Argentina Bermain (untuk) Messy

Analisis

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Argentina Bermain (untuk) Messy

Argentina hancur lebur di tangan Kroasia. Pada laga kedua Grup D Piala Dunia 2018 yang digelar Jumat (22/06) dini hari WIB, Argentina takluk dengan skor telak 0-3. Sebagai kesebelasan bertabur bintang, ditambah ada sang megabintang, Lionel Messi, di skuatnya, kekalahan itu sangatlah memalukan dan mengundang pertanyaan.

Jorge Sampaoli, pelatih Argentina, bertanggung jawab atas kekalahan ini. Ia tidak menyalahkan kiper Argentina, Wilfredo Caballero, yang melakukan blunder pada gol pertama Kroasia. Padahal banyak yang menyebut gol tersebut menjadi titik balik permainan Argentina menjadi kacau balau.

"Saya orang yang membuat keputusan akhir. Kekalahan kami adalah tanggung jawab saya sebagai pelatih. Menurut saya, tidak baik menyalahkan kekalahan kepada Caballero," kata Sampaoli usai laga.

Dalam konferensi pers, tidak hanya membela Caballero dan mengakui kesalahannya. Sampaoli juga mengakui bahwa ia kesulitan menyatukan timnya sehingga penampilan Argentina tampak messy alias kacau. Bahkan ia secara terang-terangan mengakui bahwa ia tak bisa membuat tim yang solid untuk sang kapten, Messi.

"Pada kenyataanya, skuat Argentina terlihat menutupi kehebatan Messi. Tim ini tidak menyatu seperti yang seharusnya. Sebagai pelatih, saya mengakui hal tersebut. Saya merasa tersakiti dengan fakta tersebut sebagai seorang pelatih. Messi adalah kapten kami, dia memimpin tim ini sedangkan kami tidak dapat membantunya seperti Barcelona."

Sampaoli berusaha mengakomodasi permainan Messi. Pernyataan ini bisa diartikan juga sebagai pengakuan bahwa Argentina asuhan Sampaoli ini memang bermain untuk Messi. Mungkin di situlah letak kesalahannya: merasa bahwa Argentina berutang Piala Dunia pada Messi. Ia melupakan bahwa Argentina bukan hanya Messi seorang. Yang ternyata itu juga yang dilupakan oleh pelatih-pelatih Argentina sebelumnya.

***

Sampaoli menangani Argentina terbilang baru. Ia meninggalkan Sevilla setelah musim 2016/17 berakhir untuk melatih Argentina. Ini artinya ia baru setahun kurang satu bulan menangani Messi dan kawan-kawan.

Dibandingkan 31 pelatih lain di Piala Dunia 2018 ini, ia adalah pelatih dengan masa bakti paling sebentar kedelapan. Pengabdiannya belum ada apa-apanya jika melihat sosok Oscar Tabarez yang telah 12,5 tahun di Uruguay atau Joachim Loew yang telah 12 tahun menukangi Jerman.

Hal di atas bisa diartikan bahwa Sampaoli belum terlalu mengenal timnya. Anggapan itu tidak sepenuhnya salah. Toh, ia hanya memimpin empat laga Argentina di babak kualifikasi Piala Dunia 2018 zona CONMEBOL. Sebelum Piala Dunia Rusia ini digelar, total hanya 11 pertandingan yang ia pimpin.

Sampaoli menangani Argentina dengan misi besar jadi juru selamat. Dengan menyisakan empat laga kualifikasi, Argentina nyaris tak lolos ke Piala Dunia 2018. Sampaoli mampu melakukannya meski sempat imbang tiga kali. Pada pertandingan terakhir, melawan Ekuador, tiga poin diraih (Messi mencetak dua gol pada kemenangan 3-1 tersebut). Karena Cile takluk 3-0 dari Brasil, Argentina akhirnya berhasil melenggang ke Rusia.

Walau jadi penyelamat, Sampaoli tak lepas dari kritik sampai Piala Dunia 2018 digelar. Pemilihan pemainnya dianggap kurang ideal dan tidak memaksimalkan talenta-talenta terbaik Argentina. Untuk skuat final ajang empat tahunan ini, ia memancing perdebatan dengan tidak membawa top skor Serie A Italia, Mauro Icardi.

Masalahnya, pelatih sebelum Sampaoli pun cukup kebingungan dalam menentukan pemain sehingga akhirnya mengundang kritik. Di kualifikasi Piala Dunia 2018, selain Sampoli, ada Gerardo Martino dan Edgardo Bauza yang mencoba meracik strategi sebaik mungkin dan sama-sama kurang mendapatkan hasil maksimal.

Saking bimbangnya dalam menentukan pemain, tiga pelatih Argentina itu telah memanggil 51 pemain berbeda untuk 18 laga kualifikasi. Jumlah ini tertinggi di antara negara mana pun.

Brasil yang juga sempat merombak skuatnya usai kegagalan Piala Dunia 2014, "hanya" memanggil 40 pemain berbeda. Jerman yang disebut-sebut punya empat lapis skuat dengan kemampuan merata, memanggil 39 pemain. Perancis dan Portugal yang punya talenta-talenta muda menjanjikan cuma memanggil 30 pemain berbeda. Spanyol telah menyiapkan 34 pemain berbeda sebelum skuat final.

