Naturalisasi: Jalan Pintas yang Nihil Pencapaian

Nasional

by redaksi

Naturalisasi: Jalan Pintas yang Nihil Pencapaian

Jelang AFF Cup 2020, Tim Nasional Indonesia sudah mengantongi beberapa pemain yang siap berlaga. Sebanyak 26 pemain sudah tercatat akan menjajal kompetisi se-Asia Tenggara. Jumlah itu termasuk dua pemain naturalisasi; Victor Igbonefo (Persib Bandung), dan Ezra Walian (Persib). (revisi*)

Sejauh ini, naturalisasi pemain dinilai dapat membantu Indonesia mengarungi kompetisi internasional. Sementara di Asia Tenggara, Indonesia bukan satu-satunya negara yang sering membajak pemain asing.

Singapura merekrut tiga sosok naturalisasi; Danielle Bennett, Itimi Dickson dan Agu Casmir saat kompetisi AFF Cup 2004. Hasilnya, negara berjuluk Negeri Singa bisa menjuarai kompetisi dua tahunan itu.

Tren membajak pemain luar mulai melonjak di dekade 2010-an. Sepakbola Indonesia yang minim prestasi di kancah internasional, mulai tergiur untuk menaturalisasi pemain asing. Kemudian Cristian Gonzales yang membuka gerbong maraknya pemain naturalisasi.

Pemain asal Uruguay itu awalnya direkrut PSM Makassar pada 2003. Berlabuh ke Persik Kediri, Gonzales meraih juara Liga Indonesia pada 2006. Pada musim 2005, 2006, 2007 dan 2008, pemain berjuluk El Loco itu menjadi pencetak gol terbanyak.

Sebenarnya, Gonzales bukan yang pertama. Sejak 1955-an Indonesia sudah mendatangkan figur asing, bernama Arnold van der Vin dari Belanda. Vin, bersama empat pemain; Van der Berg, Pietersen, Pesch, dan Boellaard van Tuyl dinaturalisasi. Namun, hanya Vin yang terkenal karena memperkuat Garuda.

Vin bersama kedua orangtuanya bermigrasi ke Indonesia ketika pendudukan Belanda. Ia pun bergabung dengan Excelsior Surabaya pada 1939. Lalu berlabuh ke Persija tahun 1948. Vin punya ambisi untuk menembus Timnas Garuda.

Aturan naturalisasi saat itu tidak semudah saat ini. Ia kerap kali berhadapan dengan keruwetan birokrasi. Akhirnya Vin pun mendapat persetujuan untuk menjadi warga Indonesia. Ia memulai debut resminya kala skuad Garuda kontra klub asal Hongkong, Nan Hua pada 27 Juli 1952 di Jakarta. Pria yang dijuluki Kiper Nol pernah menggagalkan tendangan penalti pemain Hungaria, Ferenc Puskas di Jakarta 1960 silam.

Pada 1954, manifestasi sikap politik Presiden Pertama, Soekarno memaksa penduduk Belanda harus angkat kaki dari Indonesia. Vin pun kena imbasnya. Ia terpaksa pulang kampung.

Selama di Belanda, Vin berkarir di Fortuna 54 (sekarang Fortuna Sittard). Setahun berselang, Vin kembali ke Indonesia untuk memperkuat PSMS Medan. Kiper dengan tinggi 184 cm itu memutuskan gantung sepatu usai berkiprah di Liga Malaysia bersama Penang FA tahun 1963.

Keranjingan Pemain Naturalisasi

Aturan naturalisasi antara lain, wajib tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut. Selama proses itu, Gonzales terhalang oleh kedua saudaranya meninggal dan ayahnya yang tengah kritis. El Loco terpaksa kembali ke Uruguay sehingga memotong aturan naturalisasi.

Artinya, Gonzales dinaturalisasi melalui jalur 10 tahun tinggal di Indonesia. Pemain yang saat itu berusia 34 tahun, digadang-gadang bisa memenuhi kekurangan penyerang lokal mumpuni.

El Loco mengawali karir sebagai pemain naturalisasi di ajang AFF Cup 2010. Ia cukup membantu skuad Garuda menjuarai Grup A bersama Malaysia, Thailand dan Laos. Bahkan Indonesia bisa melaju ke final, tetapi kalah agregat 4-2 dari Malaysia.

Pemain asing yang juga berkiprah bersama Gonzales di AFF 2010, adalah Irfan Bachdim. Ia sering disalah artikan sebagai naturalisasi. Padahal sebenarnya dia sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia saat memasuki umur 17 tahun, lalu memilih menetap lama di Belanda.

