Pele adalah Produk Hoaks Terstruktur, Sistematis, dan Masif? Ini Faktanya!

Backpass

by Evans Simon 25591

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Pele adalah Produk Hoaks Terstruktur, Sistematis, dan Masif? Ini Faktanya!

Apakah Anda percaya Pelé adalah salah satu produk hoax terbaik sepanjang masa? Sutradara Johan Löfstedt, melalui film Konspiration 58, yang dirilis pada 29 Mei 2002, dapat membuat Anda berpikir demikian.

Ini bukan tentang betapa anggunnya Pelé mengolah si kulit bundar. Pelé tetaplah Pelé yang "punya kemampuan menendang, fisik, mengontrol bola, mendikte permainan, melakukan manuver, tidak egois". Begitu mantan pelatihnya di Santos, Lula, mendeskripsikan. Dalam satu kata: lengkap.

Pelé, seberapa seringpun coba dibandingkan dengan Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, tetaplah pesepakbola brilian. Oleh sebab tiga gol yang dia cetak kala melawan Benfica dalam Final Piala Interkontinental 1962, pemerintah Brasil menetapkan keesokan harinya sebagai libur nasional.

O Rei. Sang Raja. Begitu makna Pelé di mata rakyat Brasil. Maka, tepatlah jika kepalanya dilingkari mahkota setelah membawa Seleção juara Piala Dunia 1970 di Meksiko.

Pelé kecil mungkin tidak pernah menyangka akan dinobatkan sebagai `raja` oleh warga Brasil. Dia hanyalah seorang anak muda yang lebih gemar bermain sepakbola ketimbang belajar di sekolah. Kebetulan, ayahnya adalah mantan pemain semi-pro.

Pelé lahir di bawah garis kemiskinan. Dia bahkan sering menggunakan gulungan kaus kaki untuk `bermain sepakbola`. Hanya karena keluarganya pindah dari kota kecil Três Corações, Minas Gerais ke Bauru, São Paulo lah bakatnya tercium oleh Waldemar de Brito.

Mantan anggota Tim Nasional Brasil pada Piala Dunia 1938 itu tengah melatih kesebelasan lokal, AC Bauru, kala melihat keajaiban bernama Pelé. Dia pun memutuskan membawanya bergabung dengan Santos pada 1956.

Dua tahun pertamanya bersama Santos sudah cukup membuat Pelé jadi pembicaraan nasional. Dia menjadi top skor liga pada 1957. Pencapaian tersebut kembali diulangi di musim berikutnya, bahkan disempurnakan dengan titel juara. Performa yang diganjar hadiah berupa tiket ke Piala Dunia 1958 bersama tim nasional.

Bagi warga Brasil, keputusan pelatih Vicente Feola membawa Pelé, yang baru berusia 17 tahun, ke Swedia tentu bukan keputusan aneh. Tetapi tidak demikian menurut dunia. Informasi seputar dunia sepakbola internasional masih sangat terbatas.

"Pelé adalah [hal] baru, tidak ada perspektif tentang olahraga dunia [ketika itu]," ucap penulis Peter Stead seperti yang dikutip BBC.

Stead tidak berlebihan. Ingat: yang pertama selalu berkesan.

Piala Dunia Pertama yang Disiarkan ke Seluruh Dunia

Piala Dunia 1958 adalah Piala Dunia pertama yang yang disiarkan ke seluruh belahan bumi. Meski siaran langsung baru bisa dinikmati oleh penduduk Eropa, tetapi inilah kali pertama manusia di berbagai tempat bisa menjadi saksi mata para bintang lapangan hijau. Tidak perlu lagi menunggu ada teman yang memberi informasi dengan embel-embel `informasi A1`.

Semua sama-sama tahu Brasil merengkuh trofi Jules Rimet untuk pertama kalinya, dan Pelé adalah bintangnya. Hat-trick yang dibukukan dalam laga semifinal melawan tim favorit Prancis, serta brace dalam final melawan tuan rumah Swedia menjadikannya talenta emas pertama yang diakui dunia.

Takdir mungkin sedang berbaik hati kepada Pelé. Dia memperkenalkan diri di momen yang tepat: ketika seluruh penjuru dunia menonton, (lagi-lagi) untuk pertama kalinya!

Maka, selain kepada sang ayah, De Brito, dan Feola, Pelé tentu patut berterima kasih kepada televisi. Tanpa teknologi bernama televisi, mungkin kemampuannya hanya sebatas `berita dari grup sebelah`.