Coba-coba pemain yang dilakukan pelatih Argentina sendiri berkaitan dengan satu tujuan; bagaimana caranya bisa memanfaatkan kehebatan Lionel Messi. Sampaoli mengakui itu usai timnya dilumat Kroasia seperti yang sudah ditulis pada awal tulisan. Apalagi ia menyebutkan Barcelona sebagai pembanding. Padahal itu jelas berbeda, karena Messi bermain untuk Barca sejak di akademi dan menjalani lebih dari 50 pertandingan setiap musimnya. Di Argentina, dalam satu tahun, caps-nya tidak lebih dari 10 kali.

Susunan pemain saat menghadapi Kroasia pun cukup menunjukkan bahwa Sampaoli berusaha keras memaksimalkan Messi. Ia mencadangkan pemain-pemain bintang, boleh jadi, agar di lapangan para pemain Argentina lain bersedia bermain untuk Messi. Karena jika pemain bintang lain dimainkan, bisa jadi egonya sama tinggi dengan Messi untuk pembuktian diri.

Sampaoli menurunkan pemain-pemain yang kurang familier di telinga. Sebut saja Max Meza, Marcos Acuna, Nicolas Tagliafico, Enzo Perez, dan Eduardo Salvio. Hanya Javier Mascherano, Sergio Aguero, dan Nicolas Otamendi yang punya nama besar selain Messi. Angel Di Maria, Gonzalo Higuain, Paulo Dybala, Marcos Rojo, Lucas Biglia, dan Federico Fazio duduk manis di bangku pemain pengganti. Tapi rencana Sampaoli berantakan.

"Kami bekerja memberinya (Messi) bola, tetapi tim lawan mengisolasinya dari mendapatkan bola. Kami kalah dalam pertarungan itu," tukas Sampaoli.

Lini serang yang mewah milik Argentina pada akhirnya tidak bertaji pada Piala Dunia kali ini. Sebenarnya bukan hal yang aneh jika melihat kiprah Argentina sejak babak kualifikasi. Argentina menjadi kesebelasan dengan produktivitas terendah di antara kesebelasan CONMEBOL lain yang lolos ke Rusia.

Argentina hanya mampu mencetak 19 gol dari 18 laga. Jumlah tersebut hanya unggul tiga gol dari kesebelasan paling minim gol, Bolivia. Torehan gol Messi cs hanya setara Paraguay dan Venezuela sang juru kunci.

Kekuatan Argentina justru terletak di lini pertahanan. Sergio Romero jadi kunci dengan hanya kebobolan 16 kali dari 18 laga. Paling sedikit kebobolan setelah Brasil yang hanya 11 kali memungut bola dari gawang.

Sialnya kiper Manchester United tersebut mengalami cedera sebelum Piala Dunia dimulai sehingga tidak bisa membela skuat berjuluk La Albiceleste ini. Karenanya Willy Caballero, kiper pelapis Chelsea, jadi pilihan utama.

Setiap hasil negatif Argentina pun pada akhirnya semakin membebani Messi. Tekanan terus menyerang mentalnya di setiap laga yang dijalani Argentina.

Kekalahan melawan Kroasia sendiri menjadi puncak dari buruknya permainan Argentina yang terlalu bergantung pada Messi. Sampaoli, sama seperti pelatih Argentina lainnya, memang tak punya pilihan selain mengandalkan salah satu pemain terbaik sejagat itu. Messi pernah tak dimainkan. Hasilnya lebih buruk. Paling mencolok saat Spanyol menghancurkan mereka dengan skor 6-1.

Sampaoli bukan pelatih ingusan. Cile pernah dibawanya juara Copa America pada 2015. Bersama Universidad de Chile ia meraih empat gelar dan punya persentase kemenangan 61% (dari 128 pertandingan). Sevilla menempati posisi keempat La Liga sebelum ditinggalkannya.

Kesamaan dari tiga kesebelasan yang sukses bersamanya adalah Sampaoli punya skuat yang sebenarnya tidak terlalu istimewa. Namun berkat strategi permainan kolektif, alias tidak bergantung pada satu atau dua pemain bintang, membuat timnya sukar dikalahkan. Hal ini jelas berbeda dengan Argentina yang punya banyak pemain bintang dan bahkan punya seorang Messi.

Baca juga: Berutang Piala Dunia Pada Lionel Messi

Argentina butuh pelatih yang bisa menyatukan kebintangan para pemainnya agar bisa bermain untuk Messi selama pemain Barcelona tersebut belum menyatakan pensiun. Namun federasi Argentina terbatas pada pelatih lokal karena sejak 1924, tidak ada pelatih asing yang ditunjuk oleh federasi. Satu-satunya pelatih non-Argentina adalah Felipe Pascucci yang berkewarganegaraan Italia pada 1934.

Jadi untuk sekarang, jangan heran jika setiap pelatih Argentina akan kebingungan dalam menentukan pemain dan mencadangkan pemain-pemain bintang. Menentukan susunan pemain tidak semudah bermain gim virtual dengan tinggal memainkan pemain bintang pada posisi terbaiknya. Butuh chemistry, pemahaman strategi yang sama, tujuan bermain yang sama.

Khusus untuk Argentina, para pemainnya butuh menyadari bahwa mereka sedang bermain untuk Argentina, bukan bermain untuk Messi.

Sumber foto: timeslive.co.za

Komentar