Kekalahan Indonesia Tidak Hanya Berasal dari Kesalahan Individu

Analisis

by Bayu Aji Sidiq Pramono

Bayu Aji Sidiq Pramono

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kekalahan Indonesia Tidak Hanya Berasal dari Kesalahan Individu

Laga pertama Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2026 berakhir buruk di tangan Irak. Tim berjuluk Garuda tersebut takluk di hadapan 65 ribu penonton Basra International Stadium dengan skor 5-1. Gol Irak dicetak oleh Bashar Resan (20’), gol bunuh diri Jordi Amat (35’), Osama Rashid (60’), Youssef Amyn (81’) dan Ali Al-Hamadi (88’). Tim tamu hanya berhasil membalas satu gol lewat kaki Shayne Pattynama (45’+3’). Hasil ini membawa Irak ke puncak klasemen sementara Indonesia terjerembab di dasar klasemen Grup F.

Pelatih Indonesia, Shin Tae-yong, sebelum pertandingan dimulai menargetkan kemenangan. Pelatih asal Korea Selatan tersebut mengaku telah menyiapkan taktik untuk meredam kekuatan Irak. Pasca pertandingan, Shin secara eksplisit mengakui Irak bermain lebih baik.

“Seperti yang anda lihat, ini adalah laga tandang dengan suporter yang sedikit bagi kami di stadion. Kemudian kami juga harus melalui perjalanan panjang dengan para pemain yang tidak datang bersamaan. Terlepas dari itu, Irak memang bermain lebih baik dari kami” ujar Shin via PSSI.

Sebelas Pertama Irak dan Indonesia

Jika berkaca pada sebelas pertama yang diturunkan, Indonesia cenderung memprioritaskan aspek pertahanan. Formasi dasar 3-5-2 yang bergeser menjadi 5-3-2 ketika bertahan, menunjukan Shin ingin meredam serangan Irak yang cukup variatif. Keputusan menarik terlihat pada pemilihan gelandang Shin yang terdiri dari Marc Klok, Ricky Kambuaya, dan Adam Alis. Di posisi bek sayap, Asnawi Mangkualam dan Shayne Pattynama adalah kombinasi yang sangat masuk akal. Dua pemain ini, memiliki atribut menyerang dan bertahan yang cukup seimbang dan cocok dengan penerapan taktik Shin.

Sebaliknya, tuan rumah cenderung memprioritaskan aspek serangan. Untuk meningkatkan efektivitas serangan, Jesus Casas menurunkan pencetak gol terbanyak di Arabian Gulf Cup, Aymen Hussein. Di lini tengah, Ali Jassim memerankan tugas penting sebagai mesin kreativitas dan distributor utama. Jassim didukung oleh Fouad dan Jabbar di belakangnya. Komposisi ini memungkinkan Irak untuk menyerang maksimal dengan transisi yang halus.

Sepanjang pertandingan, bola lebih banyak bergulir untuk tuan rumah. Data dari lapangbola.com menunjukan Irak mendominasi 67 persen penguasaan bola dengan akurasi umpan mencapai 84%. Kenyamanan tersebut menjadi modal awal mereka mencetak lima gol ke gawang Nadeo Argawinata. Di sisi lain, Indonesia juga menjadi kesulitan menciptakan peluang.

Pasif dan Awareness Rendah

Indonesia kebobolan lima gol dengan cara yang beragam. Sekilas memang mayoritas gol Irak berawal dari kesalahan individu. Salah satu yang paling jelas tentunya gol bunuh diri Jordi Amat. Meski demikian, kesalahan individu tersebut tidak datang begitu saja. Alasan mendasar buruknya pertahanan Indonesia adalah permainan yang pasif dan awareness yang rendah.

