Giliran Qatar Menertawakan Dunia

Cerita

by Redaksi 15

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Giliran Qatar Menertawakan Dunia

Panggung utama Piala Asia 2019 sudah terbentuk. Zayed Sport City Stadium akan menjadi saksi bisu partai puncak; Jepang melawan Qatar. Keberhasilan Jepang mencapai final Piala Asia 2019 bukanlah kejutan. Menempati peringkat ke-50 dunia (Per Desember 2018), Tim Samurai Biru merupakan salah satu unggulan dalam turnamen ini. Hal itu juga diutarakan oleh kepala pelatih Iran, Carlos Queiroz.

"Beban untuk memenangi turnamen ini ada di pundak Australia, Jepang, dan Korea Selatan," kata Queiroz. Di bawah arahannya, Iran adalah negara Asia dengan peringkat FIFA tertinggi sejak Agustus 2018. Dirinya masih merendah dan menjagokan Jepang.

Bermodalkan pengalaman tiga kali juara Piala Asia (2000, 2004, 2011), wajar jika Jepang menjadi unggulan dan lolos ke final. Tapi Qatar, lawan mereka di partai puncak tidak memiliki reputasi yang sama.

Sebelum Piala Asia 2019, Qatar tidak pernah lolos ke semi-final turnamen ini sepanjang sejarah mereka. Pengalaman Qatar di kancah internasional juga tergolong minim dengan status tuan rumah menjadi satu-satunya alasan mereka lolos ke Piala Dunia 2022. Itu pun diwarnai berbagai kontroversi.

Lolos ke Piala Asia setelah menjuarai Grup C di fase kualifikasi, Qatar tergabung dengan lawan-lawan yang cukup berat. Korea Utara, Lebanon, dan Arab Saudi. Arab Saudi dua kali mencapai final Piala Asia dalam 20 tahun terakhir, mereka juga tampil di Piala Dunia 2018. Memiliki tiga gelar juara Piala Asia, Arab Saudi terakhir kali mengangkat trofi tersebut di Uni Emirat Arab (1996).

Lebanon berada di atas Qatar dalam urusan peringkat FIFA (81 berbanding 93). Korea Utara yang menduduki peringkat 109 FIFA sudah memiliki pengalaman di Piala Dunia dan dibela talenta seperti Han Kwang-Song yang bermain untuk Perugia di Serie-B, Italia. Pemain Qatar yang mungkin selevel dengan Han hanyalah Akhram Afif. Mantan pemain Sporting Gijon yang pernah sembilan kali main di La Liga. Ia berstatus pemain Villarreal tapi belum pernah main untuk Yellow Submarines dan sedang dipinjamkan ke Al Sadd.

Begitu tidak diunggulkan, Daily Mail sampai menyebut Qatar sebagai kesebelasan paria -kasta terendah dalam struktur Hindu-. Meski demikian, Qatar tetap berhasil melaju hingga partai puncak. Bukan sekedar melaju ke final, Qatar sampai di puncak turnamen sebagai kesebelasan paling produktif dengan 16 gol dari enam pertandingan. Terakhir anak-anak asuh Felix Sanchez Bas menghabisi Uni Emirat Arab dengan skor 4-0.

Nama Saad Al Sheeb, Almoez Ali, dan Afif memuncaki peringkat pencapaian individu. Al Sheeb menjaga gawang Qatar bersih sejak pertandingan pertama melawan Lebanon. Akhram Afif merupakan pemain dengan jumlah asis terbanyak (8), sesuatu yang hampir mustahil dikejar pemain Jepang, Takumi Minamino (3). Sebanyak empat dari umpan Afif itu diselesaikan oleh Almoez Ali yang merupakan pemain paling subur selama turnamen dengan delapan gol.

Almoez Ali sudah mencatat berbagai rekor melalui Piala Asia 2019. Setelah menghabisi Korea Utara, Ali menjadi pemain yang berhasil mencetak empat gol dalam waktu tercepat (51`), mengalahkan mantan penyerang Bahrain, Ismaeel Abdullatif (61`). Ali juga menjadi pemain pertama yang berhasil mencetak delapan gol di Piala Asia sejak legenda Arab Saudi [ralat: Iran], Ali Daei melakukannya di 1996.

Almoez Ali begitu tajam, sampai-sampai membuat penonton naik darah dan melempar sandal ke arahnya. Entah karena Ali terlalu tajam atau tensi politik antara Qatar dan Uni Emirat Arab begitu tinggi sehingga menciptakan drama.

Dengan kehadiran Al Sheeb di bawah mistar, Akhram Afif sebagai kreator serangan, dan Almoez Ali di depan, Qatar terlihat menjanjikan untuk Piala Dunia 2022. "Semua kesebelasan yang tampil di sini ingin juara. Qatar tidak berbeda," kata Felix Sanchez saat ditanya soal target tim asuhannya di Piala Asia 2019.

Sanchez tahu menjadi juara tidak akan mudah, lagipula itu bukan target utamanya di turnamen ini. Prioritas Felix Sanchez di Piala Asia 2019 adalah membuktikan kualitas Qatar pada Asia dan dunia. "Kami mau membuktikan bahwa Qatar bisa sejajar dan berkompetisi dengan semua negara Asia. Ini adalah persiapan kami menuju Piala Dunia," katanya.

Melangkah hingga ke partai final, Qatar seharusnya sudah bisa meyakinkan berbagai pihak. Rahasia kesuksesan mereka bukanlah uang dari pemilik Paris Saint-Germain ataupun kolusi antara negara-negara tetangga. Kunci sukses anak-anak asuh Felix Sanchez hanya dua hal sederhana.

Pertama: adaptasi.

Sanchez tidak pernah melihat terlalu jauh ke depan selama Piala Asia 2019. Ia menyesuaikan pola permainannya dengan lawan yang akan dihadapi. "Kami akan fokus menghadapi pertandingan secara peralahan. Setiap tim memberikan tantangan. Hal yang dapat kami jaga adalah performa, tekad, dan kebugaran pemain," kata Sanchez.

Alhasil selama enam pertandingan menuju final, Sanchez bentuk anak-anak asuhnya dengan tiga pola berbeda: 4-2-3-1 sebagai sistem utama. Mengandalkan jarak antar lini yang dekat untuk menutup ruang lawan. Saat melawan Arab Saudi yang lebih fokus menyerang dari tengah, Qatar menggunakan 3-5-2. Sementara itu saat bertemu Iraq yang mengandalkan sisi lapangan, mereka mengimbanginya dengan 4-3-3.

Rahasia kedua dari kesuksesan Qatar di Piala Asia 2019: hubungan antar pemain.

"Afif dan Ali sudah mengenal satu sama lain sejak kecil. Afif tahu apa yang tidak disukai dan digemari Ali. Begitu juga sebaliknya," ungkap bek Qatar, Bassam Al-Rawi. Sanchez sendiri sudah mengikuti karir keduanya sejak masih berusia 9-10 tahun di Aspire Academy. Belasan tahun kemudian, proyek jangka panjang itu akhirnya berbuah hasil.

Untuk sementara, Qatar bisa melupakan isu suap dari pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022, atau cap buruk seperti ingin hanya mencari keuntungan dari sepakbola yang selama ini diberikan pada mereka. Menang atau kalah di final melawan Jepang, Qatar boleh menertawakan keraguan dunia atas diri mereka.

Komentar