Kenapa Sepakbola Menjadi Sasaran Kelompok Radikal Islam?

Internasional

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kenapa Sepakbola Menjadi Sasaran Kelompok Radikal Islam?

Kepolisian Belgia telah menembak mati terduga pelaku penembakan dua suporter Swedia di Brussels, Belgia (17/10) waktu setempat. Penembakan terjadi 45 menit sebelum laga kualifikasi Piala Eropa 2024 antara Belgia melawan Swedia dimulai di Stadion King Baudouin. Penembakan terjadi di sebuah jalan, sekitar lima kilometer dari stadion.

Setelah penembakan terjadi, beredar video di media sosial yang menayangkan seorang laki-laki dengan separuh mukanya ditutupi kain dan berbicara dalam bahasa Arab yang diduga adalah pelaku. Eric van Duyse, juru bicara pihak kejaksaan Belgia menyebut dalam video tersebut terduga pelaku melakukan aksinya karena terinspirasi dari ISIS. Pelaku merupakan warga negara Tunisia yang tinggal di Belgia secara ilegal.

Ini bukan kali pertama serangan kelompok radikal mengincar sepakbola. Pada 13 November 2015, serangan teroris menyasar Stadion Stade de France yang sedang menghelat laga persahabatan antara Prancis melawan Jerman.

Sekitar 120 orang tewas dalam aksi terorisme ini. Setelah pengeboman terjadi, juga muncul video yang diduga dari kelompok ISIS yang menyatakan bahwa serangan ini adalah inisiasi mereka.

Dalam video itu, dikutip dari BBC Indonesia, alasan mengapa ISIS melakukan teror adalah karena adanya penghinaan terhadap Nabi Muhammad. "Karena telah berani menghina nabi kami, karena telah berbangga diri memerangi Islam di Prancis dan karena menyerang Muslim di khilafah dengan pesawat-pesawatnya."

Lalu, mengapa sepakbola menjadi salah satu sasaran kelompok radikal?

Sepakbola memang menjadi salah satu media untuk menyampaikan kampanye dengan tema tertentu. Untuk mendukung gerakan black lives matter, misalnya, Premier League dan beberapa liga lain pernah menerapkan peraturan berlutut sebelum pertandingan dimulai bagi para pemain. Kampanye dalam bidang lain, misalnya, penggunaan ban kapten pelangi yang menjadi simbol dukungan terhadap gerakan LGBTQ.

Ini menunjukkan bahwa sepakbola menjadi media yang kuat untuk menyampaikan sesuatu, dengan banyaknya publisitas melalui pertandingan yang disiarkan di dalam negeri maupun sampai level internasional seperti Premier League, La Liga, Liga Champions Eropa, dan lain-lain. Tidak mengherankan sepakbola pun menjadi perhatian bagi kelompok radikal.

Saat ini, ada beberapa kelompok radikal (terutama yang menganggap dirinya berhaluan Islam) seperti Taliban, Al Qaeda, dan ISIS. Jika ditelisik lebih dalam, ada perbedaan gerakan maupun ideologi di antara kelompok tersebut. Namun, sepakbola adalah salah satu olahraga yang paling digemari di dunia. Sebagai contoh, sebelum Piala Dunia 2022 dimulai The Trade Desk dan YouGov dalam penelitiannya menemukan dua dari tiga (atau sekitar 180 juta) orang di Indonesia berencana menonton ajang empat tahunan tersebut. Ini baru di Indonesia, belum lagi di negara peserta atau negara dengan antusiasme serupa.

Dengan situasi ini, para kelompok radikal pun, tergambar dari apa yang dikatakan pemimpin atau aksi mereka sendiri, mencoba menggunakan sepakbola sebagai sasaran aksi teror.

Melansir penelitian James M Dorsey yang berjudul Soccer v. Jihad: A Draw, ISIS dan beberapa kelompok lainnya memposisikan dirinya sebagai pihak yang menentang sepakbola sebagai bagian dari meniru Nabi Muhammad. Sepakbola dalam bentuk yang kita kenal sekarang memang belum ada di era Nabi. Mereka beranggapan bahwa sepakbola tidak pernah disebutkan di dalam Alqur’an sebagai kitab suci agama Islam sehingga mereka melarang permainan ini.

