Menyambut Masa Depan Cerah Bersama Weah

Backpass

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Menyambut Masa Depan Cerah Bersama Weah

Halaman kedua

Pertama, Weah memiliki paspor Prancis (didapatkannya setelah 7 tahun di Ligue 1). Lawan politiknya menganggap "orang asing" tidak boleh memimpin negara dan tidak boleh mencalonkan diri. Bahkan mereka menganggap harusnya Weah didiskualifikasi. Kedua, pernyataan Presiden Liberia sebelumnya, Charles Taylor, yang mengatakan bahwa Weah tidak menghormatinya karena tidak melepas kaca matanya saat bertemu dengan Taylor di Liberia hal tersebut dianggap merendahkan.

Hal ketiga menjadi sasaran empuk lawan politiknya, yakni Weah tidak memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni. Kenyataannya, Weah memang tidak menyelesaikan sekolah menengah atas karena lebih memilih sepakbola. Selain itu, gelar Administrasi Olahraga-nya yang ia dapat di London (saat membela Chelsea) dianggap tidak kredibel, pihak lawan menyebutnya itu palsu dan bisa didapatkan oleh siapa saja karena pembelajarannya dilakukan via online.

Weah sempat membela diri terkait serangan-serangan mengenai latar belakangnya tersebut. Namun pembelaannya tersebut tetap membuatnya kalah telak. "Dengan pendidikan dan pengalaman mereka semua, mereka mungkin sudah menjadi bagian dari pemerintahan ini untuk ratusan tahun. Tapi mereka tidak pernah melakukan apapun untuk negara ini," tukas Weah pada BBC.

Banyak yang menyayangkan kekalahan Weah pada pemilu tersebut. Tak sedikit juga yang meminta Weah mengusut pemilu tersebut karena ada anggapan bahwa pihak lawan menggunakan politik hitam dan menang dengan cara yang tidak wajar. Akan tetapi Weah lebih memilih menerima kekalahan dengan damai.

"Jangan biarkan intelejensia seseorang menjadi masalah. Masalah sebenarnya adalah kita menderita dan sekarat perlahan-lahan di negara ini," tutur Weah.

Terpilihnya Ellen sebagai presiden memang tak berlangsung baik bagi Liberia. Presiden perempuan pertama Liberia tersebut tetap gagal mendongkrak perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Liberia. VOA News menyebutkan, pada 2009, nilai dollar Liberia terjun bebas dari 52,1 dolar Liberia per dolar AS ke 62,1 dolar Liberia per dolar AS.

Di saat yang bersamaan dengan rezim Ellen, Weah meningkatkan kualitas dirinya. Pada 2007, di usia 41 tahun, ia akhirnya mendapatkan kelulusan SMA-nya (semacam Paket C di Indonesia). Kemudian ia tinggal di Amerika Serikat untuk mengejar gelar diploma Administrasi Bisnis di Devry University, Miami dan diwisuda pada 2010.

"Saya cukup berpengetahuan. Saya pikir saya bisa mengembangkan negara dengan tim yang baik, bisa melakukan yang lebih baik dari yang dilakukan Ellen," kata Weah beberapa bulan jelang kelulusannya seperti yang dikutip USA Today. "Saya orang yang jujur yang ingin melihat negara saya makmur. Saya ingin melihat masyarakat tumbuh. Masyarakat menengah yang hilang (yang ada hanya si kaya dan si miskin) di negara saya, itulah yang ingin saya lahirkan."

Pada 2011 akhirnya Weah kembali mencoba peruntungan politiknya. Meski dari partai yang sama, CDC, kali ini ia tidak menjadikan Weah sebagai calon presiden, melainkan calon wakil presiden. CDC sebagai pihak oposisi memilih Winston Tubman sebagai calon presiden mereka. CDC kembali kalah, Ellen masih menang dan melanjutkan kepemimpinannya.

Kekalahan tersebut tak membuat Weah menyerah. Pada 2014 ia berhasil memenangkan perebutan kursi senator wilayah Montserrado. Ia berhasil mendapatkan 78% suara. Berkat posisi itu ia bisa lebih dekat dengan masyarakat dan benar-benar mendapatkan hati masyarakat.

Weah maju menjadi calon presiden Liberia dengan slogan "Change for Hope" (via: pri.org)

Pada 2017, saat masa jabatan Ellen hendak berakhir, karena seperti di Indonesia, Liberia pun hanya menghendaki seseorang memimpin negara maksimal dua periode, Weah memberanikan diri lagi mencalonkan diri sebagai calon presiden. Saat kampanye ia berjanji akan meningkatkan ekonomi nasional, keamanan beragama dan menggiatkan pendidikan kejuruan, teriakan `George Weah adalah sosok yang kita cari!` dan `Tuhan bersama kita, harapan masih ada!` semakin menggema.

Pada akhir 2017, perjuangan Weah membuahkan hasil. Setelah mengalahkan 20 bakal calon pada putaran pertama, ia berhasil mengalahkan Joseph Boakai, wakil presiden rezim Ellen sebagai lawannya untuk perebutan presiden Liberia yang baru. Weah, yang kini berusia 51 tahun, berhasil meraih 61,5% suara sementara Boakai hanya 38,5% suara. Weah menang di 14 wilayah dari total 15 wilayah.

"Kepada semua sesama Liberia-ku, saya sangat merasakan emosi di seluruh penjuru negeri. Saya telah mengukur pentingnya dan tanggung jawab dari tugas yang akan saya emban mulai hari ini. Perubahan akan segera dimulai," tutur Weah tak lama setelah ia kemungkinan besar dipastikan menjadi presiden baru Liberia, seperti yang ditulis Vanguard.

Masyarakat Liberia kini tinggal menantikan perubahan seperti apa yang bisa diberikan Weah. Namun bagi Weah, ia jelas sudah merasakan perubahan itu. Ia yang memiliki latar belakang kelam, berhasil menjadi seseorang yang berguna. Setelah menjadi pesepakbola kebanggaan negara dan Afrika, kini ia menjadi harapan masyarakatnya, menjadi harapan tanah kelahirannya.

Setidaknya ini menunjukkan (atau mengajarkan kita) bahwa kita memang tidak bisa memilih lahir dari keluarga seperti apa, tapi kita bisa memilih menjadi orang yang seperti apa saat kita mati nanti.

(pik)

Komentar