Lampard Bertaruh, Cobham Membayar

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Lampard Bertaruh, Cobham Membayar

Pertanyaan besar menyelimuti Chelsea menyongsong musim 2019/20. Kecemasan tumbuh subur pasca pembantaian di Old Trafford dan kegagalan menyakitkan dalam Final Piala Super Eropa. Jawabannya, ternyata, ada di Cobham.

Hasil pertandingan adalah segalanya dalam sepakbola. Keberhasilan pekerjaan ditentukan oleh angka di papan skor. Takluk 0-4 dari Manchester United dalam laga pembuka Premier League, disusul kekalahan dari Liverpool lewat babak adu penalti, merupakan skenario terburuk bagi awal perjalanan Frank Lampard sebagai manajer Chelsea.

Lampard, sejatinya, telah sadar dan siap dengan kemungkinan tersebut. Diragukan publik bukanlah pengalaman baru. Ketika mengendarai mobil dalam perjalanan pulang ke rumah sekitar 18 tahun lalu, Ia mendengar langsung orang-orang mempertanyakan harga 11 juta Poundsterling yang dikeluarkan Chelsea untuk menebusnya dari West Ham United melalui siaran radio.

Tidak ada hal lain yang dapat dilakukan Lampard selain kerja, kerja, dan kerja. Kita semua sama-sama tahu hasilnya: Ia menjadi top skorer sepanjang masa klub yang menyumbangkan pelbagai trofi prestisius, termasuk menjadikan Chelsea sebagai kesebelasan London pertama yang merengkuh Liga Champions. Atas jerih payahnya, `Super Frankie Lampard` abadi di Shed End.

Selalu ada romantisme ketika seorang legenda pulang ke mantan klubnya sebagai manajer. Publik Stamford Bridge pun merasakan hal yang sama. Namun, Lampard enggan terlena. Segala pencapaian sebagai pesepakbola adalah masa lalu. Kini, penilaian terhadapnya hanya berdasarkan hasil pertandingan dari pekan ke pekan yang akan datang.

"Saya adalah seorang realis. Saya memahami hal yang diinginkan oleh klub dari saya," ucap pria berusia 41 tahun tersebut ketika diresmikan sebagai pengganti Maurizio Sarri pada awal Juli kepada Guardian.

Harapan yang ada di pundak Lampard cukup jelas: mengembalikan keseimbangan internal Chelsea yang dihantam kontroversi demi kontroversi ketika dinahkodai Sarri, serta memastikan skuat mereka tetap kompetitif meski terkena hukuman larangan transfer.

Pekerjaan rumah tambahannya adalah mengatasi kepergian Eden Hazard yang mewujudkan mimpinya sejak lama bergabung dengan Real Madrid. Bek berpengalaman David Luiz juga hengkang - ke klub rival, Arsenal - pada hari penutupan bursa transfer.

Sulit? Jelas. Tapi, Lampard tidak bodoh. Ia mengambil pekerjaan ini bukan demi fantasi mereplika keanggunan, misalnya kisah Barcelona dan Pep Guardiola, semata.

"Diskusi saya dengan Marina berjalan sesuai dengan yang saya harapkan. Kami ingin kompetitif; ya, kami ingin memainkan pemain-pemain muda, walaupun itu adalah hal yang akan tetap saya lakukan (terlepas dari hukuman transfer); dan, kami ingin menang," tutur dirinya.

Boleh jadi, banyak yang menganggap Lampard kelewat nekad. Ia baru menjalani karier sebagai manajer selama satu tahun, bagaimana mungkin bisa mengurus dan mengandalkan pemain muda di level tertinggi arena sepakbola?

Lampard sadar ini adalah pertaruhan berbahaya. Namun, Ia layak percaya diri karena ini merupakan pertaruhan yang dijalankan dengan persiapan matang.

Chelsea, setidaknya sejak dibeli oleh Roman Abramovich pada 2003, dikenal sebagai klub instan. Mereka adalah klub paling royal di era Premier League. Dari total pengeluaran sebesar 1,94 miliar Paun, sebanyak 1,77 miliar Paun digelontorkan di era kepemimpinan Abramovich.

