Malang, Keluarga Korban, dan Penyintas dari Jarak Dekat: Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Malang, Keluarga Korban, dan Penyintas dari Jarak Dekat: Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan

"Kematian bukanlah tragedi, kecuali jika kita curi dari Tuhan hak untuk menentukannya," Emha Ainun Nadjib, Ke Mana Anak-Anak Itu (1995).

Lagu koplo berdendang kencang dari sebuah speaker. Dengan menggunakan martil, tiga pekerja sedang menghancurkan dinding pemisah antarbangunan ruko yang berderet menyatu dengan stadion. Berjarak satu ruko yang sedang dihancurkan tiga pekerja itu adalah gate 13.

Gerbang gate 13 ditutupi banner besar yang berisi foto para korban. Di sebelah banner itu, ada daftar 135 nama yang meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan. Di balik banner itu, tembok yang dijebol karena pintu terkunci saat tragedi ditutupi oleh selembar seng. Dari celah pintu, tangga gate 13 bisa terlihat.

Stadion Kanjuruhan mulai direnovasi setelah tragedi. Limbah-limbah hasil penghancuran tembok-tembok pemisah berserakan. Poster-poster dan tulisan-tulisan tentang tragedi masih terpampang dan terbaca jelas di banyak bagian. Di halaman parkir mulai terpasang papan pembatas proyek meski belum sepenuhnya. Beberapa orang datang untuk bersepeda atau berlari-lari.

Selasa (19/9) sore itu, saya mengunjungi Stadion Kanjuruhan untuk yang pertama kalinya. Saya pernah beberapa kali menonton Arema FC (saat itu masih bernama Arema Cronus) bermain, sayangnya tidak di Kanjuruhan.

Saya masuk ke dalam stadion melalui pintu utama. Ruang besar di dekat pintu disulap menjadi kantor para pegawai. Tidak ada lagu koplo dan martil di ruangan itu. Para pekerja berpakaian rapi, mengelilingi meja besar dan ada laptop di depan mereka.

Saya naik menuju tribun VVIP karena hanya dari sanalah saya bisa mengakses tribun. Gerbang lain di tribun VIP digembok. Dari tribun VVIP yang biasanya ditempati para tamu undangan penting, stadion Kanjuruhan sangat muram.

Rumput lapangannya menguning oleh sebab musim kemarau. Tiga pohon sengon tumbuh di atasnya, sementara papan e-board sudah menjadi tempat nyaman bagi rumput yang merambat. Kursi-kursi di tribun VIP berdebu. Papan skor besar di tribun timur mati, sementara tulisan Salam Satu Jiwa di bawahnya masih terbaca jelas.

Di tribun selatan, tempat di mana gas air mata polisi paling banyak ditembakkan, pagar tribun berdiri dekat setle ban yang roboh masih belum berubah. Semak tumbuh di mana-mana.

PT Waskita Karya memenangkan tender untuk proyek renovasi Stadion Kanjuruhan. Bersama Brantas Abipraya, Waskita diberi waktu 16 bulan sejak September 2023 untuk merenovasi stadion itu hingga tuntas. Sementara itu, tanpa mengenal tenggat waktu, keluarga korban Tragedi Kanjuruhan terus berupaya agar tragedi yang merenggut keluarga mereka bisa segera menemui titik tuntas.

***

Dari Malang, saya menyambangi Vicky Hermansyah, salah satu penyintas Tragedi Kanjuruhan di Kesambi, Porong, Sidoarjo. Ia merupakan salah satu penyintas yang paling terakhir pulang dari rumah sakit.

Pada malam tragedi itu, Sumiarsih, ibu Vicky, dibangunkan oleh para tetangga untuk mengabarkan adanya musibah di Kanjuruhan. Sumiarsih segera menuju ke Malang diantar tetangga sembari meminjam uang untuk biaya perjalanan dan keperluan di Malang.

Saat tragedi terjadi, Vicky mengalami kejang-kejang. Ia juga sempat koma. Vicky tidak ingat bagaimana tragedi terjadi. Yang ia ingat hanyalah saat ia berangkat, ia sempat berteduh di pom bensin di daerah Lawang, Malang, bersama temannya.

Ingatan Vicky berangsur-angsur pulih meski ia belum bisa berkegiatan seperti biasanya. Oleh dokter, Vicky dilatih untuk menulis, menghitung, dan mengisi teka-teki, mirip seperti soal latihan untuk siswa taman kanak-kanak. Ia juga berolahraga ringan untuk mengembalikan kemampuan fisiknya.

