Hukum sebagai Alat Rekayasa Sepakbola

PanditSharing

by redaksi

Hukum sebagai Alat Rekayasa Sepakbola

Oleh: Eko Noer Kristiyanto

Hukum yang saya maksud pada judul tulisan ini bukanlah hukum sepakbola atau yang kita kenal sebagai “rule of the game”. Hukum di sini seperti yang umum diketahui: hukum konvensional yang terkait dengan asas, kaidah, lembaga dan proses sebagai suatu keutuhan.

Terkadang kita selalu memperhadapkan dan memberi sekat antara ranah sepakbola dan hukum negara. Dalam beberapa hal itu cukup tepat karena terkait yurisdiksi sepakbola dan lex specialis, namun tanpa kita sadari bahwa sesungguhnya hukum negara pun dapat berkontribusi positif (atau negatif bagi pihak yang merasa dirugikan) saat “mengintervensi” ranah sepakbola. Dengan kekuatannya yang mengikat siapapun yang berada di bawah yurisdiksinya, tak terkecuali para pelaku sepakbola, hukum sebenarnya bisa berperan sebagai alat rekayasa dalam praktik sepakbola.

Dalam konteks ini yang paling fenomenal karena membuat perubahan besar dalam dunia sepakbola tentulah munculnya aturan Bosman (Bosman ruling). Jean Marc Bosman bukanlah pemain hebat ataupun memiliki karir istimewa, namun dia telah melakukan sebuah revolusi dalam sepakbola. Langkah hukumnya telah mengubah struktur transfer pemain secara radikal.

Saat itu (menjelang akhir 80-an) Bosman ingin hengkang dari klub lamanya di belgia, namun ketika itu tidak dikenal status free transfer, sehingga seorang pemain yang ingin pindah klub nasibnya tetap bergantung kepada klub walau masa kontraknya telah habis. Kemudian Bosman melakukan langkah hukum dengan menggugat klubnya ini ke pengadilan. Setelah melalui proses yang cukup panjang, puncaknya adalah pada tahun 1995 ketika mahkamah Uni Eropa memenangkan gugatannya, maka sejak itu pula setiap pemain yang telah habis kontraknya berhak menentukan masa depannya sendiri.

Lalu apa dampaknya terhadap wajah sepakbola? Sungguh besar, karena sejak saat itu klub lama tak berhak lagi mendapat fee dari klub baru pemain saat si pemain kontraknya habis. Daya tawar pemain sepakbola pun menjadi lebih tinggi, hal yang bertolak belakang ketika aturan Bosman belum berlaku.

Hal inilah yang memicu nilai transfer gila-gilaan. Percayalah, harga seorang Gareth Bale dan Cristiano Ronaldo tak akan menyentuh angka 1 trilliun andai aturan Bosman tak ada.

Tak hanya kepada pemain, dalam jangka panjang eksesnya dirasakan klub, aktivitas transfer dengan nilai gila-gilaan tak ayal membuat keuangan klub terganggu, bahkan klub-klub besar pun sebenarnya terkena dampak serius aturan Bosman ini.

Putusan mahkamah Uni Eropa itu tak hanya menyentuh regulasi transfer semata, putusan itu mengenyampingkan status pemain asing-non asing bagi pemain yang bermain di sesama negara Uni-Eropa, sehingga setiap pemain yang berpaspor Uni Eropa tidak dianggap pemain asing ketika dia bermain di negara manapun yang tergabung dalam Uni-Eropa.

Akibatnya adalah klub di Italia bisa menurunkan 11 pemain non-Italia di lapangan, ataupun satu klub liga Inggris sah saja memainkan 11 pemain non-Inggris di lapangan (asalkan 11 pemain itu memiliki paspor Uni-Eropa). Ekses lebih jauh tentu akan berdampak kepada pembunuhan potensi lokal negara yang bersangkutan, sistem pembinaan pemain yang terganggu dsb,. Inilah yang kini sudah dirasakan oleh Inggris yang timnasnya semakin melempem sejak Liga Inggris yang gemerlap itu justru didominasi oleh talenta-talenta non-Inggris.

Selain aturan Bosman, masih banyak contoh lain yang dampaknya memang tak seheboh Bosman. misal saja langkah politik suatu negara yang meratifikasi suatu ketentuan Internasional berdampak ketentuan itu diakui dan berlaku secara hukum nasional.

contoh nyatanya adalah langkah hukum Bambang Pamungkas yang menggugat eks klubnya, Persija Jakarta, ke pengadilan umum. bahkan sebenarnya itu sah saja jika menggugat hingga ke pengadilan hubungan industrial -- sepanjang sengketa sepakbola di Indonesia tak memiliki ketentuan lex specialis terkait penyelesaian perdata.

Masalahnya Indonesia telah meratifikasi deklarasi ILO (International Labour Organization), sehingga seluruh pekerja (jika diibaratkan pemain adalah pihak yang bekerja untuk klub sebagai perusahaan) berhak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak hukumnya sesuai dengan ketentuan yang diratifikasi itu. Andai suatu saat ada putusan terkait kasus Bepe, maka tentulah dapat dijadikan preseden dan yurisprudensi untuk kasus-kasus lain.

Contoh-contoh di atas adalah sedikit kenyataan bahwa tak selamanya elit sepakbola negeri ini layak dibenarkan kekeraskepalaannya ketika berhadapan dengan hukum negara. Sudah jamak kita dengar bagaimana pengurus sepakbola di Indonesia, baik di level federasi maupun klub, menolak sengketa di ranah sepakbola di bawa ke meja hukum positif. Mereka selalu berargumen: sepakbola itu kasus khusus dan tak bisa dibawa ke pengadilan, sehingga apa yang terjadi di lapangan selamanya tak boleh dibawa ke ranah di luar lapangan sepakbola.

Kekeraskepalaan macam itu harus ditampik. Tak selamanya elit sepakbola negeri ini pantas berlindung di balik keiistimewaan sepakbola yang memiliki yurisdiksi khusus, karena di luar rule of the game, ada persinggungan-persinggungan antara ranah sepakbola dan (hukum) negara yang harus disikapi dengan nurani dan itikad baik.

Inilah yang pernah diperlihatkan oleh FIGC (federasi sepakbola Italia) yang membuka akses kepada para penyidik ketika skandal pengaturan skor telah menyeruak dan menyentuh ranah hukum pidana di mana negara menjadi pihak yang paling berwenang menegakkan hukumnya.

--------------------------------

*Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, berakun twitter @ekomaung

** Kredit foto: The Telegraph

Komentar