Naming Rights Stadium: Ketika Nama Stadion Bisa Dijual

Cerita

by redaksi

Naming Rights Stadium: Ketika Nama Stadion Bisa Dijual

Persita Tangerang menjalin kerja sama dengan Indomilk terkait sponsorship hak penamaan stadion. Jenama yang bergerak dalam produksi minuman itu akan dipakai menjadi nama stadion milik Laskar Cisadane.

Hal ini bisa dibilang baru dalam sepakbola Indonesia. Di luar negeri, khususnya di Amerika dan benua Eropa, menjual hak penamaan stadion sudah jamak.

Keuntungan dari menjual hak nama stadion sangat menggiurkan. Arsenal, misalnya. Sejak 2004, mereka menjual hak nama stadion pada maskapai penerbangan Emirates. Arsenal membutuhkan uang untuk mengembalikan modal pembangunan stadion yang membutuhkan banyak dana.

Arsenal mendapat gelontoran dana segar sebanyak 100 juta Euro. Nama Emirates Stadium masih akan digunakan hingga 2028.

Di Inggris, tren penjualan hak nama stadion dimulai pada dekade 2000, ketika enam lapangan indoor dan delapan lapangan sepakbola di-branding oleh sponsor yang bukan perusahaan olah raga.

Dalam kasus yang hampir serupa, Barcelona akhirnya harus berkompromi dengan realita. Mereka harus menjual penamaan stadion Camp Nou kepada Spotify. Itu adalah konsekuensi logis untuk mengatasi krisis keuangan tim Catalan. Nama Spotify Camp Nou akan dipakai mulai musim ini, dan tiap tahun Barcelona akan mendapat gelontoran 70 juta euro tiap tahunnya.

Baca juga: Pada Sebuah Tempat Bernama Stadion

Nama besar Barcelona menjadi daya tarik Spotify. Perusahaan streaming asal Amerika itu ingin membangun platform yang menjadi jembatan antara penggemar musik dan suporter sepakbola.

Di Spanyol, menjual hak nama stadion juga dilakukan oleh Atletico Madrid. Setelah kontrak kerja sama dengan Wanda Group berakhir, sejak Juli 2022 mereka menjalin kerja sama dengan perusahaan real estate Civitas Pacensis. Civitas Metropolitano akan menjadi nama kandang Atletico lima tahun mendatang, dengan gelontoran dana sebesar 50 juta euro.

Sementara itu, di Jerman, tren menjual hak penamaan stadion dimulai sejak 1997. Furth (saat ini berlaga di Bundesliga 2), menjalin kerja sama dengan perusahaan mainan Playmobil. Stadion mereka, Sportpark Ronhof, berganti menjadi Playmobil Stadion.

Tren itu semakin berkembang di abad baru, di sisi lain, Jerman akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Jerman membangun stadion-stadion mereka dengan desain baru.

Berdasarkan penelitian yang disusun oleh Jani Vuolteenaho (University of Turku), Mathias Wolny (Heidelberg University), dan Guy Puzey (University of Edinburg), dalam kurun waktu 2000-2009, Jerman menjadi negara paling banyak yang menjual hak penamaan stadion mereka.

Menjadi tuan rumah Piala Dunia memang menjadi salah satu faktor masifnya gelontoran dana sponsor pada klub. Selain itu, Federasi Sepakbola Jerman (DFB), juga menerapkan peraturan ketat, yang membuat tim-tim tak mengeluarkan dana yang berlebihan dan mengoptimalkan potensi pemasukan.

Namun demikian, tidak mudah untuk mengganti atau mengubah nama stadion dengan nama sponsor. Hal ini terjadi karena penolakan dari suporter, seperti yang dilakukan oleh suporter Newcastle United pada 2009 yang memprotes keras rencana penggantian nama Stadion St Jame`s Park.

