Jika Bisa Inkonsisten, Ngapain Harus Konsisten?

Editorial

by redaksi

Jika Bisa Inkonsisten, Ngapain Harus Konsisten?

Kabar mengejutkan muncul dari gelaran Qatar National Bank League (QNBL) 2015: kompetisi diliburkan sementara hingga 25 April mendatang. Dari tanggal 12 hingga 25 April, yang sedianya akan menggelar 24 pertandingan, dipastikan tidak akan ada pertandingan QNBL.

Hingga hari ini belum ada rilis resmi yang menjelaskan alasan keputusan tersebut. Kemungkinan ini terkait agenda penting Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang akan diselenggarakan mulai 18 April mendatang di Surabaya. Pasti tidaknya soal alasan diliburkannya QNBL, tunggu saja rilis resminya.

Setelah berputar-putar menghadapi tantangan serius yang disodorkan BOPI, keputusan meliburkan kompetisi ini sebenarnya agak mengejutkan. Juga merugikan. Beberapa kesebelasan terpaksa membatalkan tiket perjalanan dan akomodasi yang sudah dipesan. Bahkan ada kesebelasan yang sudah melakukan perjalanan untuk menghadapi jadwal laga berikutnya.

Pada akhir Maret dan awal April, PSSI dan PT Liga berkali-kali menyebutkan bahwa kompetisi tak bisa ditunda lagi. Dan demi gelaran kompetisi yang tak bisa ditunda itu, mereka nekat mengabaikan rekomendasi BOPI yang tidak meloloskan Arema dan Persebaya, bahkan nekat menggelar pertandingan tanpa izin kepolisian.

Dengan kenekatan dan keberanian yang luar biasa itu, tentu dengan mengambil dan menelan kemungkinan datangnya berbagai resiko, menjadi mengherankan ketika tiba-tiba diputuskan liga diliburkan selama dua pekan. Ketika liga dengan susah payah bisa digelar, dan laga baru berlangsung dua match day, kok tiba-tiba dihentikan begitu saja? Bukankah kepastian jadwal merupakan hal paling mendasar dan paling krusial dalam kesuksesan sebuah kompetisi?

Konsistensi barangkali memang menjadi tabu bagi PSSI. Jika bisa inkonsisten, untuk apa konsisten?

Kita tahu bahwa PSSI dan PT Liga mengikuti langgam BOPI-Kemenpora ketika menunda kick-off kompetisi pada pertengahan April. Ketika Kemenpora tidak memberikan rekomendasi digelarnya ISL pada 20 Februari lalu, PSSI dan PT Liga mengikuti hal itu dengan tidak memaksakan kick-off.

Selanjutnya, di hari-hari dan pekan-pekan berikutnya, kesebelasan peserta ISL mencoba memenuhi persyaratan yang diminta oleh BOPI. Persyaratan itu dibutuhkan agar mendapatkan rekomendasi dari BOPI yang diperlukan sebagai syarat mengurus izin keramaian dari kepolisian. Ini mesti dibaca sebagai tantangan pihak luar yang memaksa PSSI dan PT Liga juga kesebelasan ISL untuk berbenah. Sebab jika tidak dipaksa, sulit sekali mengharapan pembenahan itu bisa berupa desakan kuat dari dalam diri mereka sendiri.

Anehnya, ketika BOPI dan Kemenpora mengeluarkan rekomendasi gelaran ISL dengan 16 peserta, minus Persebaya dan Arema, PSSI dan PT LI menolak rekomendasi tersebut. Mereka bersikeras bahwa Persebaya dan Arema harus tetap bermain di ISL. Dan penolakan itu diimplementasikan dengan mendorong dan mendukung Arema dan Persebaya menggelar pertandingan melawan Persija dan Mitra Kukar di pekan pertama, bahkan walau pun tanpa izin kepolisian.

Kalau memang tidak membutuhkan rekomendasi BOPI atau bahkan izin kepolisian, untuk apa menunda kick-off ISL dari 20 Februari ke 4 April? Kenapa tidak langsung saja kick-off pada 20 Februari tanpa perlu mengindahkan ada tidaknya rekomendasi dari pemerintah?

Kita masih ingat apa alasan Joko Driyono, entah itu diucapkan dalam kapasitas sebagai CEO PT Liga atau sebagai Sekjen PSSI, yang bersikukuh ISL harus diikuti oleh Arema dan Persebaya. Joko saat itu berkata:"Kami juga tidak bisa melakukan penjadwalan ulang."