"Saya dulu kerja di pabrik kayu," kata Vicky. Tepat 1 Oktober itulah Vicky genap setahun bekerja di pabrik kayu. Sumiarsih bercerita rencananya ia ingin mengadakan tasyakuran untuk itu. Namun, tidak ada yang tahu akan terjadi tragedi.

Vicky adalah tulang punggung bagi keluarga kecil itu. Sumiarsih mempunyai lima anak. Dua anak di antaranya meninggal, dua lagi bekerja di Surabaya, dan Vicky si bungsu tinggal bersama orang tuanya.

Sumiarsih berulang kali membahas salah satu tetangganya yang membuka donasi untuk Vicky namun uang donasi itu tidak sepenuhnya diterima Vicky.

"Itu rumahnya," ujar Sumiarsih menunjuk rumah orang yang dimaksud, yang terletak sekitar dua puluh meter di sebelah kiri depan rumah Vicky. Tak lama kemudian seorang pria keluar dari pintu rumah itu. "Itu anak lelakinya," kata Sumiarsih.

Setelah pulang dari rumah sakit, Vicky pernah dijanjikan bertemu dengan para pemain Arema FC. Namun, janji itu urung. Ia juga pernah dijanjikan akan diberi tanah pekarangan. Orang yang menjanjikan itu pernah mengirim foto pekarangan yang akan diberikan kepada Vicky. Namun, itu juga tak terlaksana.

Vicky tinggal bersama ibu dan ayahnya dalam sebuah rumah kontrakan. Dulu, rumah itu adalah sebuah ruang indekos. Kabar Vicky yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan membuat banyak tangan yang mengulurkan bantuan. Rumah indekos itu kini sudah diperlebar menjadi rumah. Di halaman, ada sebuah gerobak angkringan tempat di mana ibu Vicky berjualan jajanan.

"Tapi ya begini Mas, jualannya sepi," keluh Sumarsih. Selama kurang lebih dua jam berada di sana, saya hanya melihat satu anak membeli minuman bubuk saset. Ayah Vicky yang meladeni anak itu, ia kesulitan memecahkan es batu.

Sumarsih memang tidak mengeluarkan uang untuk pengobatan Vicky. Ia hanya ingin anaknya sembuh serta bisa bekerja kembali, dan Vicky mendapatkan hak atas penggalangan dana yang mengatasnamakan anaknya itu. Ia juga mengatakan di depan rumahnya akan dibangun konter tempat di mana Vicky bisa berjualan.

***

Di Malang kota, banner-banner berisi tulisan tuntutan agar Tragedi Kanjuruhan diusut tuntas terpampang di banyak tempat, berbagi ruang bersama banner-banner calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Lewat Jamal, salah satu Arek Malang, saya mendapat banyak cerita bagaimana terjalnya usaha Arek Malang untuk mempersatukan semua kelompok. Jamal mencontohkan Pak Midun, lelaki yang bersepeda dari Malang ke Jakarta untuk mengkampanyekan usut tuntas.

Di Malang, suatu kali Pak Midun hanya dikawal oleh satu orang, sementara di luar kota ia mendapat sambutan yang sangat baik.

"Kadang aku sadar, ternyata teman dekat berasal dari yang jauh," kata Jamal.

Pada Januari 2023, sekelompok massa datang ke kantor Arema FC untuk menyampaikan aspirasi kepada manajemen. Aksi itu berbuntut pada rusaknya logo Arema FC. Tak lama setelah itu, sekelompok Aremania kembali memasang logo Arema FC dengan logo baru. Dalam kelompok itu ada sosok yang tidak asing, yakni Yuli Sumpil.

"Logo ini tidak bersalah," katanya.

***

Rumah bercat hijau itu sedang ramai. Beberapa perempuan berada di halaman, mempersiapkan berbagai bahan makanan. Sambil membenarkan kerudungnya, salah satu perempuan keluar rumah dan mempersilahkan saya masuk rumah. Dia adalah Rini Hanifah, akrab disapa Menik, sang pemilik rumah.

Foto Agus Ryan Syah Pratama Putra tergantung di tembok ruang tamu. Dia adalah anak pertama Menik yang meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan, dan malam hari itu akan diadakan pengajian mendhak satu tahun untuknya.

Menik bercerita, anaknya memang sangat menggilai Arema FC. Jika tak punya uang, ia menjual barang-barangnya untuk bisa membeli tiket.

"Nanti kalau punya uang, ia beli lagi."

Menik lahir di Surabaya. Sejak kecil, ia akrab dengan sepakbola karena ayahnya adalah penjual tiket di Stadion Tambaksari. Namun, ia tak menyukai klub manapun. Ia hanya menyukai sepakbola.

