Guratan Luka yang Membentuk Karakter Ribery

Backpass

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Guratan Luka yang Membentuk Karakter Ribery

Hari itu matahari bersinar dengan penuh di seluruh lapangan tempat skuat Bayern Munchen berlatih. Beberapa pemain Bayern Munchen tampak beristirahat dengan duduk-duduk di atas rumput hijau kekuningan untuk meregangkan otot-otot mereka. Franck Ribery ada di antara mereka. Bersama seorang kawannya, ia tampak sedang berbincang serius seperti sedang merencanakan sesuatu.

Beberapa saat kemudian, usai berbincang, Ribery bersama seorang kawannya itu beranjak dari tempat duduk mereka. Ribery tampak merangkak ke belakang seorang pria berbaju putih yang tak lain merupakan tim pelatih Bayern Munchen. Usai Ribery tepat berada di belakang pria tersebut dan masih dalam posisi merangkak, seorang kawannya lantas mendorong pria berbaju putih itu dari arah depan. Alhasil, karena di belakangnya ada Ribery, pria itu pun tersungkur. Ribery dan kawannya berhasil menjahili pria tersebut; mereka larut dalam tawa.

Itu hanya salah satu contoh dari sekian banyak kejahilan yang sering dilakukan oleh Ribery. Saking terkenalnya sebagai tukang jahil, ia sampai mendapat julukan sebagai “Joker” atau “Prankster” dari rekan-rekan setimnya baik di klub maupun tim nasional.

Bagi Ribery, humor merupakan hal yang penting. “Sangat penting untuk bisa selalu tertawa. Untuk bangun dan merasakan suasana hati yang bahagia. Kami, pesepakbola, punya pekerjaan yang hebat. Kami menyukai apa yang kami lakukan dan kami bersenang-senang,” sebutnya satu waktu.

Karakternya yang humoris dan senang bercanda, sebenarnya merupakan cerminan kekuatan yang dimiliki oleh pria yang lahir di Boulogne-sur-Mer, Prancis, itu. Padahal kehidupan Ribery di masa lalunya tidaklah mudah. Kepahitan sudah ia rasakan sejak masih balita.

***

Ketika itu Ribery masih berusia dua tahun. Pemain kelahiran 7 April 1983 ini sedang berada dalam sebuah perjalanan bersama keluarganya. Ketika itu, Ribery duduk di jok belakang mobil; tak ada sabuk pengaman yang membelit tubuh kecilnya.

Terjadilah kejadian nahas itu. Mobil yang ditumpangi oleh Ribery dan keluarganya mengalami tabrakan dengan sebuah truk. Karena tidak mengenakan sabuk pengaman, Ribery terlempar ke depan dan berbenturan dengan kaca mobil. Beruntung nyawa Ribery selamat dari kecelakaan tersebut. Namun akibat kecelakaan itu—selain meninggalkan ingatan yang akan selalu mengendap dalam memori Ribery—juga meninggalkan bekas luka dan jahitan yang tampak pada wajah sebelah kanannya. Karena kecelakaan itu, ia sampai harus mendapat seratus lebih jahitan.

Tapi Ribery mengaku bangga dengan bekas luka tersebut. Ketika ia mulai beranjak dewasa, hinaan atau ejekan kerap ia terima dari bocah-bocah lain karena bekas luka di wajahnya. Namun justru hal itulah yang membentuk karakternya agar menjadi pribadi yang kuat.

“Aku bangga dengan bekas lukaku. Luka itu memberiku kekuatan dan telah menguji karakterku. Kau harus kuat mental saat anak-anak lain mencemoohmu dan orang dewasa menatapmu,” ungkap Ribery.

Ujian bagi Ribery tak berhenti sampai di situ. Saat mulai beranjak dewasa ketika usianya memasuki belasan tahun, Ribery yang saat itu tergabung dengan akademi sepakbola Lille sempat menderita patah siku. Dirinya pun dikeluarkan oleh akademi Lille tak lama setelah itu. Resminya, Lille mengeluarkan Ribery dengan alasan bahwa Ribery bermasalah dalam perilaku. Akan tetapi, Ribery mengungkapkan bahwa pejabat-pejabat di akademi Lillle sudah ingin dirinya dikeluarkan dari akademi karena badannya yang terlalu kecil.

Hengkang dari akademi Lille, Ribery memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya. Pada 1999, ia bergabung dengan akademi klub US Boulogne yang ketika itu hanya berlaga di divisi keempat liga Prancis. Bermain di klub kecil yang berlaga di divisi empat tak serta merta membuat Ribery bisa langsung menjadi pemain andalan. Selama satu musim ia hanya menghangatkan bangku cadangan.