Pelé tidak berdiri sendiri. Brasil turut menjadi sensasi. Sebelumnya, belum pernah ada kesebelasan yang menurut The Times mampu "menampilkan sepakbola dalam arti berbeda; mereka menguasai bola putih yang licin seperti gumpalan kapas".

Keajaiban lain: Seleção menjadi negara Benua Amerika pertama yang menjadi juara di luar benuanya. Tidak pernah ada yang menyangka sebuah kesebelasan mampu mengalahkan alam (dalam hal adaptasi).

Mengingat Brasil kembali menjuarai Piala Dunia 1962 (lalu pada 1970, 1994, dan 2002), rasanya wajar jika kemudian mereka dilihat sebagai bangsa `penemu sepakbola`. Bagi dunia, merekalah wujud permainan sepakbola menyerang nan atraktif dan inovatif pertama; sepakbola sebagai hiburan (dan juga seni).

Pertanyaannya, bagaimana kalau ternyata kisah Pelé dan Brasil yang Agung itu adalah sebuah kepalsuan? Bagaimana jika Pelé dan Brasil ternyata tidak pernah seindah yang diyakini dan disaksikan dunia?

Bayangkan: pacar pertama yang terkasih ternyata aktor bayaran yang disewa oleh orang tua Anda karena kasihan Anda kelamaan jomblo. Meski kemudian dia benar-benar sayang, apakah Anda masih mampu mengagumi mereka dengan cara yang sama?

Karena, menurut sejarawan Bror Jacques de Wærn, Piala Dunia 1958 sebenarnya tidak pernah dilaksanakan!

Apakah Piala Dunia 1958 Tidak Pernah Terlaksana?

"Amerika Serikat (AS) perlu mencoba kekuatan televisi dalam memengaruhi masyarakat. Itu adalah bagian dari Perang Dingin yang tengah berkecamuk. Saya menyebutnya sebagai Perlombaan Media," ungkap De Wærn dalam film Konspiration 58.

Pria yang pernah bekerja di Pusat Arsip Swedia itu mengaku menemui banyak kejanggalan melalui bukti ratusan dokumen. Dia menyimpulkan bahwa Piala Dunia 1958 sesungguhnya tidak digelar di Swedia, melainkan sebuah sandiwara yang direkam di AS.

Salah satu bukti kunci yang dipaparkan De Wærn adalah kehadiran sebuah gedung dalam rekaman pertandingan semifinal antara Swedia melawan Jerman Barat di Stadion Ullevi. Gedung tersebut diyakini tidak pernah berdiri di Gothenburg. Alih-alih, gedung itu sebenarnya berada di Los Angeles.

De Wærn melakukan penelitian dengan para ahli fotografi secara intensif. Akhirnya, ditemukan bahwa sepatu yang dikenakan beberapa pemain Brasil mendahului waktu. Sepatu mereka terlalu modern.

Jika ada satu hal yang sulit dibantah, maka itu adalah fenomena alam. De Wærn mengidentifikasi bayangan para pemain tidak selaras dengan matahari ketika musim panas di Swedia. Bayangan itu, menurutnya, adalah hasil dari matahari di pesisir barat Amerika Utara.

Blunder tersebut sejenis dengan pendaratan Neil Amstrong dan Buzz Aldrin di bulan pada 1969. Bagaimana bisa sebuah bendera berkibar tanpa atmosfer?

Hampir seluruh argumen yang disajikan Löfstedt dalam Konspiration 58 tanpa cela. Jika ada satu kekurangan, maka itu karena mereka tidak membahas sejauh apa keterlibatan sutradara Stanley Kubrick dalam koreografi permainan Pelé dan kawan-kawan.

Tentu, Piala Dunia 1958 lebih dari sekadar Pelé dan Brasil. Ada generasi emas Hungaria; The Mighty Magyars. Ada sang Laba-Laba Hitam dari Uni Soviet, Lev Yashin. Ada pula duet maut Perancis, Raymond Kopa dan Just Fontaine.

Bagi warga Swedia sendiri, Piala Dunia 1958 terlalu manis untuk dilupakan. Di turnamen inilah mereka mencatatkan capaian terbaik sepanjang masa dengan menjadi runner-up. Oleh sebab itu, Löfstedt dan para penganut teori konspirasi dihujat habis-habisan oleh masyarakat ketika Konspiration 58 ditayangkan di televisi Swedia pada 29 Mei 2002.

