Kebangkitan Pemilik Klub Asal Asia

Editorial

by redaksi

Kebangkitan Pemilik Klub Asal Asia

Siapa yang lebih kaya, pengusaha Eropa atau pengusaha Asia? Jika alat pengukurannya kepemilikan klub, maka bisa jadi pengusaha Asialah jawabannya.

Kontes kekayaan ini tercermin dari dua pemilik klub terkaya di Premier League, Roman Abrahamovich dan Sheikh Mansour. Sang pengusaha asal Rusia memang berulang kali mengucurkan uang untuk skuat Chelsea, namun Sheik Mansour mampu merenovasi pusat latihan, memberikan fasilitas baru untuk akademi, dan merevitalisasi kawasan kumuh di sekitar Stadion Etihad. Tentu ia juga menghadiahi City dengan pemain-pemain bintang seperti Silva, Aguero, Fernandinho, Kompany, Jesus Navas dan banyak lainnya.

Tak heran jika salah satu jurnalis Inggris, David Conn, menggunakan sebutan "Richer Than God" untuk bukunya tentang pemilik City itu. Tapi, jika memang para pemilik Asia yang tangannya berlumur minyak itu sangat kaya, lalu untuk apa mereka memasuki dunia sepakbola? Ada apa di balik pundi-pundi uang yang tak seberapa jika dibandingkan dengan kekayaannya itu?

Dimulai oleh Inggris, Diubah oleh Inggris

Awalnya, sepakbola adalah sebuah permainan. Bermula di sekolah-sekolah di Inggris dan kemudian menyebar lewat kolonialisasi. Menurut orang Ingggris, permainan sepakbola juga biasanya dimainkan oleh mereka yang menggantungkan hidup di pelabuhan-pelabuhan Inggris. Mereka yang memainkan sepakbola adalah orang-orang kelas bawah.

Inggris-lah yang mula-mula mengenalkan sepakbola. Namun Inggris pula yang mencoba membredel konsep usang tentang bagaimana mengelola sepakbola. Mengubahnya menjadi permainan yang berorientasi pada pasar yang ramah sponsor.

Tentu saja ini berarti menggandeng media yang mampu menyampaikan segala informasi, tak terbatas jarak, ruang, dan waktu (Baca: Sportainment – Membawa Aura Stadion Lebih Dekat). Dan berkat media lah penetrasi bisnis sepakbola menjadi lebih dalam. Setiap pekannya saja Liga Inggris bisa disiarkan hingga ke lebih 150 negara. Peristiwa mana di dunia yang mendapatkan eksposure setinggi ini dari waktu ke waktu? Sangat menggiurkan. Senada dengan apa yang dilakukan Inggris, negara-negara adidaya sepakbola Eropa pun mengikutinya.

Merespons Krisis

Ketika Eropa dilanda krisis besar, hal senada juga dirasakan banyak klub sepakbola. Para pemilik tak mampu mempertahankan keseimbangan neraca keuangan dan lalu menaruh hutang di mana-mana. Agar terus bertahan, banyak klub pun menaruh sahamnya di meja lelang. Mencari pemilik yang sarat akan uang.

Tak perlu waktu lama bagi klub-klub top Eropa untuk menerima pengasuh baru. Fenomena pergantian pemilik klub itu bak menjual kacang rebus di tengah tontonan layar tancap. Barang sebentar langsung ludes. Habis terbeli. Coba lihat saja Manchester City. Lepas dari tangan Tan, klub ini langsung dipinang oleh pengusaha Timur Tengah.

Qatar mungkin bukan yang pertama, namun Qatar bisa dibilang yang terdepan dalam urusan ini. Lihat saja bagaimana upaya Qatar dalam urusan sepakbola. Qatar sedang membangun citra bahwasanya negara petrodollar tersebut juga ramah akan urusan olahraga. Hal yang sebelumnya jarang dilakukan.

