Sepakbola, Bahan Bakar dari Revolusi Rojava di Suriah

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola, Bahan Bakar dari Revolusi Rojava di Suriah

Oleh: Mochamad Naufal Rizky

Sepakbola, mesti kita akui, banyak bersinggungan dengan konflik dan kekacauan. Konflik-konflik yang dilahirkannya bisa berbalut macam sentimen, sebut saja agama, politik, identitas dan lain-lain. Sebut saja perseteruan abadi antara Rangers dan Celtic yang membelah kota Glasgow di Skotlandia.

Perseteruan itu berbalut agama karena sering dianggap mewakili perseteruan orang Protestan (Rangers) dan orang Katolik (Celtic). Atau, konflik kelompok suporter berbalut politik sayap kiri dan kanan di Italia, seperti pada perseteruan pendukung Livorno (kiri) dan Lazio (kanan). Konflik memang seolah menjadi bagian integral dari sepakbola.

Dalam banyak kasus, konflik yang diciptakan sepakbola tidak semata-mata terjadi karena sentimen yang dangkal – seperti fanatisme buta – melainkan memang didasari pada hal-hal yang sifatnya radikal. Dalam tingkatan paling ekstrem, sepakbola menjadi arena kontestasi kekuatan politik, peperangan, pemberontakan bahkan revolusi.

Hal itu pernah terjadi di Suriah, tepatnya di Kota Qamishli. Pada tahun 2004, terjadi sebuah kerusuhan yang berawal dari pertandingan sepakbola antara Al-Jihad, klub lokal orang-orang Kurdi, dan Al-Fotuwa SC dari kota Dir-al-Zur yang notabene merupakan klub orang Arab. Kerusuhan dibumbui sentimen etnis dan politis antara Kurdi dan Arab yang memang memiliki sejarah konflik yang panjang. Kerusuhan itu nantinya menimbulkan gelombang protes dan pemberontakan besar-besaran oleh orang Kurdi terhadap pemerintah Suriah yang disebut dengan Revolusi Rojava.

Konflik Arab dan Kurdi

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai kerusuhan yang meletus pada pertandingan itu, kita mesti mengetahui sedikit konteks sejarah dan politik orang Kurdi di Timur Tengah, terutama Suriah.

Orang Kurdi memiliki episode sejarah yang kelam. Mereka dikenal sebagai kelompok etnik di Timur Tengah yang dimarjinalkan. Mereka tersebar di berbagai wilayah negara seperti Irak, Iran, Suriah dan Turki, tapi di keempat negara itu orang Kurdi sama-sama ‘tidak diakui’. Mereka sering kali mendapatkan diskriminasi dan penindasan dari negara-negara itu, bahkan orang Kurdi dianggap sebagai bukan bagian dari warga negara yang sah.

Misalnya, orang Kurdi di Suriah pada tahun 1962 yang sebelumnya memiliki kartu kewarganegaraan, dirampas secara sewenang-wenang oleh negara. Mereka kemudian dilabeli sebagai ajanib atau orang asing. Efeknya, orang Kurdi di Suriah tidak mendapatkan fasilitas dan pemenuhan hak dasar dari negara seperti kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan.

Dalam kacamata negara, mereka dianggap tidak ada. Tanah dan properti yang sebelumnya mereka miliki dianggap menjadi tidak sah. Pemerintah kemudian memberikan tanah dan properti itu kepada orang Arab atau penduduk Suriah yang non-Kurdi.

Sejak kemerdekaannya, ideologi dan kebudayaan Arab memang mendominasi pemerintahan Suriah. Pemerintah Suriah seolah tidak ingin mengakui kebudayaan dan keberadaan orang Kurdi. Bahkan, pada dekade 70an pemerintah Suriah gencar melakukan ‘Arabisasi’. Mereka menyebarkan penduduk beretnis Arab di area-area yang sebelumnya dihuni oleh orang Kurdi. Mereka juga mengambil alih – atau mungkin perampasan – lahan dari para petani Kurdi yang diganti dengan membangun kompleks bangunan bagi orang Arab.

Orang Kurdi tidak tinggal diam, mereka justru seringkali menampilkan ciri khas budaya mereka dan meminta pengakuan akan perbedaan kebudayaan itu. Dalam beberapa kesempatan, orang Kurdi juga terlibat dalam aksi protes terhadap pemerintahan Suriah yang ‘terlampau Arab’.

