Cerpen Sepakbola: Efek Socrates

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Cerpen Sepakbola: Efek Socrates

Kami mengupayakan akan menerbitkan cerpen-cerpen bertema sepakbola, berkaitan langsung atau tidak, yang pernah ditulis oleh para pengarang Indonesia maupun pengarang luar negeri. Kami berusaha bisa menayangkannya tiap hari Minggu, setidaknya dua pekan sekali, guna melanjutkan tradisi surat kabar di Indonesia yang sering menayangkan cerpen dan puisi pada hari Minggu. Anda, jika berkenan, tentu saja boleh mengirim kepada kami naskah cerita pendek yang bertemakan sepakbola.

Minggu ini kami memilihkan untuk anda sebuah cerita pendek berjudul "Efek Socrates". Cerita yang ditulis Mal Peet, pengarang kontemporer dari Inggris, ini mengisahkan sisi lain yang menarik sekaligus kompleks dari gelaran Piala Dunia 2014. Ada kultur gila bola khas Brazil yang tergambar dalam cerpen ini, tapi yang utama adalah gambaran kerumitan sosial-politik yang terjadi di Brazil karena penyelenggaraan Piala Dunia itu. Dengan lembut, juga jenaka, dengan humor gelap yang menarik, Mal Peet mengisahkan Piala Dunia 2014 sebagai paradoks bagi bangsa Brazil.

Selamat berakhir pekan dan selamat membaca!

Cerpen sepakbola pertama yang sudah kami tayangkan diambil dari karya Jorge Luis Borges berjudul Esse Est Percipi. Silakan membaca: Esse Est Percipi karya Jorge Luis Borges.

Managing editor kami, Zen RS, juga sudah membahas cerpen tersebut dan meletakkan cerpen itu sebagai pintu masuk untuk sedikit memahami fenomena sepakbola sebagai industri mutakhir yang luar biasa canggih. Anda bisa membaca pembahasan cerpen itu di sini: Ketika Sepakbola Tak Ada Lagi.





Efek Socrates




Karya Mal Peet

Di gubuk favela-nya, Paman Segundo yang gila bersorak menyambut gol pertama Brasil di Piala Dunia 2014 � namun Socrates, ayam jantannya yang terlatih, hanya diam. Sepertinya ada yang salah. Tapi apa?

Semua bermula ketika kepala ayam jantan Paman Segundo tertembak. Ayam jantan ini berkualitas bagus. Namanya Socrates. Ia memiliki tubuh berwarna hitam yang nampak kebiruan ketika terkena sinar matahari. Kepalanya emas dan matanya berwarna merah. Bintik-bintik bulu emas menghiasi leher hingga dadanya. Socrates tinggal di atap rumah Paman Segundo. Orang-orang berkumpul di rumah Paman Segundo karena ia memiliki teve besar dan parabola bagus. Juga karena ia orang terpandang di lingkungan ini, yang senang menjamu tamu-tamunya dengan banyak makanan dan minuman.

Ada sekitar tiga puluh orang yang berkumpul di rumah Paman Segundo untuk menyaksikan pertandingan pertama Brasil di Piala Dunia. Ruangan yang ada tidak sanggup menampung orang sebanyak itu, sehingga Paman Segundo memindahkan teve ke balkon (atau setidaknya, begitulah ia menyebutnya) dan memasang terpal untuk melindungi tevenya dari matahari atau hujan. Langit nampak mendung dan udara begitu lembap. Anak-anak kecil duduk di bagian depan, paling dekat dengan teve dan orang-orang dewasa berada di belakang mereka. Beberapa berada di dalam ruangan, sedangkan sisanya menyaksikan dari muka pintu dan lewat jendela. Belum lagi pertandingan dimulai, kondisi sudah ribut dan banyak botol bir kosong bergeletakan. Penuh senyum, Paman Segundo duduk di kursinya yang terletak tepat di tengah. Kami semua sudah lama menunggu, dan penantian itu tidak mudah.