Dampaknya, para pemain muda di akademi jarang mendapatkan kesempatan bermain di tim senior. Padahal, banyak dari mereka yang sebenarnya pantas diperhitungkan. Tujuh trofi FA Youth Cup (2010, 2012, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018), dua Liga Champions U-19 (2014/15, 2015/16), dan satu Premier League U-21 (2013/14) adalah bukti sahih.

"Kami pernah memiliki banyak manajer di Chelsea, yang ketika ada pertandingan Liga Champions U-19 berlangsung dengan jarak tak sampai 50 meter, lebih memilih duduk di dalam ruang kantornya ketimbang keluar menyaksikan," ujar mantan pelatih tim muda Chelsea, Jody Moris, yang kini bekerja sebagai asisten Lampard kepada Sky Sports.

Lampard memiliki keprihatinan yang sama dengan Moris. Maka, ketika kembali ke Chelsea, misi utamanya adalah memberi para pemain muda kesempatan bermain.

Ini bukan sekadar janji manis. Skuat yang didaftarkan Lampard di Premier League musim ini adalah skuat Chelsea dengan rataan usia termuda (24,9 tahun) sepanjang sejarah.

Bagaimanapun, Lampard sadar tidak bisa serta merta menggadaikan kualitas permainan Chelsea demi para pemain muda. Ada standar yang perlu dijaga. Di sinilah karakter terbaik seorang Lampard bersinar.

Sentuhan sederhana dari Lampard, seperti menyalami para pemain muda, memastikan kenyamanan berlatih bersama tim utama, hingga menghubungi mereka secara personal, menumbuhkan suasana kekeluargaan di seluruh level klub.

Lampard mampu menghadirkan keceriaan dalam sesi latihan. Alih-alih terbebani sorot tajam dan dingin manajer, para pemain muda merasa seperti dibimbing oleh kakak senior. Akhirnya, penerimaan yang dirasakan membuat mereka mampu mengeluarkan potensi maksimal di atas lapangan.

Lihatlah, betapa berbahayanya pasukan muda Chelsea dalam laga melawan Wolverhampton Wanderers di Stadion Molineux pada pekan ke-5 Premier League. Gol pemecah kebuntuan sensasional dari Fikayo Tomori, hat-trick Tammy Abraham, serta gol penutup Mason Mount jadi bukti; perlahan, kepercayaan itu mulai terbayarkan.

Cuplikan pertandingan Chelsea di Liga Primer Inggris dapat disaksikan pada tautan berikut ini (Highlights).

Melihat sejarah panjang Chelsea dengan uang, pantaslah jika mengatakan bahwa pendekatan Lampard terhadap para pemain muda klub sebagai sesuatu yang revolusioner. Minimal ada tiga jebolan akademi klub dalam susunan sebelas pertama di setiap pertandingan Premier League sejauh ini.

Total 11 gol yang dicetak Abraham, Mount, dan Tomori telah memecahkan rekor gol pemain lulusan akademi bagi tim senior Chelsea (enam pada 2018/19, semuanya dicetak Ruben Loftus-Cheek) dalam satu musim Premier League, terhitung sejak Abramovich mengucurkan dana. Bahkan, dalam 16 musim sebelumnya, hanya ada tiga jebolan Cobham yang mampu mencetak gol: Loftus-Cheek, John Terry, dan Bertrand Traore.

"Kami (Abraham, Tomori, dan Mount) menjadi yang terakhir di lapangan karena membicarakan tentang kami semua mencetak gol dalam laga yang sama bagi Chelsea. Kami telah memimpikan hal itu sejak kami masih kecil," kata Abraham seusai laga.

Ini baru pertengahan September, tetapi akumulasi menit bermain para pemain Inggris berusia di bawah 22 tahun bagi Chelsea sudah menyentuh yang terbanyak kedua (960 menit) sepanjang era Abramovich. Padahal, masih banyak nama lain yang belum tampil, sebut saja misalnya Callum Hudson-Odoi, Reece James, Marc Guehi, dan Ian Maatsen.

Tentu, masih ada banyak hal yang harus dibuktikan Lampard sebelum dikatakan sukses sebagai manajer Chelsea. Tantangan tersebut tak hanya berlaku di Premier League, melainkan juga di Liga Champions. Bagaimanapun, kehadirannya dalam kurun waktu singkat ini telah memberikan pengharapan baru bagi penghuni Cobham, serta masa depan klub.

Komentar