Keuntungan “kecil” dari sepakbola jika dibandingkan bisnis jual beli minyak pun tak jadi soal untuk pengusaha Qatar. Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan dengan Man. City-nya, Nasser Al-Khelaifi dengan PSG-nya, Sheikh Butti bin Suhail Al Maktoum dengan Getafe-nya, mereka mengguyurkan uang yang tak sedikit untuk mengakuisisi klub-klub tersebut.

Yang terlihat jelas adalah Man. City dan PSG. Kedua klub tersebut seperti buah alpukat yang diperam ditumpukan beras. Dipaksa besar, dipaksa berprestasi, dengan gelontoran uang. Kesemuanya dilakukan secara instan.

Tak hanya Timur Tengah yang menanamkan modalnya. Mewakili Asia Tenggara ada Erick Tohir dan Vincent Tan di Inter Milan dan Cardiff City. Dari Hong Kong ada Carson Yeung owner Brimingham City. Pun dengan India yang telah muncul sebagai kekuatan baru dari Asia Selatan dengan menempatkan Shahid Khan sebagai pemilik Fulham, dan Ahsan Ali Syed sebagai pemilik Racing Santander.

Itulah cermin sepakbola Eropa masa kini. Khususnya sepakbola liga-liga termasyur Eropa. Sejarah tampaknya bisa dijadikan nomor dua. Uang jadi hal yang utama. Karena uang punya korelasi nyata dengan prestasi.

Ketika sebuah klub bermain baik di lapangan, maka harga saham klub itu akan naik di bursa saham. Itulah salah satu faktor yang mendorong para pengusaha kaya raya tersebut berlomba-lomba merombak isi timnya. Agar sahamnya laku dipasaran dan menambah pemasukan mereka, selain mendapatkan pundi dari hak siar dan juga sponsor.

Ya, aliran uang dari sepakbola memang tak ada habisnya. Namun apakah hanya karena uang saja para bussinesman Asia ini menggeluti sepakbola?
Dalam buku Soccernomics karya Simon Kuper dan Stefan Szymanski, disebutkan bahwa bisnis sepakbola adalah bisnis yang tidak menguntungkan.
?Semakin besar keuntungan yang didapatkan, maka semakin besar pula beban operasional klub yang mesti ditanggung. Belum lagi soal gaji pemain yang kian meroket tiap tahunnya.

Jika memang tak menguntungkan, kenapa terlalu banyak orang-orang Asia yang ingin tampil di sepakbola Eropa? Eropa sedang krisis? Ya. Namun lebih dari itu.

Motif di Balik Kepemilikan Klub

Sepakbola menjadi bisnis yang menggiurkan. Ada perputaran uang dalam jumlah besar dalam sepakbola. Mulai dari hak siar, tiket, sponsor, jual-beli pemain, dan lain sebagainya. Sampai-sampai ada anekdot di Italia: seseorang baru bisa disebut benar-benar kaya tatkala ia memiliki klub bola.

Dari anekdot tersebut tergambar bahwa memiliki sebuah klub adalah sebuah gengsi tersendiri. Memiliki sebuah klub, maka pencitraan akan naik dengan sendirinya.

Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh banyak borjuis Asia. Atas dasar ingin membangun citra, para borjuis Asia lalu berduyun-duyun masuk ke ranah sepakbola. Ranah yang sebelumnya tak pernah mereka geluti.

Ketiadaan pengalaman pada bidang ini tak jadi soal. Karena pengalaman bukan syarat utama untuk bergelut pada sepakbola. Lihat saja Vincent Tan yang mengakui bahwa ia baru mempelajari aturan-aturan sepakbola pada 2010. Atau, meski berasal dari Amerika, lihat bagaimana John Henry yang mengaku belum tahu apa Liverpool itu beberapa waktu sebelum ia melakukan pembelian.

Memiliki uang adalah syarat yang paling utama untuk mengelola sebuah klub. Dan syarat uang itu jelas ada pada pengusaha-pengusaha Asia. Terkhusus negeri kaya minyak macam Timur Tengah.

Walaupun banyak dari pengusaha tersebut belum mencapai break event point atas modal mereka, tapi ada yang lebih penting dari itu. Gengsi? Sudah pasti. Hobi? Belum tentu hobi. Karena selalu ada motif ekonomi disetiap langkah-langkah yang diambil oleh seorang pengusaha.

Tapi ada yang lebih hakiki daripada sekedar gengsi. Mereka sedang melaksanakan diplomasi publik. Ya, dewasa ini diplomasi tak melulu dilakukan oleh negara. Ada juga yang dilakukan oleh aktor non negara. Atau yang lebih kita kenal dengan second track diplomacy. Dewasa ini, diplomasi jenis ini telah dilakukan secara fasih oleh para pengusaha-pengusaha tersebut.

Langkah ini adalah langkah dalam membangun citra dalam pergumulan internasioal. Dan citra-lah yang dapat mempengaruhi opini suatu negara terhadap negara lain. Seperti yang dikutip dari Jay Wang, seorang profesor di USC Annenberg School for Communication dan Jurnalism, diplomasi publik dimaknai sebagai proses komunikasi pemerintah atau non pemerintah terhadap publik mancanegara yang bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, institusi, budaya, kepentingan nasional, dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negaranya. Memberikan gambaran negeri mana yang lebih mashur, titi tentrem kerta raharja.

Tentu masih banyak motif-motif lain yang membuat seorang pengusaha Asia membeli klub Eropa. Misalnya saja, Thaksin yang menggunakan Manchester City untuk "memutar" uang hasil korupsinya. Tapi, motif-motif lain itu tidak pernah murni tentang sepakbola.

Utamanya justru melakukan instrumen-instrumen yang menyangkut soft power. Tujuannya jelas, ingin menambah posisi tawar dalam pergaulan internasional. Untuk menaikkan nation-branding suatu negara. Demi sebuah pengukuhan jati diri. Demi terus menjaga eksistensi.

Lihat saja apa yang dilakukan Sheikh Mansour. Setelah mendandani Manchester Biru berjuta-juta dolar, ia juga berencana membangun sebuah komplek akademi yang akan dinamai Etihad Campus. Luasnya diperkirakan 32,3 hektar. Seakan sang miliarder ingin memberikan gambaran jelas, orang Asia lebih baik dalam mengelola sebuah klub.

Atau dengan Erick Tohir, putra bangsa yang kini memiliki Inter Milan. Ini adalah fenomena yang sangat mencengangkan. Erick merebut Inter Milan dari tangan dinasti Moratti, yang punya sejarah panjang pada sepakbola Itala. Pada negara yang nilai-nilai tradisi di sepakbolanya masih sangat kental dipegang.

Padahal, untuk dicap kaya di negeri pizza, standarnya adalah memiliki klub. Tentu Erick sedang membangun image, selain juga membangun citra portofolio bisnis pribadinya, bahwa Indonesia bukan lagi negara dunia ketiga. Indonesia adalah negara maju, negara ramah untuk ditanami investasi dan mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kira-kira itulah pernyataan yang muncul setelah Erick mengakuisisi Inter.

Lalu, meski menuai protes dari fans Cardiff karena ia dianggap tak mengenal tradisi Cardiff, bukankah Vincent Tan bisa menunjukkan bagaimana seorang penduduk negara persemakmuran kini bisa berjaya di tanah yang dulu menjajahnya?

Bukankah begitu hakekat pergaulan dunia internasional seusai perang dingin? Berlomba untuk membuktikan siapa lebih kaya. Berbarengan dengan ekspansi sponsor Asia ke tanah Eropa, nampaknya kini benua kuning sedang mencoba mengangkangi Eropa yang selalu jumawa akan kemegahan ekonomi dan ilmu pengetahuannya. Mengembalikan peran lama Asia sebagai pusat peradaban.

=====

*akun Twitter penulis: @prasetypo

Komentar