Hoaks Sesungguhnya pada Konspirasi Piala Dunia 1958

Warga Swedia tidak terima kenangan yang manis itu hanyalah mimpi. Post-truth; sebuah situasi di mana ketertarikan emosional dan kepercayaan personal lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang fakta (berdasarkan definisi Kamus Oxford).

Salah satu pentolan komunitas Konspiration 58, Olof Arnell, mendapatkan teror. Tatapannya penuh dengan kecemasan ketika diwawancarai Löfstedt.

"Ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah lelucon. Ini serius. Ada banyak surat, yang diduga berisi bom. Ada banyak telepon masuk. Saya harus meminta polisi berjaga mengawasi rumah saya. Saya diberi tahu bahwa hidup saya tidak akan lama lagi," jelas Arnell. Dia semakin yakin bahwa seluruh gelaran Piala Dunia 1958 adalah kebohongan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Kekecewaan tentu juga menghampiri para pemain Swedia di Piala Dunia 1958. Para `pahlawan nasional` itu merasa baktinya bagi negeri tidak dihargai.

"Mereka mengatakan bahwa Piala Dunia 1958 itu tidak ada. Hal yang dapat saya katakan adalah saya benar-benar mengalaminya, jadi saya tidak bisa memahami (alasan) mereka berkata demikian. Piala Dunia 1958 adalah kenangan sepakbola terbaik dalam hidup saya," kata Kurt Hamrin.

Hamrin adalah salah satu pemain terbaik Swedia sepanjang masa. Dia mencetak satu gol ke gawang Uni Soviet-nya Yashin di babak perempat final. Lalu, dia kembali menyumbangkan gol kala menyingkirkan favorit juara lain, Jerman Barat, di babak semifinal.

Löfstedt memahami kekecewaan masyarakat Swedia, baik yang mengaku menyaksikan Piala Dunia 1958 secara langsung maupun generasi yang lebih muda. Permasalahannya, seiring berjalannya waktu, semakin sedikit pula saksi mata kredibel yang mampu bersaksi atas turnamen tersebut. Hal ini bahkan diakui oleh pencetak gol kedua Swedia di final, Agne Simonsson.

"Dalam waktu dekat, tidak akan ada yang bersumpah bahwa Piala Dunia pernah digelar di sini (Swedia)," ucap Simonsson.

Untungnya, yang hoax bukanlah Piala Dunia 1958, melainkan keseluruhan Konspiration 58 itu sendiri. Pesan itu terselip ketika kredit muncul di pengujung film (dan banyak yang melewatkannya).

Semua berawal ketika Löfstedt dan teman-temannya menyaksikan sebuah program tentang orang-orang yang tidak percaya bahwa Holocaust benar-benar terjadi. Dalam konteks lokal, mungkin sama seperti bantahan terkait pemerkosaan massal dalam Kerusuhan 1998 di Jakarta.

"Kami kesal dan sedikit kecewa. Kami mulai bercanda tentang kebodohan membantah Holocaust," ungkap Löfstedt seperti yang dikutip FourFourTwo. "Kemudian, kami berpikir tentang Piala Dunia 1958. Satu jam setelahnya, kami pun berencana membuat film ini. Sebuah mockumentary."

Mockumentary adalah film atau program televisi yang mengambil bentuk film dokumenter serius untuk menyindir subjeknya.

Pentingnya Bersikap Kritis dan Melihat Fakta

Ide cemerlang Löfstedt tentu tidak dapat tereksekusi jika tidak direncanakan secara matang. Dia mengaku cukup beruntung karena duo bintang Swedia pada Piala Dunia 1958, Hamrin dan Simonsson, bersedia ambil bagian. Bahkan, Presiden UEFA kala itu (yang kebetulan juga berasal dari Swedia), Lennart Johansson, tak ketinggalan tampil.

Melalui Konspiration 58, Löfstedt sukses menyadarkan banyak pihak pentingnya bersikap kritis dan melihat fakta, sekalipun tidak selaras dengan pemikiran pribadi. Hingga kini, Konspiration 58 masih digunakan sebagai pembelajaran bagi anak-anak di sekolah-sekolah Swedia.

Yang menarik, meski Konspiration 58 telah diketahui publik secara luas sebagai hoaks, ternyata masih ada yang tetap yakin bahwa Piala Dunia 1958 adalah palsu. Löfstedt mengaku "sedikit ngeri betapa mudahnya membohongi audiens".

Kami paham, Löfstedt. Kami sungguh paham. Jika boleh saran, seharusnya tumbalkan saja mereka yang sukarela berperan sebagai anggota Konspiration 58 dan pura-pura jadi korban.

Komentar