal-hal tadi bukan sekadar kalimat manis ala politisi. Weah sudah melakukan hal tersebut jauh sebelum ia terjun ke dunia politik.

***

Sebagai negara, Liberia awalnya dikenal sebagai negara yang revolusioner. Negara yang kini berpopulasi sekitar 4,5 juta jiwa ini merupakan negara Afrika pertama yang mendapatkan kemerdekaan. Sebagai negara republik pertama dan tertua, Liberia pun dianggap sebagai simbol kebangkitan kulit hitam di seantero Afrika. Negara yang merdeka pada 26 Juli 1847 ini pun menjadi pemicu negara-negara Afrika lain bahwa kulit hitam pun layak mendapatkan kebebasan.

Namun, politik Liberia bergejolak pada 1980. Kudeta militer terjadi ketika Presiden William R. Tolbert, Jr. dibunuh oleh Sersan Samuel Doe. Kubu Doe kemudian mengganti kabinet pemerintahan dengan orang-orang dari partainya. Hal ini jelas mendapatkan perlawanan sehingga akhirnya terjadi perang saudara.

Perang Saudara Liberia terjadi dua kali. Pertama pada 1989 hingga 1997, ketika Doe berhasil dilengserkan oleh rezim Charles Taylor. Perang Saudara Kedua terjadi antara kubu Taylor menghadapi pembangkangan dalam negeri yang mendapatkan dukungan dari Guinea dan Sierra Leone. Perang Saudara Kedua terjadi pada periode 1999 hingga 2003.

Selama terjadinya gejolak tersebut, Liberia benar-benar menderita. 250 ribu jiwa (8% populasi) menjadi korban. Ekonomi negara merosot hingga 90%. Sementara itu 85% populasi hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Dengan situasi itu, ketika virus Ebola datang, Liberia tak bisa berbuat banyak dan korban-korban semakin berjatuhan.

Weah tahu betul seperti apa rasanya menjadi orang Liberia. Ia lahir di ibu kota, Monrovia. Walaupun begitu, ia berasal dari pinggiran kota, Clara Town, yang merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Monrovia. Ayahnya seorang mekanik dan ibunya seorang pedagang. Karena ia 13 bersaudara, tak semuanya tinggal bersama orang tua. Weah termasuk yang diurus oleh neneknya. Selama 13 tahun Weah terpisah dengan orang tuanya melawan kemiskinan.

"Dalam sepuluh tahun terakhir, masyarakat kita terus melawan kemiskinan, pendidikan yang tidak layak, sistem kesehatan yang kacau, serta parahnya masalah listrik dan air. Sama seperti kalian, saya juga merupakan korban dari kemiskinan. Beberapa kali saya tidak punya biaya untuk sekolah," kata Weah pada April 2016 di hadapan para pendukungnya, seperti dikutip BBC.

Tidak hanya menghadapi kemiskinan, sebelum Perang Saudara Pertama terjadi, Weah juga menjadi saksi mata bagaimana orang-orang Presiden William R. Tolbert sudah diburu. Pada New York Magazine, ia bercerita ketika ia masih berusia 13 tahun, ia melihat 13 ajudan Presiden William diberendel peluru hingga tewas oleh pihak diktator Samuel Doe.

Sepakbola sendiri baru benar-benar serius ia tekuni pada usia 15 tahun. Sebelum itu ia harus bekerja sebagai operator telepon. Namun bakat sepakbola membawanya memiliki karier yang lebih baik. Padahal awalnya ia bermain di kesebelasan yang tak memiliki pelatih.

"Setiap hari kami bermain dari pagi sampai malam. Kami tidak punya pelatih, jadi semuanya kami kerjakan sendiri bersama pemain lain, dimulai dari pemanasan. Kami bekerja sampingan untuk membeli seragam dan bola sepak," kata Weah pada UNESCO Courier.

Upayanya itu tidak sia-sia karena bakatnya tercium oleh kesebelasan besar Liberia. Pertama Mighty Barolle, kemudian Invincible Eleven. Dua kesebelasan itu berhasil dibawanya juara Liga Liberia. Pada usia 21 tahun pun ia dipanggil timnas Liberia. Dari penampilannya di timnas Liberia juga ia bisa hijrah ke Eropa. Walaupun sebenarnya di timnas Liberia ia dijadikan kendaraan politik oleh Samuel Doe.E

"Presiden Doe menjadikan Weah sebagai kapten timnas dan memberikan bonus jika Liberia menang. Weah bahkan diundang ke istana negara untuk membicarakan sepakbola. Saat ekonomi Liberia ambruk, Doe bahkan mengirim Weah dan pemain timnas Liberia lainnya berlatih di Brasil," tulis Thomas Gale di laman Encyclopedia.

Hal tersebut sebenarnya bertentangan dengan sikap politik dirinya. Akan tetapi hal itu ia lakukan demi masyarakat Liberia juga. Karena misinya sejak kariernya membaik adalah membantu masyarakat Liberia lewat sepakbola yang ia mainkan. Terlebih lagi berkat timnas Liberia juga ia bisa hijrah ke Eropa untuk memperbaiki kariernya dan ia bisa lebih membantu masyarakat Liberia.

"Saya melakukan apa yang harus saya lakukan. Saya memutuskan untuk menjadi lebih kuat dan bermain lebih baik untuk memperbaiki imej negatif negara saya," tutur Weah seperti yang dikutip The Guardian pada 2000. "Orang-orang di kampung halaman saya sangat menderita sementara saya tidak akan pernah bisa melupakan negara saya. Tapi untuk 90 menit saya rela berkorban untuk itu dan melakukannya."

