Tragedi Kanjuruhan, Piala Dunia, dan Pelipur Duka

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Tragedi Kanjuruhan, Piala Dunia, dan Pelipur Duka

Tragedi Kanjuruhan terjadi 51 hari sebelum Piala Dunia 2022 dimulai. Tragedi terbesar kedua yang merenggut korban nyawa dalam sejarah sepakbola terjadi ketika euforia Piala Dunia 2022 mulai dibicarakan.

Ada kalanya sepakbola memang menjadi penyebab munculnya kedukaan. Tapi, sebagai olahraga yang dinikmati banyak orang, sepakbola juga menjadi oase di tengah konflik-konflik yang kadung membuat suasana hidup sangat sumpek.

Piala Dunia, misalnya. Sebagai ajang empat tahunan, Piala Dunia memang dinantikan banyak orang di seluruh penjuru dunia. Di sisi lain, terkadang sebelum perhelatan Piala Dunia dimulai, ada tragedi-tragedi yang menggerus sisi kemanusiaan atau momentum-momentum tertentu yang membuat suasana begitu sesak. Di Indonesia, Tragedi Kanjuruhan merupakan salah satu dari beberapa contohnya.

Sebelum Piala Dunia 1998 dimulai, Indonesia sedang menghadapi gejolak politik yang hebat. Tuntutan dari berbagai kalangan agar Suharto mundur mencapai puncaknya pada 21 Mei ketika Suharto menyatakan mundur, hanya 20 hari sebelum Piala Dunia 1998 dimulai. Di tahun itu, gejolak politik yang akhirnya memicu kerusuhan rasial tak bisa dihindari.

Piala Dunia sedikit menjadi peredam kerusuhan itu. Agenda pasca reformasi di halaman muka koran-koran diimpit berita tentang Piala Dunia. Di sisi lain, Piala Dunia di Inggris 1966 juga bertepatan dengan tahun di mana Suharto secara de facto mendapat kekuasan dari Sukarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Ketika Piala Dunia 1998 usai, maka segala urusan ingar bingar politik kembali memenuhi percakapan. Sindhunata, dalam suasana Piala Dunia yang baru saja usai, menulis sebuah esai yang mengaitkan Piala Dunia dengan kondisi politik Indonesia saat itu. Tidak secara eksplisit, memang. Sindhunata meminjam bahasa sepakbola untuk menggambarkan nuansa reformasi yang belum tentu arah itu.

Sindhunata, misalnya menggunakan istilah realisme lapangan, untuk menggambarkan bahwa apa yang terjadi di lapangan adalah bukti dari segalanya.

“Politikus, ABRI, dan partai-partai politik boleh saja omong soal solusi krisis, ide reformasi, upaya mengusut kerusuhan dan pemerkosaan dan sebagainya. Namun di mata masyarakat pecinta bola, rapor mereka tetap merah, jika omongan mereka tidak menjadi kebenaran dan kenyataan di lapangan,” tulis Sindhunata.

Dua tahun berselang, Euro yang digelar di Belgia dan Belanda menjadi salah satu penentu bagaimana konflik di Maluku berlangsung. Ketika timnas Belanda bermain, konflik mendadak terjeda. Orang-orang berkumpul di depan tivi atau titik-titik nonton bareng untuk menonton timnas Belanda.

Ikatan erat antara Maluku dan Belanda memang kuat. Beberapa pemain Belanda mempunyai darah Maluku. Di sisi lain, pada 1950-an banyak orang-orang Maluku yang menjadi tentara Hindia Belanda harus pergi ke Belanda. Ikatan-ikatan historis semacam itu membuat Belanda menjadi negara yang didukung oleh orang-orang Maluku.

Pada Piala Dunia 2014, misalnya. Ketika Belanda meraih kemenangan, masyarakat Ambon melakukan konvoi dengan menggunakan sepeda motor dan mengenakan berbagai atribut Belanda ketika Belanda meraih kemenangan atas Meksiko di babak 16 besar.

Di Piala Dunia 2006, Yogyakarta dihantam gempa hebat. Gempa itu terjadi pada 27 Mei, 12 hari sebelum pembukaan Piala Dunia antara Jerman melawan Kosta Rika digelar.

