Perang Filosofis Antara Ajax Amsterdam dengan PSV Eindhoven

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Perang Filosofis Antara Ajax Amsterdam dengan PSV Eindhoven

Di Belanda, ada sebuah kelompok musik bernama De Toppers yang mulai dikenal sejak 2005. Kelompok musik itu mengingatkan ada suatu yang lebih filosofis dalam sepakbola di negara tersebut.

Hal itu karena ada pertandingan besar di sepakbola Belanda yang bertajuk De Topper (Paling Top) antara Ajax Amsterdam dengan PSV Eindhoven. Pertandingan itu pun dianggap paling panas kedua di Liga Belanda setelah De Klassikers (Paling Klasik) antara Ajax menghadapi Feyenoord Rotterdam.

Tapi persaingan De Topper berbeda dengan De Klassikers yang disebabkan kontra kultural. Rivalitas De Topper lebih disebabkan karena peperangan ideologi dan filosofi permainan antara Ajax dengan PSV. Berawal dari filosofi Rinus Michels melalui teori total football dengan menggunakan formasi 4-3-3 yang tertanam di Ajax pada 1960-an.

Di tangan Michels, Ajax sukses meraih empat gelar Liga Belanda yang dikenal dengan nama Eredivisie. Selain gelar itu, Michels juga mempersembahkan tiga Piala KNVB, satu Piala Intertoto dan satu lagi Piala Eropa (Liga Champions). Kesuksesan Ajax itu membuat model sepakbolanya dipuji secara luas di luar negeri sehingga mendominasi pola pikir sepakbola Belanda.

Buktinya, permainan Ajax diadopsi oleh tim nasional Belanda maupun klub lain. Tapi tidak dengan PSV yang beberapa pelatihnya telah melakukan eksperimen formasi tersendiri meskipun sama-sama mengusung sepakbola menyerang. Perbedaan PSV sendiri diprakasai Kees Rijvers selaku pelatihnya pada 1970-an.

Ketika Ajax berjaya dengan formasi 4-3-3, Rijvers justru menerapkan total football di PSV dengan formasi 4-3-1-2. Hasilnya, Rijvers mempersembahkan tiga gelar Eredivisie, dua Puala KNVB dan satu Piala UEFA yang mulai memecah dominasi Ajax di sepakbola Belanda.

Kemudian formasi yang biasa dipakai PSV sejak era Rijvers diasah Guus Hiddink menjadi 4-2-3-1 pada akhir 1980-an. Perubahan yang dilakukan Hiddink membuatnya lebih sukses daripada Rijvers karena mengantarkan PSV meraih enam gelar Eredivisie, lima Piala KNVB dan satu Piala Eropa.

Tapi soal gelar Eredivisie, Ajax masih menjadi kesebelasan terbanyak dengan memenangkan 33 kali yang unggul 10 gelar daripada PSV. Jumlah itu menjadi kesebelasan yang paling banyak mendapatkan gelar Eredivisie dan menjadi alasan pertandingan antar mereka sebagai yang paling top di Belanda.

Rekor pun berimbang karena Ajax dan PSV sama-sama memenangkan 53 pertandingan dari 161 pertemuan mereka. Hanya saja Ajax lebih unggul soal jumlah gol, yaitu 228 gol dibanding 220 gol yang dibekukan PSV ke gawang rivalnya tersebut. Memang tidak merugikan bilamana meluangkan sedikit waktu untuk menyaksikan pertandingan De Topper.

Perbedaan filosofis sejak zaman dahulu telah menciptakan medan tempur ideologis yang semakin panas antar mereka hampir seperti pertandingan De Klassiker. Meskipun dalam tujuh musim terakhir, sepakbola menyerang Ajax mulai berbasis kepada possesion football sejak ditangani Frank de Boer.

Sementara PSV tetap mengklaim menjadi sepakbola menyerang paling baik di Belanda. Kedua kesebelasan itu juga mengalami perpecahan soal budaya belanja pemain. Baik Ajax maupun PSV sama-sama memiliki akademi sepakbola yang berkualitas. Ajax dengan akademi bernama De Toekomst dan PSV dengan De Herdgang.

Tapi Ajax lebih besar dalam pengembangan bakat pemainnya dan mampu mempromosikannya. Jebolan De Toekomst juga lebih diutamakan besar bersama skuat senior dulu sebelum dijual ke pasaran. Sementara PSV lebih gemar mencuri pemain bintang dari kesebelasan lain di Liga Belanda dan kemudian dijual setelah semakin bersinar.

Eric Gerets, mantan pemain PSV menggambarkan bagaimana ia bisa merasakan kebencian setiap kali menghadapi Ajax. "Ketika saya tiba di PSV, kami melanggar hegemoni Ajax. Saya tidak berpikir kalau saya sangat suka di sana, tapi saya juga tidak terlalu menyukainya," akunya seperti dikutip dari Fourfourtwo.

Selain persoalan tata kelola dan strategi di lapangan, dari segi masyarakat antara kedua kesebelasan itu juga sedikit bertolak belakang. Eindhoven merupakan lawan bagi Amsterdam sebagai kawasan metropolitan ibu kota Belanda. Berbeda dengan Eindhoven dihuni suku Brabantian yang rata-rata mata penghasilannya adalah petani pada zaman dahulu.

Warna merah putih yang identik dengan PSV juga merupakan representasi dari bendera suku Brabantian. Sementara warna asli Ajax adalah hitam dan merah. Tapi karena pada awal 1900-an serupa dengan Sparta Rotterdam, warna Ajax berubah menjadi merah putih pada 1911. Penambahan warna putih tidak lepas dari asosiasi kulit putih di Amsterdam.

Faktor lingkungan di masyarakat itu menambah sedikit bumbu persaingan Ajax dengan PSV soal peperangan ideologis. Bagi Ajax, mengalahkan Feyenoord adalah kebanggaan. Tapi mengalahkan PSV adalah bukti tentang superioritas Ajax di Liga Belanda. Begitu pun juga sebaliknya karena pertandingan antara PSV dengan Feyenoord tidak kalah panas.

Tapi poin dari pertandingan De Toppers adalah soal pertarungan kebenaran dari sepakbola Belanda itu sendiri. Bukan soal kebudayaan ketika melibatkan Feyenoord di antara mereka. Antara Ajax dan PSV diibaratkan sebagai tesis dan anti tesis di dalam sepakbola Belanda itu sendiri.

Komentar