Permainan pasif artinya secara kolektif tidak terlihat inisiatif untuk mengganggu penguasaan bola lawan dan cenderung menunggu di area sendiri. Dendy Sulistiawan dan Dimas Drajad cukup aktif melakukan pressing ketika Irak memulai serangan dari lini belakang. Namun, usaha tersebut tidak efektif sebab dua pivot Irak sangat aktif mencari ruang dan sirkulasi. Hal ini yang membuat Irak begitu nyaman membangun serangan.

Bahkan, ketika Irak memasuki area pertahanan Indonesia, tidak ada peningkatan intensitas tekanan yang dilakukan Garuda. Oleh sebab itu, pasukan Jesus Casas sangat leluasa membongkar pertahanan Indonesia. Struktur pertahanan yang disusun Shin Tae-yong membentuk pola 5-3-2 dengan jarak antar lini yang cukup renggang. Jarak tersebut dimanfaatkan Irak untuk mengakses sepertiga akhir. Ali Jasim adalah aktor utama serangan Irak. Ia menjadi sumber kreativitas dan menyuplai bola untuk Aymen Hussein, Ibrahim, dan Bashar. Terbukti selama 90 menit, Irak menciptakan lima peluang, sembilan tembakan, dan empat tembakan ke gawang.

Situasi diperparah ketika Irak berulang kali masuk ke sepertiga akhir. Garis pertahanan Indonesia yang cenderung rendah dapat diatasi dengan pergerakan lima penyerang yang cukup dinamis, ditambah kreativitas dari Jasim. Selain itu, hampir semua pemain Indonesia selalu kalah dalam situasi satu lawan satu. Hal ini membuat tim besutan Shin tersebut semakin kesulitan karena harus menjaga area-area tertentu dengan lebih dari satu pemain. Hal ini yang membuat organisasi pertahanan Indonesia mudah terpecah.

Faktor lain yang membuat Indonesia kebobolan lima gol adalah rendahnya kesadaran terhadap pergerakan tanpa bola lawan. Hal ini terlihat jelas pada proses gol ketiga dan keempat Irak. Ilustrasi di bawah ini menunjukan situasi sebelum terjadinya gol keempat Irak. Terlihat bahwa semua pemain Indonesia hanya fokus pada pemain yang memegang bola. Mereka tidak sadar pergerakan pemain Irak yang mengambil ruang kosong tanpa penjagaan.

Ilustrasi Situasi Sebelum Gol Keempat Irak Terjadi

(Sumber : Tangkapan Layar RCTI Entertainment)

Minim Koneksi

Masalah terbesar Indonesia pada laga ini juga hadir dari aspek serangan. Koneskuensi ketika menjadi tim yang pasif adalah kesempatan menyerang yang lebih terbatas. Jika Shin berharap strategi ini berjalan, maka ketika menyerang efektivitas sangat penting. Efektivitas dalam hal ini bukan hanya berkaitan dengan penyelesaian akhir. Tapi, efektivitas dalam passing, gerakan, dan pengambilan keputusan. Menurut data dari lapangbola.com, Indonesia selama 90 menit hanya menciptakan dua peluang, dua tembakan yang satu di antaranya berbuah gol.

Ketika Indonesia mendapatkan kesempatan menyerang, Irak dengan mudah meredam ancaman. Hal ini disebabkan karena Irak disiplin menekan sementara Indonesia kesulitan mengalirkan bola ke area pertahanan lawan. Tidak ada pemain yang mampu menyambungkan peran antar lini sehingga koneksi terputus. Kontribusi dari Marc Klok hampir tidak terasa sebab perannya ketika proses menyerang tidak efektif.

Sisi sayap cenderung lebih efektif ketika menyerang. Hal ini terbutki dari satu gol yang dicetak Indonesia yang berawal dari gerakan di sektor sayap dan inisiatif dari Rafael Struick. Meski demikian, Irak menyadari bahwa Indonesia memiliki banyak pemain yang unggul ketika bola berada di pinggi lapangan. Alhasil, Irak tidak ragu untuk mengerahkan banyak pemain untuk mendukung sektor sayap agar tidak mudah dieksploitasi.

Komentar