Sembilan Bulan Tragedi Kanjuruhan: Jokowi dan Erick Tidak Membawa Keadilan ke Malang

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sembilan Bulan Tragedi Kanjuruhan: Jokowi dan Erick Tidak Membawa Keadilan ke Malang

Devi Athok kehilangan dua anak perempuannya dan mantan istrinya. Ia memberikan pandangan keluarga korban terkait usaha mencari keadilan pada Twitter Spaces Ruang Pandit "9 Bulan Pasca Tragedi Kanjuruhan" Kamis (27/7/2023) malam. Devi membuka cerita dengan membeberkan apa yang terjadi saat keluarga korban mencoba menagih janji kepada Presiden Jokowi dan Ketum PSSI Erick Thohir di Pasar Bululawang, Malang, Senin (23/7/2023).

Devi mengatakan sekitar dua puluh keluarga korban ingin bertemu dengan Jokowi dan Erick. Mereka membawa foto korban dan poster bertuliskan apa yang mereka suarakan. Namun, mereka mendapat perlakuan yang tidak mengenakan dari pihak tentara.

"Kami dikepung seperti teroris, rampok, dan saya diikuti terus.. Kita diintimidasi, Bu Rini, Bu Ifa dibentak-bentak sama pihak kepolisian. Kan, tidak enak. Saya sampai diikuti, dicekek sama pihak TNI itu, tentara itu," katanya.

Bermacam intimidasi diterima Devi selama memperjuangkan keadilan. Setelah mengajukan autopsi dua jenazah anaknya melalui Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) Imam Hidayat, ia ditelepon beberapa orang tidak dikenal untuk tidak berbuat macam-macam. Bahkan keluarganya juga ikut diteror. Ia akhirnya mencabut permintaan autopsi itu karena khawatir akan berdampak ke keluarganya. Saat ia mengajukan autopsi kedua, teror datang lagi. Ia bercerita akan dikenai pasal oleh salah satu anggota kepolisian. Selain mendapat intimidasi dari kepolisian, ia mengaku mendapat teror dari oknum Aremania. Satu yang masih diyakini Devi, ia bersikeras dua anaknya tidak meninggal di Pintu 13 karena terinjak-injak, melainkan karena gas air mata di tribun.

Sejak Sabtu, sebelum Presiden mengunjungi Pasar Bululawang, rumahnya sudah dijaga ketat pihak kepolisian maupun TNI. Truk polisi serta orang berseragam dan tidak berseragam berada di halaman rumahnya sejak pagi.

Bahkan ketika ia datang ke Pasar Bululawang setelah mendapat telepon dari Cholifatul Noor, tiga mobil kepolisian mengikutinya.

Cholifatul Noor atau akrab disapa Ifa, adalah salah satu keluarga korban yang juga hadir di Pasar Bululawang. Senin pagi, sekitar jam delapan, ia bersama beberapa keluarga korban sudah berada di Pasar Bululawang. Mereka membawa foto keluarga dan poster. Beberapa intel memotret mereka. Kemudian ada tentara yang menghampiri dan membentak-bentak, padahal poster yang dibawa belum dibentangkan.

"Tentara itu maju ke barisan anak sekolah, nunjuk ke kita `tangkap itu ibu-ibu,`. Tulisan (poster) yang nggak saya tunjukin dirampas, mereka marah dan bentak-bentak kita," kata Ifa.

Saat Ifa berusaha mengambil poster yang sudah dirampas, ia terjatuh dan tentara itu menganggap bahwa Ifa akan memukulnya dan terjadilah adu mulut. Saat rombongan Erick Thohir datang, mereka mencoba memanggil Ketum PSSI itu. Ifa pun tidak lupa apa yang diomongkan Jokowi pada Oktober 2022 lalu.

"Tanggal 5 Oktober di (rumah sakit) Syaiful Anwar. Kita (keluarga korban) dikumpulkan di situ. Pak Jokowi, saya dengar dengan telinga saya sendiri, (bilang) `saya akan menyelesaikan dan mengusut tragedi ini sampai tuntas.` Kita kecewa dengan omongannya itu, makanya kita menagihnya," kata Ifa.

Ifa mengatakan bahwa ia dan keluarga korban tidak melakukan orasi, namun mereka dikerubungi intel. Ia pun tidak menerima kejelasan dari pihak pengawal Erick Thohir yang menemui mereka meski sempat meminta nomor telepon.

Kapolsek Bululawang, Ainun Djariyah, meneleponnya. Ia mengajak Ifa dan keluarga korban lain ke Kapolsek. Sayangnya, menurut Ifa, Kapolsek tidak memberi tahu mereka bahwa Jokowi ingin menemui keluarga korban. Ia pun ditelpon seseorang untuk datang ke Rampal. Di sana sudah banyak intel dari Pangdam. Mereka menunggu sampai sore, tapi Dandim tidak datang. Akhirnya diadakan pertemuan esok harinya yang dihadiri Rini Hanifah dan Juariah.

Rini Hanifah, ibu yang kehilangan anak laki-lakinya dalam Tragedi Kanjuruhan, juga berada di Pasar Bululawang. Rini membawa foto anaknya dan sebuah poster bertuliskan "Kami Menagih Janji Presiden Jokowi Untuk Mengusut Tuntas Tragedi Kanjuruhan," yang ia tulis pada sebuah kertas karton. Kertas karton dan spidol yang digunakan untuk menulis tulisan tersebut baru dibeli Rini saat ia baru datang di Pasar Bululawang.

Tentara yang menjaga kunjungan itu menganggap poster yang dibawa Rini provokatif, sehingga ingin merampasnya.

"Kita itu bukan teroris, kita itu bukan bajingan, bukan maling. Kita itu ke sini (Bululawang) mau menagih janji sama Pak Jokowi," kata Rini.

