Tim Nasional, Demi Capaian Karier atau Cinta Negara?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Tim Nasional, Demi Capaian Karier atau Cinta Negara?

Oleh: Betrika Oktaresa*

Bagi pembaca yang sudah atau sedang menyukai sepakbola di tahun 1990-an sampai awal tahun 2000, pasti pernah mendengar pesepakbola bernama George Weah. Sosok yang gaya permainannya begitu eksplosif ini lahir dan dibesarkan di sebuah kota bernama Monrovia, yang juga merupakan ibukota negera Liberia.

Kota itu, seperti halnya wilayah-wilayah lain di negeri itu, kondisinya cukup memprihatinkan karena kemiskinan ada di mana-mana. Tapi, tak disangka, George Weah mampu mengharumkan nama negaranya karena berhasil menembus pentas sepakbola Eropa dengan bermain bersama AS Monaco, Paris Saint-Germain, AC Milan, dan beberapa klub lainnya. Bahkan, Ia berhasil memenangkan Ballon d`Or, penghargaan individu tertinggi di dunia sepak bola.

Penghargaan tersebut tidak lepas dari keberhasilannya menjadi pencetak gol terbanyak di Liga Champions pada tahun 1995. Weah begitu dicintai oleh rakyat Liberia karena berhasil mengharumkan nama negaranya. Bahkan, rakyat Liberia sampai mempercayakan tanggung jawab sebagai Presiden kepadanya sejak tahun 2018.

Berbeda era, muncul nama pesepakbola Timothy Tarpeh Weah. Ia merumput di Liga Prancis bersama Lille. Saat ini, pemain tersebut berusia 22 tahun dan memasuki masa akhir kontrak bersama klub Ligue 1 itu. Bursa transfer atas namanya cukup hangat, banyak klub bersiap menawarkan kontrak, tak lepas dari permainannya yang baik dan bisa didapatkan secara gratis. Terlebih setelah Ia mencetak gol pertamanya di ajang sepakbola antara negara terbesar, Piala Dunia. Mungkin akan ada pertanyaan, apa hubungan dua Weah ini?

Jawabannya, George adalah ayah dari Timothy. Tapi pasti muncul pertanyaan selanjutnya, memang Liberia lolos World Cup 2022? Jawabannya, tidak. Lalu bagaimana bisa sang anak presiden Liberia bisa mencetak gol di ajang 4 tahunan itu padahal Liberia tidak menjadi peserta? Jawabannya, karena Tim tidak membela Liberia, melainkan Amerika Serikat.

Menelaah Prinsip Kewarganegaraan

Tentu terasa aneh melihat seorang anak presiden suatu negara dalam sepakbola membela negara yang berbeda. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, Tim ternyata lahir dan besar di New York, Amerika Serikat. Berbeda dengan kakaknya, George Weah Jr yang lahir di Liberia.

Secara historis, kewarganegaraan sebagai status – hak hukum untuk menjadi warga suatu negara – ditentukan oleh dua prinsip dasar, yaitu jus soli, di mana dalam prinsip ini memberikan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dalam wilayah suatu negara. Prinsip kedua, jus sanguinis, di mana memberikan kewarganegaraan berdasarkan keturunan dari warga negara seperti orang tua atau kakek nenek.

Dalam konteks Tim, ia bisa memilih menjadi warga negara Amerika Serikat karena lahir di sana atau warga negara Liberia seperti ayahnya. Bahkan, ia juga bisa menjadi warga negara Perancis (kewarganegaraan kedua George Weah) atau Jamaika (kewarganegaraan ibunya).

Selain dua prinsip tersebut, kewarganegaraan juga dapat diperoleh melalui jalur naturalisasi yaitu dengan menikahi warga negara asli (jus matrimonii) atau tinggal di negara tersebut dalam durasi minimal tertentu (jus domicilii).

