Piala Asia: Masihkah Jadi Pesta yang Tak Meriah?

Cerita

by Redaksi 14

Redaksi 14

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Piala Asia: Masihkah Jadi Pesta yang Tak Meriah?

Layaknya konfederasi sepakbola lain yang eksis di muka Bumi, Asian Football Confederation (AFC) sebagai induk organisasi sepakbola untuk negara-negara di Asia juga memiliki hajatan megah berupa turnamen bagi anggotanya yang diselenggarakan empat tahun sekali bertajuk Piala Asia. Pada 5 Januari ini hingga 1 Februari 2019 mendatang, edisi ke-17 Piala Asia bakal dihelat di salah satu negara kaya dan makmur di kawasan Timur Tengah, Uni Emirat Arab (UEA).

Namun berbeda dengan kejuaraan serupa di tahun 2015 lalu, AFC telah sepakat untuk melakukan ekspansi peserta di Piala Asia 2019. Kalau turnamen sebelumnya hanya diikuti 16 negara, maka kali ini ada 24 negara yang berpartisipasi. Walau demikian, negeri kita tercinta, Indonesia, tak ikut serta pada kejuaraan ini gara-gara sanksi yang ditetapkan induk organisasi sepakbola dunia (FIFA) medio 2015 silam usai kisruh yang terjadi di antara PSSI dengan pemerintah.

Negara-negara AFF (Asia Tenggara) yang menjadi peserta Piala Asia 2019 adalah Thailand, Vietnam, Filipina, dan juga Australia.

Tak cukup sampai di situ, Piala Asia 2019 juga bakal mengadopsi beberapa hal baru di kancah sepakbola. Misalnya saja penggunaan Video Assistance Referee (VAR) dimulai sejak fase perempatfinal dan diperbolehkannya pergantian pemain ekstra jika suatu pertandingan berlangsung sampai babak perpanjangan waktu.

Persiapan matang yang sudah dilakukan UEA dan Komite Penyelenggara Piala Asia (OCAC) membuat sang ketua Komite, Saoud Al Mohannadi, optimis. Dirinya yakin bahwa Piala Asia 2019 akan menjadi turnamen sepakbola antarnegara Asia paling megah sekaligus meriah sepanjang sejarah.

"Kami sudah siap memanggungkan ajang sekelas Piala Asia. Kompetisi ini mengusung slogan `Bringing Asia Together` dan publik bakal melihat itu benar-benar terwujud di UEA", jelas Al Mohannadi seperti dikutip via the-afc.com.

Meski diiringi optimisme dari panitia penyelenggara, Piala Asia 2019 juga dibayangi masalah klasik yang tak kunjung usai. Kendati bertitel kompetisi sepakbola antarnegara nomor wahid dari Benua Kuning, prestise dan popularitas Piala Asia masih tertinggal amat jauh dari ajang serupa yang digarap asosiasi sepakbola Amerika Latin (CONMEBOL), Copa América, dan konfederasi sepakbola Eropa (UEFA), Piala Eropa.

Problem ini sendiri membuat gaung Piala Asia seringkali tak terdengar. Akhirnya, atensi para penikmat sepakbola pun kurang tersedot. Tak perlu kaget apabila publik, termasuk mereka yang sangat menggemari sepakbola, kebingungan saat ditanya negara mana yang paling sering mengecup trofi juara di kompetisi ini atau pemain dengan gelontoran gol terbanyak sepanjang sejarah Piala Asia. Apakah kamu termasuk di antaranya?

"Rasa-rasanya, dunia tidak menganggap Piala Asia sebagai turnamen sepakbola yang bagus dan menarik", papar bekas pemain Australia di era 2006-2013, Brett Holman, seperti dilansir dari goal.com.

Jangan pula heran apabila tingkat okupansi stadion di kota-kota penyelenggara Piala Asia, khususnya yang tidak mementaskan pertandingan-pertandingan kubu tuan rumah atau laga yang mempertemukan dua kekuatan besar Asia, selalu rendah. Contoh sederhananya bisa kita lihat dari okupansi Stadion Gelora Bung Karno saat Indonesia menjadi co-host Piala Asia 2007 lalu bersama Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Tatkala Bambang Pamungkas dan kawan-kawan beraksi dahulu, stadion terbesar (saat itu belum mendapat sentuhan renovasi masif) di tanah air tersebut bisa dijejali 65 ribu sampai 88 ribu penonton. Akan tetapi, partai-partai lain yang digelar di sana dan tidak melibatkan Indonesia, membuat stadion cuma diisi sekitar 9 ribu hingga 15 ribu orang saja. Sebuah penurunan yang fantastis, bukan? Bahkan laga final yang mempertemukan Arab Saudi dan Irak hanya disaksikan oleh 60 ribu penonton.

Kondisi tak berbeda jauh berulang terus manakala Piala Asia 2011 bergulir di Qatar dan Piala Asia 2015 berlangsung di Australia. Pelatih Tim Nasional Australia di Piala Asia 2011 asal Jerman, Holger Osieck, sampai merasa prihatin sebab panitia penyelenggara harus meminta bantuan anggota Qatar Armed Forces (semacam TNI-nya Qatar) untuk hadir dan menonton pertandingan di stadion agar suasana terlihat lebih ramai.

Selain itu, Piala Asia juga kerap dicibir sebagai ajang yang menguras isi kantong pesertanya. Hal ini terjadi sebagai akibat dari bentang geografis benua Asia yang memang paling luas sejagad. Realita tersebut bikin biaya yang mesti dikeluarkan masing-masing peserta untuk melakukan perjalanan menuju negara tuan rumah atau saat menempuh babak kualifikasi yang diselenggarakan dengan format laga kandang dan tandang, luar biasa besarnya.

Di sisi lain, sering terjadinya konflik politik di antara negara-negara Asia, utamanya di kawasan Jazirah Arab, acap mendatangkan imbas buat turnamen ini. Rasa aman dan nyaman bagi para pemain, ofisial, maupun penonton yang seharusnya melingkupi pertandingan sepakbola, malah tidak terasa. Alhasil, penyelenggaraan Piala Asia, misalnya saja pada tahun 1996 di UEA dan tahun 2000 di Lebanon, dilingkupi suasana mencekam dan was-was.

UEA dan Komite Penyelenggara boleh saja merasa yakin kalau Piala Asia 2019 akan berlangsung menarik, dan sukses. Namun patut disadari pula bahwa mereka punya segunung pekerjaan rumah yang tidak mudah. Mereka kudu sanggup membuat Piala Asia 2019 jadi turnamen yang gegap gempita, seru, dan diminati para penonton, entah dengan mengunjungi stadion secara langsung atau menyaksikannya via televisi atau streaming. Jangan sampai, ajang edisi ke-17 ini jadi pesta dan ritual yang tak meriah seperti kejuaraan yang sebelum-sebelumnya.

Komentar