Sore sebelum berangkat menonton pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya, Agus meminta kepada ibunya agar dipinjami motor saudaranya untuk berangkat ke Kanjuruhan. Plat motor berkode Surabaya milik Agus tentu akan berisiko jika dibawa ke Malang jelang laga derbi. Terlebih, sudah ada peraturan sebelum pertandingan bahwa suporter tim tamu tidak boleh datang.

"Janji Bu, ini terakhir," kata Menik menirukan anaknya. "Berangkat masih sehat, pulang-pulang sudah jadi mayat."

Baju, celana, topi, sepatu, bahkan tiket milik Ryan masih Menik simpan. Barang-barang itu masih melekat di tubuh Ryan saat ditemukan telah meninggal oleh adiknya, Umar Khadafi. Umar saat ini duduk di kelas tiga SMA. Kata Menik, Ryan kalah tinggi dari adiknya, hanya saja Ryan lebih gemuk, sementara adiknya tinggi dan cukup kekar.

Menik bercerita, ada salah seorang yang tak ia ketahui asal-usulnya menawari Umar masuk polisi. Itu bagian dari upaya membungkam perjuangannya. Menik dan Umar sama-sama menolaknya.

Yang ditawari menjadi polisi bukan hanya Umar Khadafi. Rizal Putra Pratama juga mendapat tawaran serupa. Rizal dengan tegas menolaknya. Ia ingin memperjuangkan ayah dan adiknya yang meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan. Menjadi polisi sama saja mengkhianati perjuangannya.

Rumah Rizal berada di wilayah Tumpang, Malang, dekat dengan gunung Bromo. Rizal mempunyai usaha rental sepeda motor trail. Menyambung dengan ruang tamu, ada garasi bagi motor-motornya. Di ruang tamu rumahnya, ada foto bapak dan kedua adiknya.

Muchammad Arifin (ayah) dan Muchamad Rifky Aditya Arifianto (adik laki-laki) ikut berangkat ke Stadion Kanjuruhan bersama Rizal dan dua saudaranya. Saat pertandingan selesai, Rizal terpisah dengan ayah dan adiknya. Ia mencarinya di VVIP. Oleh salah satu teman, Rizal disuruh pergi ke Rumah Sakit Wava Husada.

Di rumah sakit tersebut, Rizal disuruh pulang oleh saudaranya. Ayahnya menyusul jam tiga dini hari, tapi sudah dalam kondisi meninggal dunia. Sementara Rifky ditemukan di Rumah Sakit Syaiful Anwar pada jam sebelas siang. Tapi, kematian belum selesai sampai di sini.

Cahaya Meida Salsabila, adik perempuan Rizal, jatuh sakit tak lama kemudian. Rizal bercerita adiknya itu merasa sedih dan mengalami tekanan berat karena ditinggal ayah dan kakaknya. Cahaya kemudian dirawat di rumah sakit.

Saat dirawat, Cahaya bilang pada Rizal bahwa ia ingin dibelikan sepeda lipat warna putih. "Ya sudah, yang penting kamu sembuh dulu," ujar Rizal kepada Cahaya saat itu.

Cahaya bilang pada ibunya suatu kali saat berada di rumah sakit, agar ibunya itu istirahat. "Cahaya dadah-dadah ke ibu," kata Rizal, saat ibunya menuju mobil untuk istirahat. "Itu terakhir Cahaya dadah-dadah ke ibu."

Tak berselang lama, Cahaya mengembuskan nafas terakhirnya. Tidak ada sepeda lipat untuknya. Ia menyusul ayah dan kakaknya.

Untuk keadilan bagi ayah dan kedua adiknya, Rizal melakukan berbagai cara meski menemui kesulitan. Nasib Rizal sama seperti Devi Athok. Laporan model B yang mereka ajukan tidak naik ke proses penyidikan.

Saya mengikuti Rizal pergi ke makan ayah dan kedua adiknya, sekitar satu kilometer dari rumahnya. Makam ayah dan dua anaknya itu berdekatan dan sama-sama diberi batas gundukan tanah berwarna hijau. Secara bergantain, Rizal duduk di dekat makam ayah dan adiknya, membersihkannya dari daun-daun, kemudian memanjatkan doa.

Tak lupa saat akan pulang ke rumah, Rizal berpamitan. "Pak, Nduk, Le, pulang dulu ya.. Assalamualaikum.."

Kematian bukanlah tragedi, kecuali jika kita curi dari Tuhan hak untuk menentukannya. Kematian tidak untuk ditangisi. Tetapi apa yang menyebabkan kematian itulah yang harus diteliti.

Komentar