Ketidaksukaan itu mereka tunjukan dengan mengirim surat kepada Presiden FIFA Sepp Blatter yang dipublikasikan oleh surat kabar Mesir, Al Wattan. Dalam surat yang dipublikasikan pada 2014 itu, ISIS meminta FIFA untuk memindahkan Piala Dunia, karena Qatar akan menjadi kekhalifahan di bawah ISIS.

Masih mengutip Dorsey, pada 2002 terdapat salah satu ulama radikal bernama Abu Haytham yang menulis bahwa: "sementara saudara-saudara kita di Irak, Palestina, dan Afghanistan dibantai dengan darah dingin oleh Tentara Salib dan Yahudi, mata generasi muda kita akan terpaku pada televisi bejat yang menyiarkan hal-hal tersebut. Candu sepakbola sampai overdosis.”

Di Kuwait, terdapat ulama beraliran salaf bernama Hamid bin Abdallah al-Ali, yang mengeluarkan fatwa yang tersebar di forum-forum jihadis. Ia menyatakan "haram menonton pertandingan-pertandingan ini di saluran televisi yang korup ketika bangsa kita sedang dihancurkan pada malam hari. dan siang hari oleh tentara asing.”

Di beberapa negara, situasinya lebih kompleks. Turki, misalnya. Ketika Turki menghadapi Yunani pada 18 November 2015, suporter Turki meneriakkan “Allahu Akbar” saat moment of silence sebelum laga untuk menghormati serangan yang terjadi di Stadion Stade de France empat hari sebelumnya. Saat tim Yunani menyanyikan lagu kebangsaannya pun, suporter Turki meniup peluit dan berteriak. Apa yang dilakukan suporter Turki ini membuat pelatihnya saat itu, Fatih Terim, geram.

Situasi ini tidak muncul tanpa sebab. Semih Idiz, kolumnis politik Turki untuk surat kabar Cumhuhriyet, mengatakan bahwa masyarakat Turki tahu ada orang-orang yang secara aktif mendukung ISIS. Hal yang sama dikemukakan oleh Ozgur Unluhisarcikli, salah satu peneliti di German Marshall Fund di Amerika.

“Mayoritas masyarakat Turki berpikir bahwa ketika negara-negara Barat menghancurkan Kesultanan Ottoman, mereka kini ingin menghancurkan Turki. Anda akan melihat bahwa mayoritas masyarakat Turki percaya bahwa negara-negara Barat membantu organisasi-organisasi subversif,” ujar Unluhisarcikli dikutip dari voanews.com.

Namun demikian, tribun stadion juga bisa menjadi ajang menyuarakan pandangan dari para suporter yang terkadang tidak kalah politisnya, seperti suporter Celtic FC yang mengibarkan bendera Palestina sebagai bentuk dukungan terhadap negara tersebut.

Contoh lain, misalkan, sebelum diserahi trofi Piala Dunia, Lionel Messi dipakaikan baju khas kebudayaan Arab bernama bisht oleh Emir Qatar. Dengan sorotan yang luas, bisht sebagai kebudayaan Arab bisa diperkenalkan kepada penonton di seluruh dunia di perayaan Piala Dunia 2022 tersebut.

Dengan publisitas yang besar melalui penayangan beberapa liga atau pertandingan di berbagai negara, tidak memungkiri bahwa sepakbola menjadi ajang untuk menyuarakan dukungan terhadap kelompok atau menyuarakan pandangan tertentu. Itulah mengapa teror menjadi salah satu risiko dalam gelaran turnamen sepakbola.

Rentetan Aksi Teror dan Keterkaitan Kelompok Radikal Islam

Pada 1998, pemimpin Al-Qaeda Osama Bin Laden menyetujui rencana serangan jihadis Aljazair terhadap Piala Dunia 1998, dalam pertandingan antara Inggris melawan Tunisia serta pertandingan di grup F yang dihuni Jerman, Yugoslavia, Iran, dan Amerika Serikat. Aksi teror di Piala Dunia yang digelar di Prancis memang tidak terjadi. Namun, tidak lantas aksi teror terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sepakbola berhenti.

Di Indonesia, pada 2009, terjadi pengeboman yang didalangi oleh Nurdin M Top di hotel Ritz Carlton dan JW Marriot yang menyebabkan Manchester United batal menggelar uji tanding di Indonesia.