Pertandingan Sepakbola dan Kerusuhan Qamishli

Kebijakan pemerintah Suriah yang diskriminatif itu pada akhirnya menimbulkan banyak gesekan horizontal antara orang Kurdi dan Arab. Permusuhan di antara kelompok minoritas Kurdi dengan mayoritas Arab itu terpupuk sejak lama. Kemarahan orang Kurdi yang merasa tertindas seakan seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Secara mengejutkan ternyata percikan api pemicu itu muncul lewat sebuah pertandingan sepakbola yang berlangsung di Kota Qamishli. Kota Qamishli sendiri adalah area dengan populasi Kurdi paling banyak di Suriah. Qamishli menjadi semacam pusat pemupukan semangat perjuangan dan perlawanan orang-orang Kurdi (Romer, 2007).

Pertandingan itu terjadi pada tanggal 4 Maret 2004, saat itu Al-Jihad, klub orang-orang Kurdi, menjamu tim tamu, Al-Fotuwa SC yang merupakan klub Arab. Dalam banyak laporan, tensi telah panas, bahkan saat pertandingan sebelum dimulai. Kedua kelompok suporter sudah saling melempar ejekan dan cacian. Ejekan itu tak lepas dari sentimen identitas dan politis antara dua kelompok suporter.

Tensi semakin memanas ketika para suporter Al-Fotuwa SC melakukan hinaan terhadap para pemimpin atau politisi Kurdi, seperti Massoud Barzani. Mereka juga memamerkan foto Saddam Husein di jalanan kota Qamishli. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghinaan terhadap orang Kurdi karena pada akhir dekade 80-an Saddam Husein pernah melakukan pembantaian terhadap etnis Kurdi di Irak.

Tentu saja hal itu menyulut kemarahan orang Kurdi. Selain mengibarkan bendera dan simbol kebudayaan Kurdi, suporter dari Al-Jihad mulai melakukan pembalasan. Suporter Al-Jihad meneriakkan chants yang mengelukan George Bush. Mereka menyerang dengan itu karena pada tahun 2003, Amerika Serikat di bawah Presiden George Bush menginvasi Irak dan kemudian menjatuhkan Saddam Husein. Jatuhnya Saddam Husein juga memberikan jalan angin segara pada tuntutan otonomi orang Kurdi di Irak.

Akibat dari saling balas ejekan dan cacian itu, konflik fisik menjadi tak terelakkan. Suporter Al-Fotuwa SC mulai melakukan serangan terhadap orang Kurdi dengan berbagai senjata. Orang Kurdi tentu membalas dan akhirnya dalam sekejap kerusuhan meletus di Kota Qamishli. Pada hari itu, Aljazeera melaporkan bahwa setidaknya ada 6 orang tewas, sialnya keenam orang itu adalah Kurdi. Mereka semakin marah dan kerusuhan berlanjut.

Pemerintah dengan segera menurunkan aparat keamanan, namun sayang hal itu semakin memperkeruh keadaan karena aparat keamanan banyak menyasar orang Kurdi. Kemarahan orang Kurdi semakin meledak-ledak, dan mereka ramai-ramai turun ke jalan.

Kerusuhan yang diciptakan oleh pertandingan sepakbola itu bergerak semakin jauh. Kerusuhan itu menjadi alat pemersatu orang Kurdi dengan melawan pemerintah Suriah yang dianggap diskriminatif. Konflik suporter itu kemudian berubah menjadi arena pemberontakan dan pembangkangan orang Kurdi terhadap pemerintah Suriah. Dalam dua hari setelah konflik suporter itu, segera kerusuhan dan perlawanan meluas di kota-kota lain. Ini menjadi semacam momen solidaritas dan perjuangan orang-orang Kurdi.

Puncak kerusuhan terjadi ketika orang Kurdi di kota Qamishli merobohkan patung mantan Presiden Suriah Hafez al-Asaad dan membakar kantor Partai Baath. Pemerintah segera merespons dengan mengirim pasukan polisi dan militer. Orang-orang Kurdi berhasil ditekan dan aparat berhasil mengambil alih kota. Setidaknya 30 orang Kurdi tewas dalam kerusuhan itu. (Brandon, 2007)

Kejadian Setelah Kerusuhan

Pasca konflik suporter dan kerusuhan Qamishli, orang Kurdi banyak yang mengungsi ke Irak melalui bantuan PBB (Edich, 2011). Tetapi, perlawanan orang Kurdi di Suriah tentu tidak mereda. Mereka tetap mengupayakan dan menuntut otonomi, kebebasan bahkan kemerdekaan. Puncaknya terjadi ketika Suriah mengalami perang sipil pada tahun 2011.