FIFA sebagai federasi sepakbola tertinggi di dunia juga telah mengadopsi empat prinsip tersebut dan menuangkannya dalam FIFA Statutes 2021. Perbedaannya, ada syarat lebih utama selain empat prinsip di atas, yakni seorang pesepakbola yang sudah pernah bermain dalam laga resmi mewakili suatu negara sudah tidak boleh membela negara lainnya. Artinya, FIFA membedakan antara kewarganegaraan dengan eligibilitas bermain mewakili negara.

Namun, dalam statuta terbaru tersebut, terdapat perubahan yang cukup drastis. Kini, pemain dapat berganti tim nasional asalkan pemain tersebut memenuhi satu dari empat prinsip kewarganegaraan, tidak bermain lebih dari tiga pertandingan (termasuk pertandingan persahabatan), tidak bermain pada pertandingan Piala Dunia atau kompetisi konfederasi, serta pertandingan tersebut dilakukan sebelum pemain berusia 21 tahun. Perubahan ini tentu memperluas peluang bagi pemain sepakbola untuk berpindah negara.

Menarik untuk dibahas lebih jauh, seberapa besar angka perputaran pemain yang ‘mengubah’ negaranya dari tahun ke tahun? Lalu, apakah yang mendasari mengapa seorang pesepakbola lebih memilih suatu negara menjadi negara yang dibelanya dibandingkan negara lainnya jika pemain tersebut memiliki lebih dari satu opsi.

Seberapa Banyak dan Mengapa?

Aturan FIFA tersebut memang penting dibuat karena sampai dengan pertengahan tahun 1960an, pemain masih bebas berpindah negara, seperti Alfredo Di Stéfano yang bermain di Argentina dan Spanyol. Kiper legendaris Ferenc Puskás yang pernah bermain untuk Hungaria lalu berpindah ke Spanyol.

Pada tahun 1962, dalam kongresnya di Cile, FIFA meregulasi hal tersebut dengan prinsip bahwa tim nasional sepakbola seharusnya merupakan perlambangan nasionalisme. Lalu bagaimana tren perpindahan kewarganegaraan pesepakbola setelah itu?

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Gijs van Campenhout, Jacco van Sterkenburg, dan Gijsbert Oonk pada 2019, dengan database berjumlah 4.761 pemain yang mewakili 15 negara peserta Piala Dunia 1930 sampai dengan 2018, diperoleh hasil bahwa 331 pemain merupakan pemain yang tidak lahir di negara yang dibelanya (foreign-born footballers). Jumlahnya meningkat cukup tajam dari Piala Dunia 1994 (5,3%) ke Piala Dunia 1998 (9,47%). Setelahnya, persentase tersebut cukup stabil di kisaran 7-8%, kecuali pada Piala Dunia 2018 (6,47%).

Lalu, apa dasar para pemain tersebut memilih negara yang dibelanya? Jawabannya beragam. Tim Weah misalnya, kendati sangat menghormati ayahnya, Ia tegas menjawab, “Saya tidak memikirkan apapun. Tentu saja, latar belakang saya akan selalu ada, tetapi saya tumbuh besar di Amerika. Saya hidup di sini seumur hidup saya. Keluarga dan teman-teman saya di sini. Saya mulai bermain bagi Timnas Amerika ketika saya berusia 12, jadi saya tidak pernah harus memilih.”

Pesan yang disampaikan Tim cukup jelas. Cinta terhadap tanah kelahirannya yang menjadi alasan utama memilih Amerika. Bukan memilih Liberia, Jamaika, ataupun Perancis.

Sedangkan, pemain lainnya, misal Diego Costa, memilih menjadi penyerang Spanyol (lewat jalur jus domicilii) dibandingkan negara tempat kelahirannya, Brasil, sebuah negara raksasa di dunia sepakbola. Costa yang mendapatkan cibiran atas pilihannya tersebut, dalam wawancara menjelaskan bahwa Ia berharap orang-orang mengerti dan menghormati keputusannya. Ia mengatakan memilih antara negara tempatnya dilahirkan dan negara yang telah memberi Ia segalanya merupakan pilihan sulit.