Pada 2010, terjadi pengeboman di salah satu bar di distrik Kabalagala, kota Kampala, Uganda. Bom meledak saat orang-orang yang berada di bar sedang menonton final Piala Dunia 2010. Ledakan juga terjadi di sebuah klub rugby. Setidaknya ada 74 orang yang tewas dalam dua ledakan tersebut.

Pihak yang bertanggung jawab atas ledakan tersebut adalah al-Shabab, milisi Somalia yang juga mempunyai kedekatan dengan Al-Qaeda. Pada Piala Dunia 2014, saat Brasil sedang bertandingan melawan Meksiko, ledakan bom terjadi di Damaturu, Nigeria. Sebanyak 21 orang tewas dalam ledakan tersebut.

Pada 10 Mei 2016, ISIS menyerang kafe bernama al-Furat di Balad, Irak. Kafe tersebut merupakan tempat berkumpulnya penggemar Real Madrid. Tiga orang melepaskan tembakan dan 12 orang yang berada di kafe tewas.

Tak hanya di Irak, serangan terhadap penggemar sepakbola juga terjadi di Malaysia, tepatnya pada 28 Juni 2016. Bar Movida di Kuala Lumpur sedang mengadakan nonton bareng babak 16 besar Piala Eropa. Tiba-tiba sebuah granat meledak dan mencederai 8 orang. Kepolisian Malaysia pun menetapkan tujuh tersangka atas peristiwa ini, di mana satu di antaranya adalah Warga Negara Indonesia (WNI). Ini merupakan teror pertama ISIS di Malaysia.

Masih di tahun 2016, ISIS memenggal empat pemain dan pelatih klub sepakbola asal Suriah, Al Shabab. Klub tersebut bermarkas di kota Ar Raqqah, yang sudah dikuasai ISIS dua tahun sebelumnya. Alasan ISIS mengeksekusi pemain dan pelatih Al Shabab karena mereka diduga menjadi mata-mata pasukan Kurdi.

Selain serangan teror, ternyata terdapat pesepakbola yang pada akhirnya bergabung dengan kelompok radikal ini. Contohnya adalah pesepakbola asal Portugal, Celso Rodrigues da Costa. Ia pernah berlatih bersama Arsenal namun gagal terpilih, sebelum berangkat ke Suriah untuk menyusul saudaranya. Di Suriah, da Costa memakai nama Abu Isa Andaluzi.

Selain da Costa, ada juga mantan pemain junior Jerman berdarah Turki bernama Burak Karan. Pada 2013, Karan tewas di Azaz, sebuah kota sebelah barat laut Aleppo. Karan berperang bersama ISIS untuk menyerang pendukung presiden Suriah Bashar al-Assad.

***

Peristiwa penembakan dua suporter Swedia di Brussels, Belgia, menegaskan bahwa sepakbola masih menjadi sasaran ancaman teror yang dilakukan kelompok radikal. Meski belum tentu berkaitan, konteks politik internasional juga harus dilihat secara komprehensif, mengingat beberapa bulan ke belakang, Swedia mendapat kritik keras karena di sana terdapat peristiwa pembakaran Alquran oleh beberapa pihak.

Bagaimanapun, aksi penembakan terhadap kelompok sipil tidak bisa dibenarkan. Imbas dari penembakan tersebut adalah pertandingan antara Belgia melawan Swedia pun akhirnya ditangguhkan. Suporter Swedia yang datang ke stadion juga mendapat pengawasan ketat.

"Saya masuk ke ruang ganti dan ketika tim mulai membicarakannya, kami sepakat 100 persen bahwa kami tidak ingin melanjutkan pertandingan. Hal ini sebagai tanda penghormatan bagi para korban dan keluarga mereka," ujar pelatih Swedia Janne Andersson dikutip dari tempo.co.

Hal senada juga disampaikan oleh bek Swedia, Victor Lindelof. "Belgia sudah lolos dan kami tidak memiliki kesempatan untuk bermain di Piala Eropa (2024), jadi saya tidak melihat ada alasan untuk melanjutkan pertandingan,” kata bek yang bermain untuk Manchester United itu.

Komentar