Kepentingan pemasukan tim dan filosofi nama stadion bisa saja ditoleransi. Di Jerman, pendukung Borussia Dortmund lebih mengenang nama Westfalenstadion daripada Signal Iduna Park. Pendukung Schalke 04 lebih dekat secara emosional dengan nama Arena AufSchalke dibanding Veltins Arena.

Hak Penamaan di Negeri Paman Sam

Di Amerika, pada paruh pertama abad 20, hampir semua fasilitas olah raga yang dibangun digunakan untuk bisbol dan hoki. Tim-tim American Football saat itu masih menyewa stadion milik tim-tim bisbol, sebagaimana kompetisi National Basketball Association (NBA) yang bergulir pada 1946.

Stadion-stadion bisbol yang dibangun saat itu kebanyakan menggunakan nama orang yang mendanai tim dan mereka pada akhirnya membangun stadion, seperti Comiskey Park, Ebbets Field, dan Shibe Park.

Eva Marikova Leeds, Michael A. Leeds, dan Irina Pistolet, dalam penelitiannya yang berjudul A Stadium by Any Other Name: The Value of Naming Right, menyebut bahwa pada 1960-an, pengeluaran kota-kota di Amerika untuk membangun infrastruktur olahraga sudah cukup berat. Dengan kondisi semacam itu, dibangunlah arena-arena olahraga yang bisa digunakan untuk banyak cabang sekaligus.

Nama-nama arena yang dibangun umumnya mencerminkan kekhasan atau berkaitan dengan identitas daerah itu, seperti Atalanta dengan Stadion Fulton County, di Pittsburgh dengan Stadion Three Rivers, dan di Philadelphia dengan Veterans Stadium.

Hak penamaan stadion dibeli pertama kali di Amerika pada 1973. Buffalo Bills, tim American Football, menjual nama stadion barunya kepada Rich Foods, Inc. Pada dekade 90-an, penjualan hak nama stadion semakin masif.

Baca juga: Politik Penamaan Stadion

Keuntungan penjualan hak nama stadion tidak sekadar penggunaan nama sponsor untuk nama stadion. Tim American Football lain, Philadelphia Eagles, selain mendapat 139,6 juta dolar selama 20 tahun, mereka juga mendapat fasilitas komersial pada siaran, kios informasi di stadion, dan apartemen dari Lincoln Financial.

Baru-baru ini, Staples Center, arena kebanggan tim basket Lakers dan Clippers, berganti nama menjadi Crypto.com Arena. Tak tanggung-tanggung, nama itu akan dipakai selama dua puluh tahun, dengan gelontoran dana sebesar 700 juta dolar Amerika.

Tren menjual hak nama stadion di Amerika akhir-akhir ini semakin marak. Di liga sepakbola Amerika, Major League Soccer (MLS), San Jose Earthquakes telah menjalin kerja sama dengan perusahaan PayPal. Tim St Louis City pun menjalin kerja sama dengan perusahaan kesehatan Centene Corporation, dengan nilai 461 juta dolar AS dalam kurun waktu 15 tahun.

Kerja sama semacam itu menguntungkan bagi kedua belah pihak. Saat ini, stadion tak hanya digunakan untuk penyelenggaraan pertandingan semata. Konser musik jamak digelar di stadion-stadion. Ini menjadi bagian investasi dari pihak yang disponsori maupun yang disponsori.

Lalu bagaimana dengan peluang menjual hak penamaan di Indonesia?

Baca juga: Efek Semu Pergantian Nama Istora Senayan

Meskipun bekerja sama dengan Indomilk dalam hak penamaan stadion, Persita Tangerang sejatinya belum memiliki stadion sendiri. Hak kepemilikan Indomilk Arena, yang sebelumnya bernama Stadion Benteng, adalah milik Pemerintah Kabupaten Tangerang. Tim-tim di Indonesia harus mulai memikirkan untuk membangun stadion sendiri, dan apabila nantinya hak penamaannya dijual ke perusahaan tertentu, akan lebih memaksimalkan pemasukan.

Komentar