Piala Dunia menjadi pelipur lara bagi pengungsi. Ketika Piala Dunia sudah digelar, hampir semua shelter pengungsian menggelar nonton bareng. PLN saat itu berusaha untuk mengalirkan listrik ke wilayah-wilayah pengungsian.

Ilham, salah satu warga Babadan, Banguntapan, Bantul, bercerita kepada Panditfootball, tentang kenangannya ketika nonton bareng Piala Dunia 2006.

“Waktu itu banyak rumah di kampungku yang rusak. Atapnya runtuh, temboknya retak. Orang-orang di kampungku mendirikan sebuah tenda sebagai titik kumpul,” ujar pria yang saat ini berprofesi sebagai pemilik sebuah usaha clothing baju itu.

Ilham menjelaskan bahwa sebelum Piala Dunia, orang-orang merasa trauma akan datangnya gempa susulan. Setelah Piala Dunia, perlahan orang-orang menemukan hiburan sebagai penyembuh trauma mereka.

“Mulai dari anak-anak sampai ibu-ibu ikut nonton bareng di rumah-rumah yang masih kokoh. Piala Dunia benar-benar menjadi hiburan warga. Kami tak pernah melewatkan satu pertandingan pun - kami menontonnya (Piala Dunia) dari pembukaan hingga partai final,” tutupnya.

Dalam konteks yang berbeda, Piala Dunia bukan digunakan untuk menjadi pelipur lara. Piala Dunia justru digunakan untuk menutupi kebobrokan, seperti yang pernah dilakukan Argentina pada 1978.

Dua tahun sebelum Piala Dunia 1978 digelar, rezim militer pimpinan Jorge Rafael Videla menggulingkan Isabel Peron, istri Juan Peron, Presiden Argentina berhaluan sosialis yang meninggal mendadak. Videla tidak segan menyingkirkan kelompok-kelompok yang bertentangan dengannya. Aktivis dan mahasiswa diculik. Simpatisan Isabel Peron diculik dan dihabisi. Kejahatan tersebut coba ditutupi dengan mengesankan bahwa Piala Dunia 1978 merupakan keberhasilan rezim militer Videla.

Rezim Videla mencoba melancarkan usaha-usaha untuk mempermudah laju tim Tango. Usaha tersebut seperti merancang agar Argentina bermain pada malam hari di saat para rival bermain waktu siang atau sore. Selain itu, di babak delapan besar yang belum menggunakan sistem knock out seperti sekarang, Argentina harus menang dari Peru dengan skor lebih dari empat agar bisa menggeser Brazil dan melaju ke partai puncak.

Saat turun minum, Videla dan rekannya bernama Henry Kissinger, masuk ke ruang ganti Peru. Argentina unggul 2-0. Selepas itu, Argentina mampu menang dengan skor 6-0 dan melaju ke partai final menghadapi Belanda.

Sebelum berlaga di partai puncak, Belanda diterpa isu penggunaan doping dan mendapat ancaman. Johan Cruyff pun mendapat ancaman dari rezim Videla. Argentina berhasil menjadi juara di rumah sendiri dengan cara-cara kotor.

Qatar pun menggunakan Piala Dunia untuk menutupi kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap pekerja migran, atau biasa disebut dengan sportwashing. Sportwashing merupakan sebuah upaya yang dilakukan korporasi atau lembaga tertentu untuk mengaburkan kesalahan yang mereka lakukan melalui olahraga.

Qatar mengemas Piala Dunia dengan semewah mungkin, agar mereka mendapat citra yang baik di mata dunia. Barangkali hanya Qatar yang membangun tujuh dari delapan stadion dari awal khusus untuk Piala Dunia. Selain itu, delapan stadion itu juga dilengkapi dengan AC yang membuat udara lebih sejuk.

Di balik kemewahan itu, ada buruh migran yang tidak mendapatkan hak-haknya, bahkan banyak pula yang meninggal.

***

Menikmati Piala Dunia 2022 - termasuk memboikotnya - merupakan hak setiap individu yang dilandasi dengan sikap politik dan keberpihakan yang jelas. Di Indonesia, yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai euforia Piala Dunia membuat Tragedi Kanjuruhan dilupakan, sehingga selepas Piala Dunia usai semua terasa baik-baik saja.

Komentar