Anehnya, setelah liga berjalan selama sepekan dan menggelar dua matchday, tiba-tiba saja liga diliburkan. Liga diliburkan selama dua pekan tentu saja berdampak pada jadwal yang harus berubah. Mau tidak mau harus dilakukan penjadwalan ulang.

Gimana, toh, bukankah katanya "kami tidak bisa melakukan penjadwalan ulang"? Kok sekarang bisa meliburkan kompetisi dan sudah pasti bisa (karena memang harus sebagai konsekuensi logisnya) melakukan penjadwalan ulang?

Inkonsistensi macam ini sebelumnya juga diperlihatkan saat menunjuk Solo sebagai tempat cadangan gelaran kualifikasi Piala Asia U-23 yang rencananya akan digelar di Jakarta. Karena berdekatan dengan konser One Direction yang sudah memesan Stadion Gelora Bung Karno jauh-jauh hari, PSSI terpaksa perlu menyiapkan tempat alternatif. Solo kemudian dipilih.

Tapi pilihan itu pun bermasalah karena Solo sebenarnya masih dalam fase hukuman oleh Komisi Disiplin PSSI. Solo dilarang menggelar pertandingan yang ada di bawah yurisdiksi PSSI selama 6 bulan per 23 Oktober 2014. Jika itu diterapkan secara konsisten, maka Solo baru bisa menggelar laga sepakbola lagi pada akhir April paling cepat.

Joko Driyono, tentu saja kali ini bicara dalam kapasitas sebagai Sekjen PSSI, membantah hal itu. Joko beralasan larangan itu hanya untuk pertandingan yang dikelola oleh Persis Solo. Kalau laga yang dikelola oleh PSSI, seperti tim nasional, itu tidak termasuk dalam hukuman.

Joko beralasan bahwa kota Solo bukan berada di bawah yurisdiksi PSSI, hanya Persis Solo yang ada di bawah kewenangan PSSI, kotanya sih tidak. Tapi jelas-jelas Hinca sama sekali tidak menyebut pengecualian. Ini jelas tidak konsisten dengan pernyataan Komisi Disiplin yang diwakili oleh Hinca Panjatian yang mengatakan: "Tidak hanya untuk Persis saja. Pertandingan yang digelar oleh PSSI tidak boleh dilakukan di Solo hingga enam bulan ke depan."

Pernyataan Joko itu memang beralasan. Tapi kenapa Joko diam saja di hari-hari ketika penjatuhan sanksi kepada Solo itu dikeluarkan oleh Hinca? Kenapa ketika PSSI berkepentingan dengan Solo barulah Joko kemudian bicara?

Untunglah PSSI, atau Hinca, tak perlu menjilat ludahnya sendiri karena gelaran kualifikasi Piala Asia U-23 akhirnya bisa digelar di Jakarta. Rumput stadion Gelora Bung Karno ternyata tak hancur-hancur amat dan tetap bisa dipakai untuk pertandingan sepakbola.

Tapi silang tafsir antara Joko dan Hinca dalam soal hukuman kepada Solo itu sekali lagi memperlihatkan inkonsistensi yang seakan sudah menjadi kebiasaan PSSI.

Sudah tidak terhitung PSSI dan PT Liga maju-mundur-cantik dalam soal jadwal. Jadwal kompetisi sangat tergantung berbagai faktor, sebab ini memang Indonesian Tergantung League alias ITL.

Yang paling fenomenal dan bersejarah tentu saja maju-mundur-cantik final Inter Island Cup 2014 yang berubah berkali-kali dan baru digelar di awal 2015. Ibarat majalah dinding, final Inter Island Cup itu udah basi, madingnya udah terbit.

Mungkin memang tidak pada tempatnya menuntut PSSI dan PT Liga untuk konsisten. Postulatnya, barangkali, berbunyi: "Jika bisa inkonsisten, buat apa capek-capek harus konsisten?"

Jika ada yang kesal dengan inkonsistensi itu, mengikuti hukum penyelenggaraan Ospek, tolong lihat dan kembali ke pasal satu, eh... postulat itu tadi.

Ataukah "inkonsisten" memang merupakan nama panjang PSSI? Persatuan Sepakbola Serba Inkonsisten? Aih....

Komentar