Drama Domestik Lewat Si Kulit Bundar

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Drama Domestik Lewat Si Kulit Bundar

Oleh: Galeh Pramudianto

Sepakbola selalu memiliki banyak celah untuk diceritakan. Dari yang penuh harapan hingga soal dilema kehidupan. Lihat bagaimana tim nasional Jepang dapat bangkit setelah Captain Tsubasa hadir lewat impian dan propagandanya yang sublim. Atau bagaimana Nick Hornby bercerita lugas soal Arsenal dan juga kisah asmaranya di memoar Fever Pitch.

Setelah saya amati, formula cerita (fiksi) sepakbola bila dibuat daftar sebagai premis maka seperti ini bentuknya: 1) seorang pemain sepakbola amatir yang memiliki banyak kekurangan (entah kondisi ekonomi atau cedera menahun) bercita-cita untuk sukses menjadi pesepakbola profesional, 2) sebuah tim medioker dengan segala deritanya berusaha bangkit dan masuk divisi teratas suatu liga, 3) soal dilema, memilih dua hal yang paling dicinta: kekasih (cinta) atau sepakbola, 4) riwayat kehidupan legenda sepakbola (mulai suporter sampai pelatih) dari lahir, meniti karier sampai berprestasi, dan 5) memaparkan ideologi/agenda politik tertentu lewat budaya populer bernama sepakbola.

Daftar tersebut bisa lebih panjang lagi bila kita memotretnya dari perspektif Indonesia atau negara-negara yang sedang membenahi sistem sepakbolanya. Bisa saja ditambahkan: seorang pemain yang sedang sakit lalu meninggal dunia karena gajinya tidak dibayar oleh klub, atau yang kerap berulang di Indonesia: pemain dan klub yang memiliki kelemahan dalam finansial, disusupi saudagar kaya untuk mengatur hasil akhir pertandingan.

Di Indonesia novel bertema sepakbola tidaklah banyak. Bila boleh menyebut nama, maka kita akan menemukan 22-1-19 karya Titi Nginung, nama pena dari Arswendo Atmowiloto. Berkisah tentang perjuangan striker Timnas Indonesia yang berkancah di Piala Asia. Angka pada judul novel tersebut diambil dari nomor punggung tokoh utamanya. Ada juga Sebelas Patriot novel semi-autobiografi yang tak jauh dari impian warga dunia ketiga, ditulis Andrea Hirata. Selanjutnya Menerjang Batas karya Estu Ernesto dan Jalan Lain ke Tulehu karya Zen RS. Pada Zen RS. kita menyaksikan bagaimana sepakbola memainkan peranannya di tengah konflik. Gentur seorang jurnalis yang bertugas di Maluku menjadi saksi bahwa sepakbola bukan hanya perkara mencetak gol. Sedangkan pada Estu Ernesto kita bisa melihat utopia dan intrik dalam dunia sepakbola. Bagaimana Gabriel Omar membawa Timnas Indonesia melaju ke Piala Dunia 2014 di Brasil.

Pada realita saat ini, kita malah menonton sepakbola dari sudut yang mengecewakan. Pengaturan skor, jual beli klub agar naik divisi, dan segala hal menyakitkan lainnya berseliweran di headline dan terpacak di media sosial. Novel ini tidak mencoba mimesis soal narasi besar itu. Ia mencoba beralih, dan menyelinap masuk lewat hal yang paling esensial dalam kehidupan: keluarga. Tidak Ada Kartu Merah karya Rully R adalah novel bertema sepakbola sebagai kulitnya. Ia berkelindan dengan konflik-konflik yang ada di dunia si kulit bundar: pengkhianatan, kenangan, dan karma.

Hal tersebut identik dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud soal kepribadian manusia. Tokoh-tokoh di dalam novel ini kental dengan kepribadian yang dibentuk dari masa lalu. Soal motivasi, emosi dan aspek internal lainnya. Aspek internal tersebut hadir karena bersinggungan dengan manusia dan segala wataknya. Cerminan di masa kini adalah apa yang kita terima di masa lalu.

“Kenangan seakan menawarkan sesuatu yang lebih terang, lebih bercahaya daripada sinaran lampu sekalipun. Kenangan satu berpilin lalu bertaut dengan kenangan lain tak ubahnya rasa bahagia dan luka yang selalu berjalan beriringan.” (hlm. 155)

Bies adalah keponakan dari Lik To. Ia memiliki sahabat sejak kecil yang bernama Afat. Persahabatan mereka erat kaitannya dengan drama yang bergulir bersama si kulit bundar. Mereka dipertemukan lewat sepakbola saat seleksi Pekan Olahraga Pelajar Daerah (POPDA). Waktu terus bergulir hingga mereka mendapati masalah lewat pengakuan dari keluarga terdekat mereka. Bies mendengarnya dari Lik To, pamannya. Sementara Afat mendengarnya dari Har, ibunya.