Weah bisa ke Eropa berkat pengamatan jitu pelatih timnas Kamerun, Claude Le Roy, yang kemudian mengabarkan potensi besar Weah pada rekannya pelatih asal Prancis, Arsene Wenger. Manajer Arsenal tersebut kemudian terbang ke Liberia hanya untuk merekrut Weah yang ketika itu masih berusia 22 tahun ke AS Monaco, tim yang ia latih pada 1988. Dari situ awal Weah memamerkan kehebatannya pada sepakbola dunia.

Setelah Monaco, ia hijrah ke PSG, AC Milan, Chelsea, Manchester City, Marseille, dan terakhir Al Jazira. Trofi-trofi bergengsi ia raih, dimulai dari piala Ligue 1, Serie A, hingga Piala FA. Ia juga pernah dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Dunia pada 1995. Oleh karenanya Weah sangat berterima kasih pada Wenger yang menjadi pintu baginya menuju kesuksesan, sampai-sampai ia memberikan trofi Pemain Terbaik Dunia miliknya pada Wenger.

"Masa lalu buruk saya membuat mental saya menjadi kuat dan bisa menghadapi masalah dalam karier saya dengan sangat positif. Saya ingat Arsene terus berkata pada saya, `Kamu bisa menjadi pemain hebat, kamu bisa jadi yang terbaik di dunia`. Saya pikir dia hanya bercanda. Tapi saya terus mencoba. Lalu ketika semuanya terjadi, saya baru percaya kalau Arsene ternyata benar. Apa yang bisa saya berikan? Saya tidak bisa memberikannya uang karena ia memilikinya dan uang bisa habis, sementara trofi tidak. Itulah alasan saya memberikan trofi Pemain Terbaik Dunia saya padanya, untuk mengingatkannya atas apa yang telah ia lakukan pada salah satu pemainnya."

Weah bersama Arsene Wenger (via: ducorsports.com)

Kesuksesan memang tidak membuat Weah menjadi besar kepala. Sebaliknya, dengan gaji besar dan popularitasnya, ia bisa lebih dermawan. Ia membiayai kehidupan nenek dan saudara-saudara kandungnya. Masyarakat Liberia pun mendapatkan pertolongan darinya.

Pada 1994, ketika ia membela PSG, ia menginisiasi imunisasi nasional di Liberia bersama UNICEF. Tak lama berselang, masih bersama UNICEF, ia menggalang edukasi HIV/AIDS di Liberia dan Guinea. Dengan serangkaian aksi kemanusiaan lainnya, pada 1997, ia terpilih sebagai duta UNICEF.

Hal tersebut semakin membuatnya semangat menggelar aksi kemanusiaan di negara-negara Afrika, khususnya di Liberia. Ia juga membangun akademi sepakbola di Liberia dengan syarat bermain di klub tersebut dengan melihat kehadiran sang pemain di sekolah, sebagai upaya agar anak-anak dan pemuda Liberia bersemangat sekolah.

Timnas Liberia yang kesulitan pun tak lepas dari pertolongannya. Pada 2001, ketika ia mulai mendekati akhir kariernya, ia menghabiskan hampir dua juta dollar AS untuk menjalankan timnas Liberia. Ketika itu ia menjadi pemain, pelatih, sekaligus direktur teknik. Ia adalah orang yang membelikan seragam dan peralatan pemain timnas Liberia, membayar gaji para pemain, hingga mengadakan pemusatan latihan di negara lain, karena Liberia sedang dilanda perang saudara.

"Segala yang saya miliki, saya berutang pada orang-orang Liberia. Saya memberikan kembali apa yang mereka berikan pada saya," tutur Weah pada 2001 seperti yang dikutip Sports Illustrated. Dari situlah awal mula suara-suara positif dari masyarakat Liberia yang mendukung Weah menjadi Presiden. Dua tahun kemudian ia pensiun dari sepakbola dan mulai menggeluti dunia politik untuk mewujudkan mimpi masyarakat Liberia, yaitu menjadikannya Presiden Liberia.

***

Meski sepanjang kariernya ia dikenal sebagai sosok yang dermawan, tak mudah baginya untuk menjadi Presiden Liberia. Latar belakangnya sebagai orang miskin nyatanya menjadi sandungan dalam karier politiknya. Tapi hal itu tak membuatnya menyerah karena ia memiliki tujuan yang mulia.

"Saya tidak perlu pengalaman politik untuk memberi tahu mana cahaya, mana air atau melihat jalanan yang jelek," kata Weah pada African Business. "Orang Liberia, yang menderita bertahun-tahun karena perang, percayalah pada saya, karena saya berkomitmen pada negara dan masyarakat. Seperti saya melihat wajah kalian malam ini, saya melihat bahwa saya adalah masa depan kalian."

Pada 2005 ia menjadi salah satu pendiri Partai Kongres Perubahan Demokratik (CDC) di mana ia menjadi ketua partai tersebut. Tujuannya jelas untuk menyaingi Ellen Johnson-Sirleaf, yang merupakan kubu presiden sebelumnya, dalam pemilu legislatif 2005. Pada putaran pertama ia berhasil mendapatkan suara terbanyak dari 21 kandidat. Tapi pada putaran kedua, Ellen berbalik unggul bahkan dengan keunggulan 91% suara. Politik tak semudah pemain-pemain belakang yang ia taklukkan saat masih menjadi pemain. Banyak hal yang menjadi titik lemah Weah yang bisa dengan mudahnya diserang oleh lawan politiknya.

Bersambung ke halaman berikutnya..

Komentar