Menantikan Kepak Sayap Shqiponja di Piala Eropa

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Menantikan Kepak Sayap Shqiponja di Piala Eropa

Sekitar 2000 kilometer dari Kaliningard, masyarakat tumpah ruah di pusat kota dan kembang api menghiasi langit Pristina. Penyebabnya adalah gol Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka ke gawang Serbia pada Piala Dunia 2018.

Cukup aneh, memang. Warga Kosovo merayakan kemenangan Swiss. Padahal, hasil pertandingan tidak memengaruhi nasib tim nasional Kosovo. Mereka gagal lolos ke putaran final yang digelar di Rusia tersebut - menjadi juru kunci grup di babak kualifikasi dengan jumlah kemasukkan 24 gol dan hanya mencetak tiga gol. Namun, hal ini menjadi masuk akal mengingat sejarah Kosovo.

Perjuangan Republik Kosovo menuju kemerdekaan - dideklarasikan pada 2008 - adalah sebuah perjalanan panjang nan melelahkan. Berawal dari konflik antara Kekaisaran Ottoman dan warga Balkan pada 1389, memuncak pada runtuhnya Yugoslavia menjelang akhir 1990an.

Shaqiri dan Xhaka merupakan bagian dari keluarga korban perang. Sekitar 1,5 juta warga etnis Albania melarikan diri dari Yugoslavia untuk menghindari genosida yang dilakukan ultranasionalis Serbia.

Maka, ketika Shaqiri dan Xhaka mengembangkan sayap Shqiponja (Elang, dalam bahasa Albania), kemenangan mereka mewakili kemenangan warga Kosovo. Seandainya Kosovo merdeka dan diakui lebih cepat, mungkin mereka akan bermain dengan seragam biru.

Kosovo diterima menjadi bagian anggota UEFA dan FIFA pada Mei 2016. Bersama Gibraltar, mereka adalah anggota termuda dalam sepakbola internasional. Meski harus menunggu lama, penantian ini tetaplah memahagiakan. Sebuah pencapaian yang mungkin tidak terbayangkan 14 tahun sebelumnya.

Kosovo memainkan pertandingan pertamanya sebagai sebuah tim nasional melawan Albania pada 2002. Meski non-resmi, ada sebuah kebanggaan dan kebahagiaan yang tak akan pernah lekang oleh zaman.

"Saya masih emosional ketika membicarakannya. Stadion penuh dan ceria pada hari itu. Saya masih ingat wajah para penonton, bahagia dan mengharukan. Di ruang ganti, terdapat perasaan bergelora di antara para pemain. Kami tahu itu adalah sebuah momen historis," ucap Bekim Isufi seperti yang ditulis The Athletic.

Isufi, yang sekarang bekerja sebagai pelatih bagi tim divisi utama Liga Kosovo KF Ferizaj, tahu betul bagaimana beratnya perjuangan sepakbola negara mereka. Perkembangan stagnan selama bertahun-tahun, bahkan setelah merdeka.

Jika ada sosok yang krusial atas kemajuan sepakbola Kosovo sekarang, maka itu adalah presiden pertama Federasi Sepakbola Kosovo (FFK), Fadil Vokrri. Ia membangun sepakbola Kosovo dari nol. Kantor pertamanya adalah sebuah apartemen dengan dua kamar di Pristina; berisi dua meja dan dua komputer.

Atas kerja keras Vokrri, yang meninggal dunia akibat serangan jantung pada Juni 2018, akhirnya Kosovo diakui sebagai bagian dari UEFA dan FIFA. Namanya pun kini diabadikan sebagai nama stadion nasional.

Perjuangan Kosovo bukan hanya tentang infrastruktur. Fakta bahwa banyak warga etnis Albania mengungsi ke penjuru Eropa membuat mereka kesulitan mencari pemain di masa-masa awal. Seperti Shaqiri dan Xhaka, kebanyakan telah membela timnas lain.

Salah satu pemain yang memutuskan (dan masih bisa) membela Kosovo adalah penyerang Elba Rashani. Ia mencetak gol kemenangan dalam Kualifikasi Piala Eropa 2020 melawan Bulgaria Juni lalu.

"Setiap gol kami cetak untuk tim nasional adalah spesial, tetapi itu merupakan sebuah momen membanggakan bagi saya dan seluruh negeri," tutur Rashani.

Pria berusia 26 tahun tersebut sebenarnya bisa saja membela Norwegia, tempat orang tuanya mengungsi dan melahirkannya. Namun, ajakan mantan pelatih Albert Bunjaki membuatnya memilih Kosovo.

Bunjaki, yang menangani tim nasional dari 2009 hingga 2017, memang punya peranan penting dalam mengumpulkan pesepakbola berdarah Kosovo. Selain Rashani, masih ada playmaker muda Werder Bremen, Milot Rashica.

"Saya pikir kita harus memberikan kredit besar kepada Bunjaki. Ia selalu berkeliling Eropa, bertemu dengan para pemain. Ia bercerita kepada mereka tentang rencananya, cara Ia ingin membangun projek ini," kata Rashani. "Ia mendekati saya ketika saya masih bermain di Denmark, dan membuat saya tertarik. Ia adalah yang mengumpulkan skuat ini pertama kali."

Dari tangan Bunjaki, tampuk kepemimpinan pelatih jatuh ke Bernard Challandes. Sejak diasuhnya, Kosovo menampilkan performa apik. Mereka tak terkalahkan dalam 15 pertandingan, sebelum akhirnya takluk dari Inggris dengan skor 3-5 di Stadion St. Mary pada 11 Agustus 2019.

Saat ini, Kosovo menempati peringkat ketiga Grup A Kualifikasi Piala Eropa 2020. Lolos ke turnamen besar pertama sepanjang sejarah bukanlah mimpi. Finis di peringkat kedua adalah target yang realistis. Seandainya gagal, mereka juga masih punya kesempatan melalui jalur play-off berkat penampilan impresif di UEFA Nations League.

"Saya mencoba untuk tidak memikirkannya, tetapi kami sudah sangat dekat. Jadi, kami bisa merasakannya. Kami mampu menciptakan sejarah. Saya bangga menjadi bagian dari hal besar seperti ini," ucap Rashani.

Bagi para pemain Kosovo, dorongan dan motivasi lolos ke Piala Eropa tentu bukan hanya soal menendang bola. Ini juga tentang perjuangan sebuah bangsa, tentang menghormati pengorbanan dan penderitaan yang dirasakan oleh generasi terdahulu.

Mereka bertekad mengembangkan sayap Shqiponja - yang melambangkan persatuan dan kesatuan warga Albania - selebar mungkin hingga dilihat seluruh dunia.

Komentar