Aku harus menjelaskan bahwa Paman Segundo gila dalam dua arti berbeda. Pertama: ia gila bola, dan itu wajar. Kedua: ia memang gila; edan. Ada banyak orang edan di Rocinha karena Rocinha membuat kami menjadi gila. Tinggal di sini tidak mudah. Mampu menjaga diri adalah sebuah keharusan. Orang-orang dapat terbunuh begitu saja. Dan keadaan semakin buruk beberapa bulan menjelang Piala Dunia karena pemerintah menempatkan polisi dan tentara di favela untuk menenteramkan suasana.

Untuk memahami apa itu favela, baca artikel ini: Kota Modern di Tengah Kultur Sepakbola




Dengan kata lain, untuk kembali menguasai Rochina dari geng narkoba karena akan ada banyak awak teve dan reporter datang ke Rio, dan pemerintah tidak ingin dunia melihat bagaimana kebanyakan dari kami menjalani hidup. Menenteramkan berarti membuat suasana menjadi tenteram; aman dan damai tanpa kekacauan.

Tapi proses penenteraman Rochina dipenuhi dengan kekerasan. Helikopter terbang di atas Rochina. Baku tembak terjadi. Mobil-mobil lapis baja di jalanan adalah pemandangan biasa. Orang-orang lenyap lebih sering dari biasanya.

Paman Segundo terlibat dalam hal ini. Mengerti, kan, maksudku? Ia mengenal orang-orang dari geng narkoba dan dari kepolisian. Ia bisa melibatkan diri dalam keadaan yang terjadi, melambaikan tangan, berbicara, kadang berteriak, dan entah bagaimana caranya ia mampu menenangkan suasana. Ajaibnya ia tidak pernah tertembak. Kadang itu nampak seperti mukjizat, karena ia juga dapat mencegah orang lain tertembak. Walikota mengangkatnya menjadi anggota komite. Orang-orang menghormati Segundo, walaupun pemerintah tidak memperhatikan apa yang dikatakan atau dilakukan komite.

Namun hal gila terbaik tentang Paman Segundo, sejauh yang kutahu, adalah ia melatih Socrates untuk berkokok seperti trompet setiap kali Brasil mencetak gol. Gol! Gol! Begitulah Segundo berteriak. Lalu Socrates di atap menengadahkan lehernya yang gemerlap, membuka tenggorokan, dan ikut merayakan gol: Kukuruyuk! Kukuruyuk!

Itulah yang terjadi ketika Brasil mencetak gol pertama. Kami, anak-anak, berloncatan dan menari dan saling tos dengan orang-orang dewasa. Gol! Gol! dan Socrates yang berada di atapberkokok: kukuruyuk! Terdengar pula suara tembakan, namun kami terbiasa mendengar hal semacam itu. Lagipula kami berpikir itu penggemar yang kebetulan memiliki pistol dan melepas tembakan ke udara untuk merayakan gol.

Pertandingan babak kedua berjalan membosankan. Para orang dewasa mulai kesal dan bertindak seperti ahli dan mengutuk. "Umpan ke belakang? Apa-apaan?! Ayolah. Maju!"

Ya, hal-hal semacam itulah. Kemudian Neymar, yang sepanjang pertandingan terlihat seperti tidak ingin tatanan rambutnya rusak, bergerak ke arah kotak penalti, melakukan umpan satu-dua dengan David Luiz, dan mencetak gol. Komentator teve berteriak Gol! dan hal tersebut berlangsung selama semenit lamanya. Kami semua seperti meledak. Kemudian aku melihat Segundo cemberut dan melihat ke atas dan menyadari Socrates tidak berbunyi sebagaimana seharusnya. Kami melihat Segundo menaiki tangga ke atap. Ketika ia turun kami semua terdiam karena ia membawa Socrates dan karena tangannya berlumuran darah dan karena Socrates sudah tak berkepala.

Segundo tidak berkata apa-apa. Ia kembali ke kursinya dan duduk sembari mengelus tubuh Socrates. Ia banyak berkedip namun wajahnya sekeras batu. Bibi Ana datang dan berdiri di belakang Segundo dan meletakkan tangannya di pundaknya. Ia juga tidak berkata apa-apa, walaupun darah yang menetes ke lantai pasti melukai hati Bibi Ana yang sangat mencintai kebersihan rumahnya.