Pada bulan Maret — bulan yang sama dengan kerusuhan 2004 — orang Kurdi kembali turun ke jalan di kota Qamishli. Mereka memperingati kematian para ‘martir’ dalam kerusuhan pertandingan sepakbola 2004, sekaligus melakukan protes terhadap pemerintah Suriah. Di tengah kondisi perang sipil, pemerintah Suriah menjadi kewalahan.

Akhir tahun 2011, orang Kurdi mulai mengorganisir dirinya dengan melakukan pemberontakan bersenjata untuk merebut kendali beberapa kota di Suriah yang mayoritasnya dihuni orang Kurdi. Usaha-usaha pembebasan dan pemberontakan terus berlanjut selama berbulan-bulan, hingga setidaknya orang Kurdi berhasil memerdekakan dirinya di Qamishli, Efrin, Amude dan Kobane.

Mereka kemudian mendeklarasikan bahwa kota-kota yang mereka rebut telah sepenuhnya otonom, merdeka, dan terpisah dari pemerintahan Suriah. Orang Kurdi kemudian melancarkan usaha revolusi dengan membentuk pemerintahan rakyat yang disebut dengan Komune Internasional Rojava.

Sepakbola dan Revolusi Rojava

Hingga saat ini, orang-orang Kurdi di Rojava masih mempertahankan upaya-upaya revolusionernya dalam segala bidang: kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi. Jika kita membaca sejarah revolusi Rojava, atau perjuangan pembebasan orang Kurdi pada umumnya, maka kita akan selalu menemukan episode yang meletakkan pertandingan sepakbola di Qamishli pada tahun 2004 sebagai peristiwa penting bagi orang Kurdi. Sepakbola menjadi bahan bakar yang meletuskan gelombang revolusi paling awal.

Pertandingan itu telah dan akan selalu menjadi episode penting dalam usaha orang Kurdi untuk memerdekakan dirinya. Sampai sekarang, setiap bulan Maret, orang Kurdi masih memperingati pertandingan itu dan hari-hari kerusuhan yang mengikutinya. Secara tidak langsung, sepakbola telah menjadi salah satu elemen yang meletuskan revolusi di Rojava.

Kerusuhan Qamishli, dan perjuangan orang Kurdi setelahnya menunjukkan kepada kita bahwa sepakbola memang dapat bersifat politis. Sepakbola selalu dapat menjadi arena adu kepentingan, dengan begitu konflik menjadi sangat lekat.

Gilchrist dan Holden (2011) dalam artikel berjudul ‘Introduction: The Politics of Sport – Community,Mobility, Identity’, mengatakan bahwa sepakbola — atau olahraga pada umumnya — sebagai salah satu elemen dari kebudayaan, dapat menjadi arena pertunjukkan gagasan-gagasan yang ada di masyarakat, tetapi selain itu, sepakbola juga dapat menjadi arena pertunjukkan politik, konflik dan perjuangan. Itulah pelajaran yang dapat kita lihat dari kerusuhan pertandingan sepakbola di Qamishli dan Revolusi Rojava.

Referensi:

- Roemer, M. 2007. The Kurds of Syria: An Insecure Stone in the Syrian Mosaic.

(https://en.qantara.de/content/the-kurds-of-syria-an-insecure-stone-in-the-syrian-mosaic) Diakses pada 26 Oktober 2020

- Brandon, J.. 2007. The PKK and Syria`s Kurds. USA: Terrorism Monitor, The Jamestown Foundation. p. Volume 5, Issue 3. Archived from the original on September 17, 2008

- Erlich, R. 2011. Syrian Kurds have long memories. Pulitzer Center on Crisis Reporting,

(https://pulitzercenter.org/reporting/syria-kurds-moqebleh-refugee-camp-oppose-assad-regime) Diakses pada 26 Oktober 2020

- Gilchrist, P. & Holden, R. ‘Introduction: The Politics of Sport – Community,Mobility, Identity’. Sport in Society 14, no. 2 (2011): 151–9.

*Penulis merupakan seorang mahasiswa, dapat ditemui melalui Twitter @ultracheezee

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar