Kedaulatan Sepakbola: Polemik BOPI-PT Liga dalam Tinjauan Hukum Olahraga

PanditSharing

by redaksi

Kedaulatan Sepakbola: Polemik BOPI-PT Liga dalam Tinjauan Hukum Olahraga

Oleh Eko Noer Kristiyanto

Jika ada federasi sepakbola yang gemar menyelundupkan fakta, regulasi, serta membodoh-bodohi pecinta sepakbola di negerinya sendiri, bisa jadi PSSI-lah pelakunya. Rangkaian karut marut sepakbola mencapai klimaks yang tak nikmat saat kompetisi Indonesia Super League (ISL) batal dimulai pekan lalu.

Siapa yang salah? Kali ini saya mencoba mengajak kawan-kawan untuk melihat secara jernih dan tidak menempatkan diri sebagai pendukung PSSI (bersama PT Liga) ataupun Kemenpora (bersama BOPI).

Dalam banyak hal (tidak semua hal, loh, ya) saya sangat sepakat dengan cara berpikir PSSI dan PT Liga terkait eksistensi kompetisi dan kendali sepakbola di negeri ini. Bahwa federasi-lah yang berkuasa penuh tanpa adanya intervensi dari pihak ketiga, tak terkecuali pemerintah. Namun tentu saja hal itu layak untuk tak digugat siapa pun jika sang pemegang kuasa berada dalam kondisi waras dan mampu berargumen logis untuk menangkal “sentuhan-sentuhan” nakal negara, dalam hal ini pemerintah. Masalahnya kali ini pemerintah berada dalam posisi yang lebih waras.

Selama ini PSSI selalu berlindung membabi buta dengan menyodorkan contoh-contoh negara yang di-banned FIFA ketika ada intervensi pemerintah terhadap sepakbola. Hingga detik ini pun saya sangat menolak intervensi yang memungkinkan Indonesia terasingkan dari pergaulan sepakbola internasional. Alasannya jelas, karena independensi PSSI adalah kondisi lex specialis, di mana PSSI dengan statutanya lebih kuat terhadap sepakbola dibanding hukum positif manapun di negeri ini.

Namun tentu saja, kondisi lex specialis yang mutlak itu berlaku dalam konteks laws of game yang berkaitan langsung dengan sepakbola itu sendiri. Misal ketika ada perkelahian di dalam lapangan maka kapolri, panglima TNI bahkan presiden pun tak berhak melakukan intervensi walau dengan maksud baik sekalipun – seperti memisahkan, melerai., dsb, karena pemegang yuridiksi tertinggi di lapangan hijau adalah wasit yang dipersenjatai dengan kartu kuning dan kartu merah. Contoh lain adalah keputusan-keputusan Komisi Disiplin, Komisi Banding, dan Komisi Etik tak dapat dianulir dan diganggu gugat oleh institusi negara mana pun.

Namun kali ini seluruh argumen yang disodorkan kemenpora dan BOPI tidak terkait dengan laws of game namun justru terkait hukum olahraga secara luas yang dikenal dengan lex sportiva  (untuk diketahui laws of game adalah hukum olahraga yang lebih khusus dan menjadi bagian dari lex sportiva). Penting juga dicatat, lex sportiva pada umumnya bersinggungan dengan hukum negara.

Lihat saja daftar penyakit klub yang dibuka BOPI, terkait pajak, legalitas badan hukum, dsb., semuanya diatur oleh Undang-undang di negeri ini.

Sport Law/ Hukum Olahraga

Teori pluralisme hukum memandang ada eksistensi sistem hukum ketiga setelah sistem hukum nasional dan sistem hukum internasional, yaitu sistem hukum transnasional.  Hukum transnasional dibentuk oleh komunitas internasional yang bukan negara (international society) dan berlaku bagi komunitasnya melintasi batas-batas wilayah negara secara administratif. FIFA sangat tepat dijadikan contoh yang mewakili sistem hukum ketiga ini.

Lex Sportiva disebut sebagai sistem hukum transnasional  (olahraga) dalam wilayah yurisdiksi pengaturan, penyelenggaraan kompetisi sepakbola profesional, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang ditimbulkannya. Sistem hukum yang demikian berlaku universal di seluruh dunia yang menampilkan sepakbola profesional.

Pada dasarnya, terdapat dua kelompok sports law (hukum olahraga) yang memiliki cara pandang berbeda dalam melihat bagaimana hukum diberlakukan dalam bidang olahraga yaitu (1) Domestic Sports Law serta Global Sports Law dan (2) National Sports Law dan International Sports Law.

Kategori pertama di atas itulah yang kemudian disebut sebagai lex sportiva. Domestic Sports Law diartikan sebagai norma hukum yang berlaku secara internal, yang dibuat dan ditaati oleh badan olahraga nasional. Sedangkan, Global Sports Law diartikan sebagai tatanan hukum transnasional dan juga yurisprudensi yang dibuat dan diterapkan oleh federasi olahraga internasional.

Kategori kedua terdiri dari National Sports Law dan International Sports Law. National Sports Law didefinisikan sebagai hukum yang dibuat oleh badan parlemen nasional, pengadilan dan lembaga penegak hukum (pendeknya: negara) yang secara langsung mempengaruhi peraturan atau tata kelola olahraga atau yang telah dikembangkan untuk menyelesaikan sengketa olahraga. Sedangkan, International Sports Law diartikan sebagai prinsip-prinsip umum atau universal hukum yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional.