Pertandingan berakhir dan dengan sepi dan para tamu pulang satu per satu untuk menghormati kehilangan Segundo. Mereka kemudian turut ambil bagian dalam ramainya pesta di jalanan. Sudah seperti karnaval saja di luar sana. Pamanku menaruh Socrates dalam sebuah kantung dan pergi menguburnya di sebidang tanah kosong di antara rumahnya dan rumah tetangganya. Ketika ia kembali ia mencuci tangannya dan berkata kepada kami bagaimana ia, ketika menemukan Socrates mati, melihat ke sekeliling dan mendapati empat polisi bersenjata menyeringai kepadanya dari atap datar sekitar 50 meter jauhnya, yang terletak di bagian bukit yang lebih tinggi.

Selama beberapa pekan ke belakang, militer dan polisi membangun semacam pos pengamatan di atas beberapa bangunan tinggi di favela. Mereka membuat diri mereka sendiri berada di tempat yang nyaman, dengan kursi lipat dan kotak pendingin untuk menyimpan bir; beberapa dari mereka malah memiliki payung besar di pos pengamatan, seolah mereka sedang berada di pantai. Mereka memiliki binokuler, radio, dan kamera. Juga senapan penembak jitu. Satu dari empat polisi yang menyeringai kepada Paman Segundo menggerakkan sikunya seperti sayap dan berkokok. Segundo tahu dari mana datangnya tembakan yang membunuh Socrates.

Lima hari kemudian banyak orang - tak sebanyak sebelumnya - kembali berkumpul di depan teve Paman Segundo. Ketika Brasil menyamakan kedudukan di awal babak kedua, kami merasa sangat lega. Teriakan dan tamburan terdengar dari seluruh penjuru. Kembang api meledak di langit seperti bunga di ujung tangkai panjang berwarna abu-abu. Paman Segundo berdiri dan menaiki tangga.Tak lama kemudian kami mendengarnya: Kukuruyuk! Kukuruyuk! Menurutku ia menirukan Socrates dengan cukup baik. Walau demikian, Bibi Ana tidak terlalu menyukainya. Ia naik ke atap dan memekik pada Segundo.

"Ya ampun, bodohnya! Turun! Kamu mau kepalamu tertembak juga? Diam dan turun!" Paman Segundo akhirnya turun setelah kembali berkokok beberapa kali. Kami bertepuk tangan untuknya namun ia tidak tersenyum.

Brasil kembali mencetak gol di menit ke-85 dan kegilaan yang sama meledak. Dan sama seperti sebelumnya, Paman Segundo naik ke atap, mengabaikan Bibi Ana yang memohonnya untuk tidak melakukan hal itu. Di atas sana Paman Segundo berdiri menghadap para polisi sembari merentangkan tangannya. Ketika ia menengadah dan berkokok, kami ikut menengadah dan berkokok bersamanya. Kemudian saudara perempuan tiriku, Flor, dan beberapa anak lain naik ke atap dan bergabung dengan Segundo. Kemudian beberapa orang dewasa mengikuti. Kami semua menirukan Socrates sebanyak, mungkin, enam kali. Para polisi tidak menyeringai. Mereka hanya memperhatikan kami. Salah satu di antaranya berbicara melalui radio.

Begitulah semuanya dimulai. Setelah kejadian itu, semakin banyak saja orang yang naik ke atap dan berkokok seperti ayam jantan setiap kali sebuah gol tercipta; bahkan dalam pertandingan yang tidak kami pedulikan. Jepang mencetak gol: Kukuruyuk! Inggris mencetak gol: Kukuruyuk! Dan hal ini menyebar.

Di seluruh Rochina, orang-orang naik ke atap dan berkokok kepada polisi setiap kali sebuah gol tercipta. Di jalanan juga. Jika sebuah gol tercipta, orang-orang berhamburan dari dumah dan kedai minuman dan berkokok seperti Socrates kepada para polisi yang mengenakan rompi anti peluru dan menaiki kendaraan lapis baja. Para polisi dan tentara tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Karena kini surat kabar dan stasiun teve sudah mendengar apa yang terjadi dan ada juru kamera dan kru dari seluruh dunia datang ke Rochina untuk mengabadikan momen ini.