Berdasarkan rekam jejaknya, Costa memang tidak bersinar saat bermain di klub Brasil dan baru mulai menemukan kejayaannya setelah dibawa oleh super-agent Jorge Mendes ke Portugal. Ia merasakan puncak karier di Atletico Madrid dan Chelsea. Jika ditelaah, rasa syukurnya atas karir sepakbola yang cemerlang di Eropa, khususnya Spanyol, menjadi dasar keputusannya memilih Negeri Matador dibandingkan Brasil.

Contoh lainnya, Gavin Hoyte yang bermain untuk Inggris di Piala Dunia U-17 2007. Ketika itu, Trinidad & Tobago yang merupakan tanah kelahiran ibunya sudah mendekatinya. Tetapi, Hoyte menolak karena merasa tidak pantas untuk mewakili negara tersebut. Ia bahkan belum pernah menginjakkan kaki di tanah Trinidad. Di sisi lain, Hoyte bermimpi untuk bermain bagi Timnas Inggris di Stadion Wembley.

Namun, karier Hoyte tidak berjalan cemerlang setelahnya. Ia tidak pernah dilirik oleh tim senior Inggris. Setelah mempertimbangkan, Ia akhirnya menerima tawaran untuk membela negara tempat kelahiran ibunya. Alasannya secara umum tentu karena Hoyte bersikap realistis bahwa Inggris tidak lagi tercapai. Mengingat menjadi pemain tim nasional adalah sebuah pencapaian bagi pesepakbola, maka Trinidad merupakan pilihan logis.

Bermain di level tim nasional sering disebut sebagai etalase yang baik untuk pesepakbola ‘menjual diri’. Bahkan jelang Piala Dunia 2022, beberapa pemain mengubah kewarganegaraannya agar punya peluang bermain di Qatar. Sebut saja, Bryan Mbeumo, Georges-Kévin N’Koudou, Olivier Ntcham (Kamerun), Inaki Williams, Tariq Lamptey, Denis Odoi (Ghana), Rami Kaib, Yan Valery, Chaïm El Djebali (Tunisia), dan Ismail Jakobs (Senegal) yang bergabung dengan tim nasional negara-negara Benua Afrika padahal tidak lahir disana.

Cita Pribadi atau Cinta Negeri?

Beberapa contoh di atas tentu bisa memberikan gambaran bahwa setiap pesepakbola memiliki alasannya sendiri dalam menentukan negara mana yang mereka bela. Namun, dalam berbagai referensi juga tersirat jelas bahwa daya tarik label pemain tim nasional dan bermain di ajang sepakbola terakbar di dunia merupakan magnet yang luar biasa.

Pertanyaannya, jika Liberia lolos ke Piala Dunia 2022 dan Amerika tidak, masihkah kecintaan Tim Weah untuk membela negaranya masih sama atau berganti ke Liberia? Apakah Diego Costa akan tetap memilih Spanyol jika negara tersebut tidak berlabel juara Piala Eropa 2008 dan 2012 serta juara Piala Dunia 2010?

Menurut kesimpulan riset Gijsbert Oonk, pemain cenderung memilih negara dengan peringkat yang lebih baik jika dihadapkan pada dua pilihan negara. Kecuali, pemain tersebut sudah yakin bahwa Ia tidak akan dilirik oleh negara dengan peringkat yang lebih baik tersebut.

Oleh karenanya, pertanyaan yang sama juga bisa kita layangkan pada para pesepakbola lainnya, dalam memilih negara yang akan dibela, apakah ini tentang cita-cita capaian karir sepakbola mereka atau tentang berjuang atas cinta pada negaranya?.



*Milanista sejak tahun 1999, sudah enggak glory hunter amat, mau menang atau kalah

tetep cinta AC Milan, bisa dihubungi di akun Twitter @B_Oktaresa

*Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi

dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar