Cerpen Sepakbola: Esse Est Percipi karya Jorge Luis Borges & Adolfo Bios Casares

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Cerpen Sepakbola: Esse Est Percipi karya Jorge Luis Borges & Adolfo Bios Casares

"Esse Est Percipi"" adalah cerita pendek (cerpen) mengenai sepakbola dan persepsi atas realitas yang ditulis oleh Jorge Luis Borges dan Adolfo Bioy Casares.

Cerita pendek ini berkisah tentang seorang penggemar sepak bola yang terkejut karena pertandingan yang didengarkannya di radio ternyata hanya khayalan seseorang.

Kami mengupayakan akan menerbitkan cerpen-cerpen bertema sepakbola, berkaitan langsung atau tidak, yang pernah ditulis oleh para pengarang Indonesia maupun pengarang luar negeri. Kami berusaha bisa menayangkannya tiap hari Minggu, setidaknya dua pekan sekali, guna melanjutkan tradisi surat kabar di Indonesia yang sering menayangkan cerpen dan puisi pada hari Minggu. Anda, jika berkenan, tentu saja boleh mengirim kepada kami naskah cerita pendek yang bertemakan sepakbola.

Selamat berakhir pekan dan selamat membaca!

=======================

ESSE EST PERCIPI

Sebagai seorang pengembara di sekitar wilayah Nunez, sangat mengherankan bahwa Stadion River Plate yang monumental tidak lagi berada di tempat yang biasanya.

Kekhawatiran membuatku membicarakan hal ini pada temanku, Dr. Gervasio Montenegro, anggota senior dari Akademi Sastra Argentina. Darinya kutemukan lagi energi yang mengembalikanku ke jalur yang benar.

Saat kutemui ia sedang mengerjakan semacam Survei Historis mengenai Jurnalisme Argentina, sebuah pekerjaan hebat yang membuat sekretarisnya sangat sibuk, dan rutinitas penelitian secara kebetulan membawa Montenegro mengendus inti persoalan. Sejenak sebelum tertidur di kursinya, ia memintaku mengunjungi salah seorang teman kami, Tulio Savastano, presiden Klub Sepak Bola Abasto Junior, dan kusapa dia di markas klub di Gedung Adamant, di Corrientes Raya, tak jauh dari Jalan Pasteur.

Eksekutif papan atas ini masih tetap bugar dan aktif meskipun telah melalui berbagai macam diet yang disarankan dokter yang juga tetangganya, Dr Narbondo. Kepalanya masih gembung akibat kemenangan Abasto Junior melawan Canary Island All-Stars, dan bertambah bengkak seiring kelakuan Savastano melebih-lebihkan kisah kemenangan itu tiap bertemu teman-temannya, dan juga mengungkapkan berbagai hal penting lengkap dengan referensi untuk semua pertanyaan tentang pertandingan tersebut.

Meskipun berulangkali kuingatkan perihal pertemanan masa kecil kami di wilayah Aguero dan di pojok-pojok Humahuaco, kemegahan kantornya masih membuatku takjub dan, mencoba membuka percakapan, aku mengucapkan selamat terhadap gol terakhir Abasto yang, meskipun harus menahan gempuran Zarlenga dan Parodi, tapi mampu diatasi berkat gol yang dicetak pemain gelandang Abasto, bernama Renovales, berkat operan Musante yang legendaris.

Ia menyambut dukunganku terhadap kesebelasan sepakbolanya, dan menyebut nama rekannya yang sudah wafat, lalu mengatakan sesuatu yang filosofis, layaknya seseorang yang sedang bermimpi dengan mata terbuka: "Padahal aku, loh, yang menemukan nama-nama pemain itu."

"Maksudmu itu hanya nama samaran?" tanyaku dengan nada suram. "Maksudmu nama asli Musante bukan Musante? Dan Renovales bukan Renovales? Limardo bukan nama asli pemain idola yang banyak penggemarnya itu?"

Jawaban Savastano membuat lututku goyah. "Apa? Kau masih percaya pada para penggemar dan idola?" ujarnya. "Kamu itu tinggal di mana sih, Don Domecq?"

Saat itulah seorang pesuruh berseragam yang terlihat seperti anggota pemadam kebakaran masuk, dan membisikkan bahwa Ron Ferrabas ingin bertemu dengannya.

"Ron Ferrabas, si komentator olahraga bersuara sendu itu?" aku berseru. "Orang yang berhasil membuat sinetron Profumo yang sohor menjadi meredup? Apa aku akan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri? Apa benar nama aslinya adalah Ferrabas?"

"Biarkan dia menunggu," jawab Sevastano kepada pesuruh itu.

"Kau biarkan dia menunggu? Aku tidak apa-apa jika harus pergi dulu, asalkan dia didahulukan," sahutku memohon dengan sedikit perasaan terluka.

"Tidak usah," jawab Sevastano. "Arturo, suruh Ferrabas masuk."

Ferrabas masuk dengan elegan, dengan gaya yang sangat alami. Aku baru saja akan menawarkan kursi kepadanya, namun Arturo, si pesuruh, dengan tatapan sedingin es, membuatku bergeming.

Sang Presiden Abasto Junior mulai buka suara. "Ferrabas, saya sudah bicara dengan De Filippo dan Camargo. Pada pertandingan selanjutnya Abasto akan dikalahkan 2-1. Ini akan jadi pertandingan sengit, namun harus kau ingat, jangan gunakan lagi operan dari Musante ke Renovales. Para penggemar sudah hapal betul itu. Aku ingin imajinasi, imajinasi! Mengerti? Kau boleh pergi sekarang."

Aku mengumpulkan keberanian dan mengajukan sebuah pertanyaan. "Apakah dugaanku benar bahwa skor pertandingan sudah diatur sebelumnya?"

Jawaban Savastano sungguh membuatku hancur berkeping-keping.

"Tidak ada skor, tidak ada kesebelasan, tidak ada pertandingan," jawabnya. "Stadion sudah lama digusur dan sudah diratakan. Sekarang ini semuanya dibikin di televisi dan radio. Kehebohan palsu para komentator! Apakah kau sedikit pun tidak merasa curiga bahwa semua ini hanya rekaan? Tanggal 24 Juni 1937 adalah hari terakhir sepakbola dimainkan di Buenos Aires. Sejak saat itu sepakbola, dengan seluruh aspek olahraga di dalamnya, menjadi bagian dari drama, dimainkan oleh satu orang dari dalam bilik, atau oleh aktor berkaus seragam dan direkam kamera TV."

"Tapi siapa yang menciptakan hal itu, Tuan?" tanyaku, memberanikan diri.

"Tak seorangpun tahu. Harusnya kau tanya siapa yang pertama kali mengadakan upacara wisuda atau kunjungan megah mereka-mereka yang bertitel bangsawan. Semua itu tidak ada selain hanya ada di studio rekaman dan kantor koran. Yakinlah, Domecq. Publikasi massal adalah ciri khas zaman modern."

"Tapi bagaimana dengan penjelajahan ke luar angkasa?" sahutku.

"Itu bukan program lokal, tapi kerja sama antara orang-orang Yankee dan Soviet. Sungguh kemajuan yang hebat. Kita juga tidak akan munafik, bukan? Harus diakui bahwa itu adalah pertunjukan ilmiah yang menakjubkan."

"Tuan Presiden, Anda membuatku takut."

Suaraku pelan seperti bergumam, tak peduli jabatannya. "Maksud anda, di luar sana sesungguhnya tidak terjadi apa-apa, begitu?"

"Tidak banyak," jawabnya dengan suara tenang tak terusik. "Aku justru tidak mengerti ketakutanmu. Orang-orang berada di rumah mereka masing-masing, duduk dengan manis, menghadap layar, mendengarkan komentator olahraga, atau membaca koran kuning dengan serius. Apa lagi yang kau inginkan, Domecq? Ini waktunya kita melangkah menuju gelombang kemajuan zaman."

"Bagaimana jika gelembung kepalsuan ini meletus?" sahutku pelan.

"Tidak akan," jawabnya, sangat yakin.

"Anda tidak perlu khawatir, saya akan diam seribu bahasa," sahutku. "Aku bersumpah jiwa-raga atas nama kesetiaanku pada Abasto Junior, pada Anda, pada Limardo dan Renovales."

"Kau boleh mengatakan apapun. Tidak akan ada yang percaya padamu."

Telepon berdering. Sang Presiden mengangkat gagangnya, dan dengan sebelah tangannya lagi ia melambai ke arah pintu, meminta semuanya keluar.

Catatan editor tentang Borges dan penerjemah cerpen Esse Est Percipi

jorge-luis-borges

Jorge Luis Borges adalah pengarang ternama dari Argentina. Ia masyhur sebagai pengarang yang dengan canggih mencampuradukkan sejarah dengan fiksi, membaurkan kenyataan dengan fantasi, dan mengacak fakta dengan fiksi. Cerita-ceritanya banyak mengolah bahan-bahan yang diambilnya secara suka-suka dari berbagai khasanah literatur dunia. Dari Cerita 1001 Malam, kitab-kitab filsafat kuno hingga berbagai kitab suci dari berbagai agama dunia. Dialah salah seorang yang paling bertanggungjawab untuk populernya genre realisme magis dalam kesusastraan abad-20.

Borges terkenal karena kerakusannya membaca buku. Karena itulah kondisi kesehatannya terus memburuk dan akhirnya ia benar-benar buta. Saat telah menjadi buta, Borges justru ditunjuk menjadi Kepala Perpustakaan Nasional Argentina. Salah satu kutipanya sangat terkenal dan kerap dikutip untuk memperlihatkan bagaimana hasrat seorang kutu buku terhadap buku. Katanya: "Saya selalu membayangkan jika surga itu tak ubahnya sebuah perpustakaan."

Esse est percipi atau being is being perceived adalah postulat yang disodorkan George Bekeley. Melalui postulat itu, Berkeley ingin mengatakan bahwa keberadaan sebuah objek itu ada karena dapat dipersepsi oleh (pikiran). Arti lebih jauh adalah dunia material sebenarnya sama saja dengan ide-ide kita sendiri. Tidak ada dunia material yang berada di luar kesadaran kita Ã?â??" yang ada adalah ide atau penangkapan persepsi kita (Franky Hardiman, 2004: hal. 84).

Borges memang sering berhasil membuat pembacanya "terkecoh"" dengan permainan itu. Dengan cerdik, ia sering berhasil memaksa pembacanya percaya kisah yang disampaikannya sebagai hal yang faktual, historis, sebagai Ada (being). Esse est percipi, being is being perceived, ada karena bisa dipersepsi.

Dengan memahami esse est percipi, estetika Borgesian menjadi bisa lebih dipahami. Dan Borges memang beberapa kali menulis tentang kuatnya pengaruh postulat Berkeley bagi dirinya Ã?â??" cerpen ini salah satu di antaranya.

Dalam buku Navigations: Collected Irish Essays(2006: hal. 342) yang disusun Richard Kearney, Borges mengatakan pengaruh itu dipicu oleh ayahnya yang memperkenalkan konsep Berkeley di meja makan dengan menggunakan jeruk sebagai tamsilnya. Pelajaran itu diterima Borges, kata dia sendiri, saat ia berusia 10 tahun.

Cerpen ini ditulis pada 1963. Edisi Indonesia dari cerpen tersebut, yang barusan anda baca ini, merupakan karya terjemahan dari Pitoresmi Pujiningsih, seorang (pernah) copywriter dan penerjemah buku, yang kini tinggal di Bali. Salah satu buku terjemahannya adalah Impian Pamanku, novel karya Fyodor Dostoevksy, yang diterbitkan oleh Penerbit Jendela di awal dekade 2000 (anda bisa menghubungi Pito melalui akun twitter: https://twitter.com/pitoist"
>@pitoist).

Saya, Zen RS, selaku editor, menulis esai tersendiri untuk mendiskusikan cerpen ini. Anda bisa membaca esai saya, Ketika Sepakbola Tak Ada Lagi, yang mendiskusikan pentingnya cerpen ini untuk memahami (industri) sepakbola dengan mengunjungi HALAMAN INI.

Sumber lukisan: www.ratchetup.com/eyes/2006/06/soccer_madness.html

Komentar