Pengakuan dari masa lalu yang kelam itu saling terkait dan menghasilkan sesuatu yang tak menyenangkan di masa hidup mereka. Beberapa hal tersebut erat kaitannya dengan hambatan fisik. Mulai dari indra penglihatan, hingga kaki yang tidak berfungsi maksimal lagi untuk menendang. Hal tersebut terjadi karena dosa lama yang belum dituntaskan. Apakah mereka semua yang terlibat di dalamnya dapat berdamai? Tetapi, bagaimanakah sebuah luka masa lalu dapat terobati? Pertanyaan itulah yang akan terjawab lewat tokoh-tokoh di novel ini.

Latar pengisahan novel ini di sebuah desa bernama Banjar Rejo. Bagaimana sebuah desa memiliki ingatan kolektif perihal konflik yang belum selesai. Keluarga dan tetangga menjadi cikal bakal konflik karena persoalan dendam dan kecanggungan untuk memaafkan. Kecanggungan tersebut dilukiskan lewat dua sudut pandang. Penceritaan didominasi dengan orang ketiga, meski ada beberapa kali interupsi lewat orang pertama. Fungsi sudut pandang orang pertama adalah untuk menyampaikan kenangan dan kilas balik peristiwa, lalu dari situ konflik dan subkonflik muncul. Hingga pada bagian akhir cerita, ada kesan tempo dipercepat untuk masuk pada konklusi. Sepakbola di mata Tidak Ada Kartu Merah adalah soal trauma dan cara untuk meluruskannya. Beberapa petuah dan ilustrasi soal sepakbola tersebar di dalamnya.

Air mata tak mengenal kompromi. Berlaku bagi semuanya, muda atau tua, anak-anak atau orang dewasa. Air mata ibarat sebuah skor dan menit-menit permainan sepakbola. Ketika sebuah tim tertinggal dan berusaha membalas, waktu seakan cepat berjalan. Namun ketika satu tim unggul dan berusaha mempertahankan kedudukan, waktu merambat dengan pelan. Diulur sekalipun masih juga terasa lama. (hlm. 167)

Tidak salah memang bila kita menyebut sepakbola adalah drama yang indah sekaligus penuh misteri. Olahraga ini menjadi populer karena seluruh elemen dapat mengidentifikasikan diri mereka ke dalam tim kesayangannya. Tidak ada sekat antara kaya dan miskin, desa dan kota. Semua melebur atas nama sepakbola. Maka dari situlah bagi saya hal tersebut bisa juga menjadi bumerang bila kita tidak bisa mengaturnya dengan baik.

Hal yang dicintai banyak orang, berpotensi dilukai banyak orang pula.

Pada sebuah kesempatan di program televisi Mata Najwa, seorang Ayah dan anak menjadi korban sistem sepakbola nasional. Pada gelar wicara tersebut (19/12/18), Bupati Banjarnegara, Budi Sarwono dan manajer Persibara Banjarnegara, Lasmi Indaryani mengungkapkan keterlibatan dua sosok Exco PSSI. Mereka disebut meminta sejumlah uang. Masalah bandar judi dan pengaturan pertandingan pun juga terdapat di dalam novel ini.

Sebagai sebuah cerita, novel ini bisa dikatakan tidak menawarkan hal yang baru. Substansi cerita lebih menitikberatkan pada konflik dan drama keluarga tinimbang sepakbola itu sendiri. Apabila sepakbola tidak dibicarakan di novel ini, konflik di dalamnya saya rasa bisa dengan sangat mudah bergulir. Bisa saja diganti dengan bentuk olahraga lainnya atau murni drama domestik saja. Namun, sebagai sebuah cerita sepakbola, tentu ini memperkaya khasanah novel Indonesia yang lebih beragam. Seperti Indonesia dan sepakbola itu sendiri: penuh aneka rasa.

Kartu merah seperti kita ketahui adalah penanda bahwa seorang pemain dikeluarkan dalam pertandingan karena melakukan pelanggaran. Sementara di novel ini, meski beberapa tokohnya saling berseteru karena luka masa lalu, pada akhirnya Rully R. penulis cerita berperan sebagai wasit. Ia telah mengabarkan akhir cerita sedari judul. Ia yang bertanggung jawab atas segala yang terjadi di lapangan, dalam hal ini jalan cerita.

Tidak Ada Kartu Merah adalah sebuah pengingat maupun penyengat alternatif. Bahwa kejumudan dan kekusutan sepakbola Indonesia bukan hanya berasal dari “eksternal” yang bersekongkol dengan “pemain”, namun juga dari lingkaran kecil itu sendiri: keluarga dan teman masa kecil.


*Penulis merupakan penggemar AC Milan sejak trio Belanda merumput. Bekerja sebagai pendidik dan salah satu pendiri platform Penakota.id. Asteroid dari Namamu (2019) adalah bukunya yang kedua. Aktif di media sosial dengan akun @galehpramdianto.

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.


Simak cerita dan sketsa adegan Rochi Putiray tentang cara menjadi suporter yang baik:


Komentar