Bagaimana Hindia Belanda Berkenalan dengan Sepakbola

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Bagaimana Hindia Belanda Berkenalan dengan Sepakbola

Kemunculan sepakbola di Hindia Belanda merupakan salah satu dari hasil hubungan kolonialisme Belanda dengan rakyat jajahan. Bumiputra mengenal sepakbola dari para Belanda yang mendirikan klub di beberapa wilayah.

Perkumpulan olahraga pertama di mana sepakbola menjadi bagian perkumpulan itu adalah Gymnastiek Vereeniging, yang berdiri pada 16 November 1887. Perkumpulan yang berdiri di Medan itu menampung olahraga sepakbola, kriket, tenis, sepeda, atletik, dan senam.

Tim pertama yang diperuntukkan khusus sebagai tim sepakbola baru muncul pada 1894. John Edgar, siswa HBS (Hollandsche Burgere School) membentuk tim sepakbola bernama Victoria di

Surabaya.

Di Surabaya, kemunculan Victoria (dan Sparta dalam perkembangannya) diikuti gelombang munculnya tim lain. Munculnya tim-tim baru memicu dibentuknya federasi sepakbola bernama Oost Java Voetbal Bond (OJVB) atau Federasi Sepakbola Jawa Timur. OJVB menggelar pertandingan setiap akhir pekan, yang pada akhirnya memunculkan kompetisi yang diadakan di Surabaya.

Batavia (Jakarta) meniru apa yang ada di Surabaya. Namun, karena di Batavia belum dibentuk federasi, kompetisi diadakan oleh sebuah surat kabar bernama Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie pada 1904. Kompetisi ini juga diikuti oleh tim Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra (STOVIA). Berlangsung selama dua bulan, dari 17 Juli 1904 sampai 29 September 1904 - kompetisi ini disebut sebagai kompetisi pertama di Hindia Belanda (Berretty, 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie 1894-1934).

Tren kompetisi ini juga menjalar ke berbagai daerah. Baru pada 1914, di Semarang, diadakan kompetisi antarkota dengan tajuk Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial). Namun, acara itu tidak hanya menggelar pertandingan sepakbola saja, melainkan juga memainkan pertandingan kriket dan mementaskan kelompok teater.

Memasuki abad 20, anak-anak Bumiputra mulai diperbolehkan masuk sekolah-sekolah yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa. Tak hanya transfer pengetahuan saja yang terjadi, anak-anak Bumiputra itu bisa mengerti dan memainkan segala yang dimainkan oleh orang-orang Eropa, termasuk sepakbola.

Di kaki para anak sekolahan itulah sepakbola Indonesia berkembang. Klub-klub bermunculan, dan banyak yang masih memakai bahasa Belanda. Tujuh tim penggagas PSSI awalnya adalah klub-klub daerah yang beberapa di antaranya memakai nama dalam Bahasa Belanda.

Namun demikian, sepakbola juga berkembang di kalangan etnis Arab dan Tionghoa. Di Surabaya, misalnya, berdiri klub Annasher pada 1930. Beberapa tokoh Arab di Surabaya awalnya melarang orang-orang Arab untuk bermain sepak bola lantaran sepakbola adalah olahraga yang dimainkan orang-orang Eropa sehingga tak baik untuk ditiru, dan para pemainnya menggunakan celana pendek.

Pada 1932, Annasher menjadi anggota Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), salah satu organisasi sepak bola terbesar di Hindia Belanda. NIVB dibentuk pada 1919, dan rutin mengadakan kompetisi antardaerah.

NIVB berkembang dengan bantuan aktif instansi Pemerintah Hindia Belanda serta mendapat sokongan secara penuh dari maskapai-maskapai Dagang Belanda dan sumbangan dana lainnya (RN Bayu Aji, 2020: 30) Keuntungan NIVB sebagai organisasi yang merepresentasikan kepentingan orang-orang Belanda adalah mereka juga mendapat fasilitas dan lapangan yang memadai.

Kelompok Tionghoa pun mempunyai federasi sepakbolanya sendiri, yaitu Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB). HNVB menyelenggarakan pertandingan antardaerah. Dalam perkembangan sepakbola di kalangan orang-orang Tionghoa, berdiri pula Chineese Voetbal Bond (CVB) pada 1924. CVB adalah alat politik bagi orang-orang Tionghoa untuk mensejajarkan diri dengan orang-orang Eropa. Sepakbola di masa kolonialisme memang tak bisa dilepaskan dari tujuan politis.

PSSI pun tak bisa lepas dari hal-hal di luar sepakbola. PSSI didukung oleh organisasi pergerakan, dan PSSI merupakan organisasi yang otonom, tidak berada dalam naungan NIVB. Pada 1933, PSSI dan NIVB menjalin kesepakatan untuk memantau bakat pemain-pemain muda. Dalam kerja sama itu, kedudukan PSSI dan NIVB (yang berganti menjadi NIVU), adalah setara.

Kesetaraan dalam kerja sama ini sangat berarti karena, sistem sosial Hindia Belanda menghendaki adanya tiga tingkat strata sosial. Golongan Belanda (dan Eropa pada umumnya), adalah golongan atas yang membedakan diri dengan golongan Timur Asing (Vreemde Osterlingen) dan Bumiputra.

Golongan Timur Asing diperhadapkan dengan golongan Bumiputra. Golongan Timur Asing terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Arab, atau Asia secara umum. Tak jarang pula terjadi konflik antartokoh golongan Timur Asing, baik Tionghoa atau Arab.

Sedangkan golongan Bumiputra adalah golongan yang paling merasakan dampak buruk kolonialisme. Mereka menjadi budak di tanah mereka sendiri. Berkembangnya pendidikan membuat banyak anak bumiputra yang bisa mengakses ilmu-ilmu yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh anak-anak Eropa.

Para tokoh pergerakan datang dari berbagai latar belakang pendidikan. Namun, dengan imaji nasionalisme yang berkembang di abad 20, mereka mencoba menyatukan pemikiran dan ide dari berbagai latar belakang itu menjadi satu. Sepakbola, lewat PSSI, adalah satu dari sekian cara yang ditempuh untuk mengenyahkan kolonialisme.

Para pengurus awal PSSI bukanlah orang yang seratus persen punya latar belakang sepakbola. Soeratin Sosrosoegondo, misalnya, sebagai ketua pertama PSSI. Soeratin adalah insinyur sipil dari Sekolah Teknik Tinggi Heckelenburg, Jerman.

Mereka lahir dari sekolah-sekolah yang bidangnya cukup jauh dari sepakbola. Dalam level ini, kita bisa menyebut kalau awalnya, Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (nama awal PSSI), adalah para amatiran.

Para “amatiran” ini menggelar kompetisi dengan meniru kompetisi yang sebelumnya sudah diadakan oleh orang-orang Eropa.

Komentar