Kekalahan di AFF 2010 lantas tidak membuat Indonesia hilang harapan terhadap pemain asing. Sebab setelah Gonzales, nama-nama lain yang menghiasi pemain naturalisasi adalah Kim Jeffrey Kurniawan, Diego Michels, Jhon van Beukering, Toni Cussell, Stefano Lilipaly, Raphael Maitimo, Victor Igbonefo, Greg Nwokolo serta Sergio van Dijk.

Sebagian besar dari mereka hanya merumput sesaat dengan Timnas. Kim hanya mencatatkan satu penampilan untuk Indonesia di laga persahabatan pada 2015. Itu pun ia harus menunggu lima tahun setelah naturalisasi tahun 2010. Sementara itu, Diego Michels hanya tampil di Sea Games 2011 bersama Timnas U-23 sebagai bek kiri. Sayang, punggawa asal Belanda itu gagal membawa Indonesia taklukan Malaysia di final.

Pemain naturalisasi Belanda lain, Tonnie Cussel dan Jhon van Baukering sudah pensiun dari sepak bola. Keduanya sempat memperkuat Timnas di AFF Cup 2012. Usai laga internasional, Cussel direkrut Barito Putera, sedangkan Baukering sempat merumput bersama Pelita Bandung Raya.

Nasib Indonesia tidak ada bedanya dengan kedatangan Lilipaly. Di piala AFF Cup 2016, Timnas lagi-lagi keluar sebagai runner-up. Pemain asing lainnya yakni Igbonefo, Greg dan Maitimo membela Timnas dalam kurun waktu 2012 sampai 2018.

Greg tercatat masuk Timnas pada laga persahabatan lawan LA Galaxy dan kualifikasi AFC 2015 kontra Arab Saudi. Maitimo dipanggil saat AFF Cup 2012 dan 2014, serta kualifikasi AFC 2015. Sedangkan Igbonefo terakhir berkiprah di skuad Garuda saat melawan Islandia. Tahun ini, Igbonefo pun kembali dibawa Shin Tae-yong saat AFF Cup 2020.

Melangkahi Regulasi

Peta sebaran punggawa naturalisasi berasal dari benua Eropa, Amerika Selatan dan Afrika. Belanda yang masuk wilayah Eropa, menjadi penyuplai banyak pemain untuk Indonesia. Hal ini tidak lepas dari garis keturunan yang lekat dengan Indonesia.

Setidaknya, Indonesia sudah mengoleksi setidaknya 35 pemain naturalisasi. Dari angka tersebut, tidak semua diandalkan untuk berkiprah di Timnas. Hanya 20 pemain asing yang mengisi skuad Garuda.

Mereka yang tidak unjuk gigi di Timnas, sebagian besar memang bukan proyeksi untuk bela negara. Ada andil klub yang menyokong mereka untuk ganti paspor agar bisa melangkahi regulasi. PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang memegang kendali kompetisi liga, membatasi pemain asing sebanyak empat (salah satunya wajib dari Asia).

Pada 2019, Madura United berencana membantu Fabiano Beltrame untuk menjadi naturalisasi. Namun, rencana tersebut batal karena pemain asal Brasil hijrah ke Persib.

“Kalau klub yang baru itu memang menginginkan Fabiano sebagai pemain naturalisasi, ya mereka saja yang menyelesaikan. Intinya kami mencabut sponsor naturalisasi dan biar klub baru itu saja yang menyelesaikan," ungkap Manajer Madura United, Haruna Soemitro kepada Tirto.

Pemain naturalisasi sekarang menjadi kebutuhan klub, bukan lagi negara. Regulasi LIB bisa dilangkahi dengan mengganti paspor pemain luar negeri, bahkan klub pun masih punya slot kosong untuk menambah punggawa asing. Klub rela membayar sekitar Rp 50 juta untuk mengubah status pemain menjadi warga negara Indonesia.

Di Liga 1, Persib menjadi salah satu klub dengan banyaknya punggawa naturalisasi yakni Victor Igbonefo, Esteban Vizcarra dan Ezra Walian. Sedangkan pemain asing antara lain Wander Luiz, Geoffrey Castillion, Nick Kuipers, dan Mohammed Rashid Bassim.

Melihat Sepak Bola Vietnam

“Tidak ada tim di Asia Tenggara saat ini yang bercita-cita menjadi juara Piala AFF seperti Indonesia. Mereka adalah tim runner-up terbanyak dengan lima kali mencapai final tetapi semuanya harus kalah," tulis media Vietnam, TheThao247.

Indonesia tercatat menjadi juara dua AFF Cup pada edisi 2000, 2002, 2004, 2010 dan 2016. Selama penyelenggaraan kompetisi se-Asia Tenggara sejak 1996, hanya empat negara yang meraih gelar juara; Thailand (5), Singapura (4), Vietnam (2), serta Malaysia (1).