Dengan tabah Ribery menjalani episode kehidupannya itu; ia terus berjuang untuk mewujudkan mimpinya menjadi pesepakbola profesional. Hingga di tahun berikutnya, ia perlahan mulai mendapat promosi ke tim senior US Boulogne. Debut musimnya di tim senior Boulogne, Ribery hanya diturunkan sebanyak empat kali.

Karena perkembangan yang selalu diperlihatkan Ribery, di musim berikutnya—ketika Boulogne sudah promosi ke divisi tiga—ia lebih banyak mendapat kesempatan bermain. Ia tampil sebanyak 25 kali dan mencetak lima gol.

Setelah tiga musim membela US Boulogne, pada 2002 Ribery direkrut oleh Olympique Ales. Di tim barunya tersebut, Ribery cukup diandalkan dengan tampil sebanyak 18 kali dan mencetak satu gol.

Namun lagi-lagi cobaan menimpa Ribery. Di akhir musim, Olympique Ales sebenarnya tidak berakhir di zona degradasi, namun tim tersebut dilanda kebangkrutan yang menyebabkan mereka harus terdegradasi hingga ke divisi enam Liga Prancis. Ribery pun memilih hengkang dari Olympique Ales.

Ia lantas bergabung dengan tim lain yang saat itu bermain di divisi tiga Liga Prancis, Stade Brestois. Ketika bermain untuk Stade Brestois inilah, Ribery mulai bermain secara reguler; ia sangat diandalkan. Ribery tampil di 35 laga dan mencetak 3 gol. Berkat penampilan apiknya di Stade Brest, di akhir musim ia turut membawa Stade Brest berakhir di peringkat kedua klasemen. Stade Brest pun promosi ke Ligue 2.

Penampilan apiknya bersama Stade Brestois, mencuri perhatian manajer FC Metz, Jean Fernandez, untuk memboyong Ribery. Bagai tutup bertemu botol, Ribery yang saat itu sangat berhasrat untuk bisa tampil di Ligue 1 pun langsung menerima tawaran FC Metz.

Di sana Ribery langsung menjadi andalan. Penampilannya yang memukau di sisi kanan lini tengah FC Metz juga mendapat banyak apresiasi dari para suporter. Banyak yang langsung membandiingkan Ribery dengan Robert Pires yang juga mantan punggawa FC Metz.

FC Metz sebetulnya ingin memperpanjang kontrak Ribery, namun nilai dalam negosiasi yang tak jua mencapai kesepakatan membuat Ribery memutuskan untuk hengkang. Pada 2005 ia lalu bergabung bersama salah satu klub besar Turki, Galatasaray. Ketika itu Galatasaray menebus Ribery dengan mahar dua juta euro.

Di Galatasaray, ia mendapat julukan “Ferraribery” dari para suporter karena kecepatannya saat berakselerasi. Selain itu, ia juga mendapat julukan “Scarface” karena luka yang terdapat pada wajahnya. Ribery tampil sebanyak tujuh belas kali dan mencetak satu gol selama membela Galatasaray. Ia juga turut membawa Galatasaray merengkuh trofi Turkish Cup usai mengalahkan rival abadi mereka, Fenerbahce, di babak final.

Namun di balik cerita musim indahnya bersama Galatasaray, ternyata Ribery memiliki masalah dengan internal klub. Ia mengaku bahwa gajinya tidak dibayar oleh Galatasaray. Pada satu waktu, mantan agennya, John Bico, beserta direktur Galatasaray pernah mendatangi rumahnya dan mengancamnya menggunakan pemukul baseball.

“Bico memecahkan jendela rumahku, dan berkata bahwa jika aku tak membukakan pintu, ia akan menghancurkan mobilku menggunakan pemukul baseball,” tutur Ribery dilansir dari SkySports.

Ribery pun berencana untuk kembali ke Prancis dan bermain bersama Marseille, namun ia sempat kesulitan untuk hengkang dari Galatasaray karena kontraknya masih menyisakan tiga tahun di sana. Ia pun meminta bantuan FIFA untuk membatalkan kontrak yang tersisa di Galatasaray.

Galatasaray pun meradang. Mereka mengecam Ribery dan menuduhnya telah mengkhianati klub. Galatasaray pun meminta bantuan FIFA untuk menyelidiki kasus ini.