Lex sportiva merupakan sebuah bentuk lex specialis yang dapat diterapkan dalam dunia olah raga internasional karena bersumber secara langsung dari “konstitusi” yang dibentuk oleh federasi olahraga yang bersangkutan. Lex sportiva adalah serangkaian norma hukum privat yang diambil dari interaksi antara norma-norma hukum olahraga dan prinsip-prinsip umum yang sesuai dengan sistem-sistem hukum negara. Lex sportiva  sebagai serangkaian peraturan hukum nasional yang cocok diterapkan untuk membebaskan hukum yang berlaku dalam sengketa-sengketa olahraga dari cengkraman berbagai hukum nasional.

PSSI/PT Liga Tidak Serius dengan Pilihannya

Pilihan PSSI yang berpikir di jalur lex sportiva (memandang hukum olahraga dalam tataran domestic-global) sudah sangat tepat. Persoalan muncul ketika pilihan yang sudah tepat ini tidak membuat PSSI dan PT Liga serius pula terhadap konsekuensi-konsekuensinya. Mereka yang menganggap sepakbola bergerak dalam sistem hukum transnasional dengan ke-lex specialis-annya justru tidak mempersiapkan perangkat-perangkat yang menunjang prinsip tersebut.

Sebagai contoh, hingga saat ini belum ada badan penyelesaian sengketa yang khusus menangani persoalan terkait pemain dan klubnya. Maka ketika jalur hukum dalam ranah hukum transnasional tak tersedia di negeri ini maka seseorang akan melirik mekanisme penyelesaian dalam sistem hukum lain (dalam hal ini sistem hukum positif nasional). Maka sangat wajar jika seorang Bambang Pamungkas memilih menempuh jalur hukum di pengadilan umum untuk memperkarakan Persija beberapa tahun lalu (terkait sengketa tunggakan gaji)  karena yurisdiksi dan kepastiannya jauh lebih jelas.

Dalam konteks kekinian, PSSI dan PT Liga semakin (sengaja) kebablasan dalam menempatkan konteks lex specialis dan lex sportiva. Itu terlihat dari bagaimana mereka “mengistimewakan diri” terkait pajak dan ketentuan badan hukum klub, padahal hal itu ada dalam sistem hukum nasional Republik Indonesia. Sehingga PSSI melalui PT LI yang menentukan kelayakan suatu klub untuk berkompetisi, namun pihak lain pun berhak meninjaunya karena dasar hukum yang diacu adalah hukum nasional dan bukan hukumnya PSSI, AFC ataupun FIFA.

Jika di awal saya menyebut PSSI doyan membodoh-bodohi publik itu karena mereka selalu menyalahkan pihak lain yang mencoba mengoreksi dengan menggunakan dalih intervensi dan itu jelas merupakan kesalahan di mata FIFA. Padahal dalam kasus ini tak ada yang keliru dengan langkah BOPI sebagai perwujudan pemerintah  saat mengkritisi hal-hal yang jelas-jelas diatur oleh hukum nasional (terkait UU Pajak, UU Tentang Perseroan Terbatas dsb).

Karena di negara lain pun saya yakin federasi sepakbolanya paham menempatkan kekhususan sepakbola ini. Semisal di Spanyol yang memilih menerapkan pajak tinggi bagi para pemain sepakbola, maka klub dan federasi hingga UEFA pun tak bisa berbuat apa-apa karena pajak adalah yurisdiksi penuh suatu negara. Ini juga berlaku ketika pengaturan skor telah terbukti dan memasuki tahap penyidikan, maka seluruh klub liga italia dan FIGC harus membuka akses bagi pihak kepolisian dan kejaksaan Italia untuk menegakkan hukum pidana. Tak ada tempat untuk dalih dan ngeles dengan alasan statuta FIFA.

Apalagi dalam langkah BOPI dan kemenpora, karena sebenarnya apa yang mereka permasalahkan pun adalah ketentuan-ketentuan yang selaras dengan ketentuan AFC dan FIFA terkait kalayakan suatu kompetisi profesional. Masalahnya, tentu saja, karena FIFA tak berurusan dengan negara sehingga FIFA tak perlu kenal dengan BOPI-Kemenpora. Sebab FIFA mereka memang hanya perlu berurusan dengan PSSI, sehingga PSSI-lah yang seharusnya menyelesaikan kasus ini dan FIFA hanya cukup tahu beres saja.


Baca juga:


Agar PSSI Tak Menjadi Rezim yang Tertutup


Sebab PSSI dan PT LI Memang Harus Ditantang Pihak Luar


Polemik Persija-Ahok dan Anatomi (Pengelolaan) Sepakbola Indonesia



Ketika PSSI-lah pihak yang dituntut oleh FIFA untuk menyelesaikan urusan ini, maka selesaikanlah secara jantan. Jika mengakui bahwa apa yang diminta BOPI adalah logis, rasional dan berdasar maka penuhilah. Jika merasa BOPI terlalu mengada-ada ya sangkal semua itu dengan argumen yang berdasar, jangan hanya merajuk dan merengek kepada FIFA dan publik.

Namun terlepas dari semua itu, langkah BOPI yang menyentuh kebijakan federasi terkait kompetisi tentu sangat disayangkan. Yang disayangkan tentunya bukanlah niat baiknya, namun lebih karena akhirnya terjadi juga kondisi di mana sepakbola di negeri ini telah secara nyata diintervensi oleh negara. Itu adalah hal yang tabu bagi para penganut paham lex sportiva, termasuk penulis.

Inilah pendirian saya terkait polemik Menpora-BOPI dan PSSI-PT Liga. Saya tetap menganut paham lex sportiva, tapi saya juga tidak buta dengan konteks isu profesionalisme kompetisi yang melahirkan polemik ini.

======

Eko Noer Kristyanto, peneliti hukum olahraga di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, berakun twitter @ekomaung

Komentar