Sindiran Vietnam kepada Indonesia bisa dikaitkan dengan faktor naturalisasi. Era 2008, negara dengan julukan Tanah Naga Biru menyabet juara AFF Cup tanpa pemain asing. Bahkan kedigdayaannya berlanjut di AFF edisi 2018.

Vietnam bukan tidak ingin menggaet pemain asing, tetapi faktor finansial memaksakan mereka untuk membina pemain murni. Portal berita Vietnamnet menyebut Vietnam harus membatasi punggawa luar demi meminimalisir pengeluaran uang.

Menurut Pundit Fox Sports Asia, Scott McIntyre, Vietnam memiliki pemain yang bisa mendominasi Asia Tenggara berkat pembinaan pemain muda. Bahkan secara secara konsisten mencapai kompetisi Asia serta lolos ke Piala Dunia.

“Selama lebih dari setengah dekade terakhir, pekerjaan tidak hanya dilakukan oleh HGL [klub Vietnam], tetapi Hanoi FC dan yang lainnya bisa membuat program pengembangan pemain muda, bahkan dapat menciptakan generasi yang terkemuka,” ungkapnya kepada Esquire Singapore pada 2018.

Pembinaan Sedini Mungkin

Bukan tidak mungkin pemain naturalisasi akan menggerogoti langkah pemain lokal. Di ranah klub sudah sulit, apalagi bersaing untuk kursi Timnas. Setidaknya federasi perlu mematok target jangka pendek dan panjang.

Target jangka pendek bisa berupa gelar juara kompetisi, minimal AFF. Selama memakai jasa pemain asing, Indonesia membuat program pembinaan atlet muda sebagai proyeksi jangka panjang. Selain akademi sepak bola Vietnam, Jepang sudah sejak 1960-an menciptakan Grassroots Football (pembinaan sepak bola dini).

Jepang membuat Timnas dari berbagai umur. Kelompok putra terdiri dari U-15 sampai U-21. sedangkan putri U-16 hingga U-20 (kecuali U-19). Mereka dibina sejak umur sepuluh tahun dan bisa memilih klub untuk melanjutkan pembelajaran sepak bola. Berkat program pembinaan, Negara Sakura mampu lolos pertama kali ke Piala Dunia 1998 di Prancis. Selain itu, Timnas Jepang Putri juga berhasil menjuarai Piala Dunia 2011.

Saat ini, akademi sepak bola di Indonesia telah membanjiri penjuru nusantara. Namun sayangnya program pembinaan, infrastruktur serta pola nutrisi menjadi masalah.

Program pembinaan berupa kompetisi harusnya rutin digelar. Menurut Pelatih Persib, Robert Rene Alberts, usia 11 atau 12 tahun setidaknya sudah mencicipi 30 sampai 40 pertandingan di level junior. Hal itu bisa mempengaruhi kualitas ketika beranjak ke level senior.

Baik buruknya infrastruktur juga berdampak pada progres sepak bola. Jika lapangan berlumpur, lari pun rasanya susah. Kualitas lapangan tentu penting dalam laju pemain dan menendang bola.

Masalah yang acap kali diabaikan banyak pemain adalah pola makan. Padahal asupan makanan bisa mempengaruhi cara bermain di lapangan. Penelitian berjudul Sport-spesific Nutrition: Practical Strategies for Team Sports meyebut asupan penting untuk pemain sepak bola adalah karbohidrat.

Selain makanan, penelitian Anderson (dkk, 2017) menyebut minuman isotonik dibutuhkan pemain saat bertanding. Di setiap laga, pemain mengalami penurunan energi akibat kekurangan cadangan glikogen. Energi yang surut bisa mengurangi fokus di lapangan.

Indonesia harus segera bercermin dengan negara Asia lain dalam membina atlet sedini mungkin. Jangan terus mengandalkan pemain asing secara berlebihan. Lagipula, banyaknya figur naturalisasi pun tetap saja nihil prestasi.

Apakah sepakbola di negara ini terlalu percaya kepada naturalisasi? Pertanyaan ini mengingatkan sindiran Fachri Husaini, mantan Pelatih Indonesia U-16. Yaitu ketika ia mengatakan bahwa kepercayaan kepada proses sepakbola di Indonesia adalah sebuah naturalisasi.

*Revisi: Sebelumnya, kami menuliskan bahwa Elkan Baggot adalah pemain naturalisasi. Faktanya, Elkan belum pernah memegang kewarganegaraan lain sebelum menjadi seorang warga negara Indonesia.

Komentar