Setelah diselidiki, FIFA pada akhirnya memutuskan untuk mendukung Ribery. Pada bulan Juli, 2005, FIFA membenarkan klaim Ribery dan menepis klaim Galatasaray kepada Ribery sebagai pemain yang bersalah.

Ribery pun akhirnya bergabung bersama Marseille dan memulai debutnya di klub tersebut pada 30 Juli 2005. Selama dua musim membela Marseille, Ribery tampil sebanyak 89 kali di semua ajang dan mencetak 18 gol. Ia juga turut membawa Marseille menjuarai UEFA Intertoto Cup pada 2005.

Ketika membela Marseille ini pula, Ribery terpilih menjadi punggawa tim nasional Prancis yang ketika itu dibesut Raymond Domenech. Ribery langsung diikutsertakan dalam Piala Dunia 2006 dan dirinya tampil sebanyak tujuh kali di ajang tersebut, termasuk saat menghadapi Italia di babak final.

Pada 2007, Bayern Munchen menyatakan ketertarikan mereka pada Ribery. Bayern pun memboyong Ribery dari Marseille dengan harga 25 juta euro. Harga tersebut merupakan rekor penjualan pemain termahal bagi Marseille.

Ribery langsung menjadi andalan di Bayern Munchen. Debut pertamanya bersama The Bavarians, terjadi pada 21 Juli 2007 saat Bayern Munchen menghadapi Weder Bremen di ajang Premiere Ligapokal. Ia langsung unjuk kebolehannya dengan mencetak dua gol di laga tersebut.

Sejak 2007 mulai membela Bayern Munchen hingga sampai saat ini, Ribery telah tampil sebanyak 380 kali. Mencetak 117 gol dan 178 asis. Bersama Bayern Munchen pula, Ribery sejauh ini telah mendapatkan tujuh gelar juara Bundesliga, lima kali juara German Cup, dan satu kali juara Liga Champions. Usai membawa Bayern Munchen menjuarai Liga Champions 2012/13, ia mendapatkan penghargaan sebagai pemain terbaik Eropa pada 2013.

Sebelumnya, pada 2010, Ribery bersama beberapa pemain tim nasional Prancis, sempat terkena kasus prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur. Saat diwawancara, Ribery pun tak mengelak bahwa ia pernah memiliki hubungan dengan dunia prostitusi. Hanya saja ia tidak tahu kalau perempuan tersebut masih di bawah umur.

Akhirnya, pada 2011, jaksa di pengadilan memutuskan untuk mengampuni Ribery dan beberapa pemain tim nasional Prancis lainnya, dengan dalih bahwa para pemain yang terlibat tidak mengetahui kalau wanita yang terlibat dengan mereka masih di bawah umur.

***

Jika kita menyimak kisah Ribery dari masa kecilnya hingga saat ini, satu hal yang menonjol dari kisah hidupnya adalah: ia begitu sering diuji oleh pelbagai permasalahan besar. Dari mulai harus mengalami sebuah kecelakaan saat dirinya baru berusia dua tahun, dicemooh oleh anak-anak lain karena bekas luka di wajahnya, mengalami patah siku dan dikeluarkan dari akademi Lille dengan alasan yang diskriminatif, merajut karir dengan bermain di divisi bawah selama bertahun-tahun, mendapat ancaman kekerasan saat bermain untuk Galatasaray, hingga terlibat masalah prostitusi di bawah umur.

Akan tetapi, seluruh persoalan yang dihadapinya tak membuat Ribery menjadi tertekan. Sebaliknya, ia justru menjadi pribadi yang periang dan penuh humor. Ribery menerima segala masalah yang merundunginya dengan hati yang lapang—bahkan ia menolak untuk menghilangkan bekas luka di wajahnya kendati saat ini ia sudah sukses dan mempunyai banyak uang. Ribery pun tak menyesal ketika dirinya ‘diusir’ dari akademi Lillle, dan Ribery juga tak goyah ketika mendapat ancaman fisik dari pengurus Galatasaray; ia tetap pada pendiriannya dan menerima seluruh ancaman yang didapatnya tanpa sekalipun membalas.

Ribery, si Prankster yang jahil itu, sadar betul bahwa masih banyak hal yang dapat membuatnya tertawa dan bahagia dibanding hanya mengutuk dan meratapi permasalahan yang merundunginya. Ia mengamalkan betul apa yang pernah dikatakan oleh aktor komedi legendaris, Charlie Chaplin: “Untuk benar-benar tertawa, kau harus mengambil seluruh rasa sakitmu lalu mempermainkannya.”

Komentar