Jadi, apa yang akan dilakukan para polisi? Memangnya mereka akan menembaki orang-orang dewasa dan anak-anak yang menirukan ayam? Dengan semua kru teve yang akan merekamnya? Tidak mungkin.

Bagaimanapun harus kukatakan bahwa sempat aku berpikir itu mungkin terjadi. Aku tidak dapat mengingat pertandingannya. Yang pasti, itu terjadi setelah fase grup. Entah siapa, mungkin Spanyol, mencetak gol dan kami semua naik dan menirukan Socrates. Dan para polisi di atap terdekat sudah muak. Salah satu dari mereka berkata dengan suara mirip robot lewat sebuah pengeras suara, "Turun dari atap! Turun dari atap! Ini perintah. Turun radi atap SEKARANG atau kami akan mulai menembak."

Di atas atap ada, kurasa, kami bersepuluh bersama Segundo dan satu atau dua dari kami bertiarap atau berlari menuruni tangga. Namun kami yang tersisa, termasuk aku, Kiki, Flor, dan Bibi Ana, bertahan dan berkokok, kukuruyuk! Persetan dengan mereka. Kemudian dua polisi mulai mengangkat senjata dan mengarahkannya kepada kami. Jantungku mulai berdegup sangat kencang dan telingaku seperti berhenti berfungsi. Aku memandang Paman Segundo dan berpikir aku mungkin akan melihat kepalanya tertembak tepat di sini, saat ini juga. Kemudian aku melihat beberapa orang di atap sekitar, beberapa diantaranya berkokok, beberapa lainnya hanya melihat, dan beberapa mengabadikan momen ini dengan kamera telepon genggam mereka. Para polisi menurunkan senjata.

Kukuruyuk!

Saat itu aku melihat Paman Segundo tersenyum untuk kali pertama semenjak Socrates mati.

Saat kejuaraan mencapai babak perempat final, para polisi telah pergi. Mereka lenyap dari atap-atap. Di hari semifinal, Segundo kembali ke rumah dengan ayam jantan baru dalam sebuah peti kayu yang ia tempatkan di bagian belakang sepeda motornya. Ayam jantan yang satu ini berwarna kekuningan dengan leher hitam dan jengger merah yang menggantung menutupi salah satu matanya. Segundo membawanya ke atap dan aku mengikutinya.

Segundo menurunkan sang unggas dan memberinya beberapa butir jagung.

"Perkenalkan, ini Garrincha."

Aku berkata, "Halo, Garrincha."

Sang ayam jantan memiringkan kepalanya dan melihatku dengan matanya yang tidak tertutupi jengger.

Garrincha, seperti Socrates, adalah nama seorang pemain hebat dari masa lalu. Garrincha sendiri berarti "burung kecil".

Sebenarnya Garrincha sang ayam jantan tidak kecil. Dan ia belum belajar berkokok setiap kali Brasil mencetak gol.

Tapi ia akan terbiasa.

Catatan editor tentang pengarang dan cerpen Efek Socrates

Mal Peet merupakan salah seorang pengarang kontemporer Inggris. Sedihnya, persis ketika cerita pendek ini mulai diterjemahkan, Mal wafat. Pengarang kelahiran 1947 ini wafat pada 2 Maret 2015, dua pekan lalu, karena penyakit kanker.

Pengarang kelahiran Norfolk ini dikenal sebagai salah satu yang terbaik di Inggris untuk genre fiksi anak dan remaja. Mal beberapa kali mendapatkan penghargaan untuk fiksi-fiksi anak/remaja yang ditulisnya, seperti Branford Boase Award (2004) untuk debut novelnya yang berjudul Keeper. Pada 2005, novel keduanya yang berjudul Tamar diganjar penghargaan Medali Carnegie dari British Library sebagai buku anak terbaik yang terbit pada 2005. Tamar juga mendapatkan penghargaan buku terbaik versi Wirral Paperback of the Year pada 2006. Novel anak lainnya, Exposure, dianugerahi sebagai karya fiksi anak terbaik 2009 oleh Guardian, surat kabar dengan reputasi sangat baik di Inggris.

Pengarang yang juga seorang ilustrator ini memang menyukai sepakbola. Beberapa karyanya juga mengisahkan sepakbola, seperti novel debutnya yang berjudul Keeper. Cerita pendek Efek Socrates ini, sekali lagi, memperlihatkan minatnya yang kuat terhadap sepakbola. Membaca cerpen Efek Socrates ini, terlihat juga bagaimana ia punya pengetahuan dan informasi yang memadai mengenai sepakbola.

Cerpen ini pertama kali tayang di surat kabar The Telegraph pada 13 Juli 2014, bersamaan dengan Piala Dunia 2014 yang digelar di Brazil. Semua kritik yang disampaikan kelompok-kelompok pro-demokrasi tentang penyelenggaraan Piala Dunia di Brazil, yang dianggap korup, menghambur-hamburkan uang, juga mengorbankan hak-hak kaum miskin di Brazil, dengan baik dirangkum dan diceritakan kembali dalam bentuk fiksi oleh Mal.

Socrates sendiri memang seorang legenda sepakbola Brazil, yang terkenal karena gayanya yang elegan memimpin lini tengah. Ia masyhur karena kepemimpinannya di Corinthians, ketika dirinya menjadikan Corinthians sebagai salah satu panji perlawanan gerakan kiri di Brazil menentang kediktatoran militer. Socrates dan Corinthians mengkampanyekan demokrasi dan kostum Corinthians pernah digunakan sebagai poster yang menghimbau rakyat Brazil untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu guna mengalahkan kediktatoran militer Brazil. (baca juga: Orang-orang Kiri di Persimpangan Lapangan Bola).

Sementara, kita tahu, Socrates juga nama seorang filsuf Yunani kuno, yang dianggap sebagai guru dari Plato. Ia dihukum mati karena metode filsafatnya, yang mengajak anak-anak muda di Athena untuk bersikap kritis dan berani mempertanyakan segala hal, dianggap meracuni generasi muda Athena. Socrates bisa diampuni asalkan ia meminta maaf dan mengaku salah. Tapi Socrates menolak opsi itu. Ia menerima hukuman matinya dengan tegar dan santai. Beberapa saat sebelum ia menarik nafasnya yang terakhir, setelah menenggak minuman racun sebagai pelaksanaan hukuman mati, ia sempat berpesan pada seorang muridnya: "Crito, aku berutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarnya kembali."

Menilik bangunan perkisahan yang ditulis Mal Peet di cerita pendek ini, tentu bukan kebetulan jika ia menggunakan nama Socrates di cerpen ini.

Terimakasih, Mal, untuk kisah yang menyentuh sekaligus jenaka yang kau tuliskan. Selamat jalan, berbahagialah dengan sepakbola sejati di surga yang kekal. RIP.

Addendum: Edisi Indonesia dari cerpen ini, seperti yang barusan anda baca, diterjemahkan oleh Taufiq Nurshiddiq. Salah seorang staf penulis di Pandit Football Indonesia, yang belakangan menggeluti sepakbola Jerman dan Prancis, memang sedang menekuni studi bahasa, persisnya linguistik, di Departemen Sastra Jerman, Universitas Padjajaran, Bandung. Ini merupakan debutnya dalam menerjemahkan karya sastra. Anda bisa membaca tulisan-tulisan sepakbola Taufiq Nurshiddiq DI SINI atau menghubunginya melalui akun twitter: @nurshiddiq.




Keterangan lukisan:

Artist: Jacques-Louis David
Judul: The Death of Socrates
Tahun Pembuatan: 1787
Media: Cat minyak, kanvas
Ukuran: 129.5 cm x 196.2 cm (51.0 in x 77.2 in)
Lokasi penyimpanan: Metropolitan Museum of Art, New York

Komentar