Karena tidak dibolehkan membentangkan poster, Rini pun berteriak kepada Presiden Jokowi.

"Terus waktu Pak Jokowi lewat, saya itu teriak. Kenapa? Saya kan nggak boleh membentangkan kertas karton tadi, akhirnya saya teriak. Teriak saya itu menuntut "Pak Jokowi, mana janji bapak mau mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan? Habis itu kita kan nggak tahu kalau ada bapak Erick Thohir. Pas saya tahu ada bapak Erick, pas Erick turun, saya itu teriak saya menagih janji bapak Erick. "Pak Erick Thohir mana janji bapak sebelum menjabat ketua PSSI? Bapak Erick Thohir janji bapak berarti bapak pembohong," terang Rini terkait apa yang ia lakukan saat rombongan Jokowi datang.

Ia mempertanyakan komitmen Jokowi dan Erick dalam mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Ibu yang kehilangan anak pertamanya yang berusia 20 tahun dalam Tragedi Kanjuruhan itu mengatakan ia tak butuh kemanusiaan jika itu berupa bantuan uang.

"Saya tidak butuh bantuan (uang) kalau soal kemanusiaan. Hidupkan lagi anak saya. Moso diijolke duit anakku? (Masa ditukar uang anak saya?). Enggaklah."

***

Proses mencari keadilan yang dilakukan keluarga korban memang terjal. Kepala Bidang Advokasi YLBHI-LBH Pos Malang Dermawan Tendeang mengatakan pihaknya menemukan kejanggalan dalam proses sidang laporan model A yang dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yakni media dilarang meliput persidangan. Selain itu, alih-alih dilakukan di Malang sebagai kota di mana tragedi terjadi, sidang justru dilakukan di Surabaya. Penasihat hukum tiga terdakwa dari kepolisian adalah perwira aktif Polda Jawa Timur. Menurut Dermawan, itu menyalahi undang-undang advokat karena yang bisa mendampingi terdakwa di persidangan adalah advokat. Kejanggalan terakhir adalah dalam proses pembuktian. Saksi yang dihadirkan lebih banyak dari pihak aparat, sedangkan saksi dari keluarga korban hanya satu orang.

"Proses pembuktian tidak mencerminkan keadilan," kata Dermawan.

Persidangan di PN Surabaya adalah persidangan laporan model A, yakni laporan dibuat oleh pihak kepolisian. Setelah persidangan itu, Dermawan mengatakan ia mengajukan laporan ke beberapa pihak, di antaranya ke Bareskrim. Namun, laporan itu ditolak karena Bareskrim menganggap laporan itu tidak memiliki bukti yang kuat.

"Padahal itu sudah menjadi kewajiban kepolisian. Makanya kan ada proses penyelidikan dan penyidikan. Itu kan tahapan mencari alat bukti dan barang bukti."

Selain itu, ia juga berkomunikasi dengan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM berat. Ia juga mengajukan laporan model B kepada ke Polres Kepanjen. Namun, laporan itu mandek. Pada 3 dan 4 Juli lalu, ia sudah menambah saksi dari pihak keluarga korban, namun belum ada progres lebih lanjut.

Renovasi Stadion Kanjuruhan juga menjadi perhatian. Keluarga korban sudah melakukan audiensi dengan DPRD Kabupaten Malang, namun juga belum menemui titik temu.

"Stadion Kanjuruhan adalah Tempat Kejadian Perkara (TKP). Di sana banyak fakta hukum. Kalau direnovasi, otomatis fakta hukum tragedi akan hilang. Sedangkan proses hukum keadilan keluarga korban belum terpenuhi. Bahkan rekonstruksi tidak dilakukan di Kanjuruhan justru di Mapolda Jatim," terang Dermawan.

Rencana renovasi stadion ini membuat Ifa sakit hati. Ia menganggap renovasi stadion ini adalah upaya menghilangkan barang bukti. Arema FC, menurut Ifa, egois karena tidak pernah membuka diskusi bersama keluarga korban.

"Anda (Arema FC) main silahkan. Tapi tuntaskan dulu (Tragedi Kanjuruhan). Mana perhatian, mana simpati kalian ke kita (keluarga korban). Lebih baik Malang ini dijadikan kota pelajar saja daripada Arema FC."

Menurutnya, tidak ada masalah stadion direnovasi dengan catatan keluarga korban sudah mendapat keadilan. Jika tetap direnovasi tanpa adanya keadilan, maka itu adalah kesengajaan menghilangkan barang bukti.

Arema FC memang sudah tidak mendapat simpati dari keluarga korban. Keluarga korban bahkan menolak menggunakan jargon Salam Satu Jiwa (Sasaji) dalam aksi-aksi mereka dan mereka tentu saja menganggap Singo Edan klub nirempati.

Devi Athok membakar jersei dan syal Arema FC yang ia punya. Ia menyesal mengenalkan Arema kepada anak, adik, dan keluarganya. Devi menyebut Arema FC sebagai Nirempati FC. Menurut Devi, seharusnya klub membantu keluarga korban.

"Sampai mati saya tidak akan mendukung Arema FC. Saya adalah Arek Malang," tegas Devi.

Ifa, sebagai keluarga korban, minta sesegera mungkin untuk bisa bertatap muka melakukan audiensi dengan PSSI.

"Katanya Pak Erick Thohir mau merangkul, mau diskusi sama keluarga korban, segera buktikan. Jangan kita ini luka malah dilukain lagi dengan janji-janji manis mereka. (Saya) juga minta dijembatani untuk bertatap muka dengan Pak Jokowi."

1 Oktober 2023 nanti, tepat satu tahun Tragedi Kanjuruhan terjadi dan keadilan bagi keluarga korban masih belum didapatkan.

Komentar