Berutang Trofi Piala Dunia Pada Lionel Messi

Cerita

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Berutang Trofi Piala Dunia Pada Lionel Messi

“Faktanya sepakbola berutang Piala Dunia kepada Lionel Messi, dan kami punya kesempatan untuk menolongnya di Rusia,” kata pelatih Argentina, Jorge Sampaoli. “Piala Dunia itu seperti pistol yang menodong kepala Lionel Messi, jika ia tidak juara, ia tertembak dan mati,” tambahnya dengan analogi yang semakin meyakinkan kita jika Argentina hanya Messi.

Messi sudah berusia 30 tahun. Ia sendiri berkata jika Piala Dunia ini adalah Piala Dunia terakhirnya. Kita memang tak bisa memisahkan Argentina dari Messi.

Tapi sebenarnya, tanpa Messi sekalipun, Argentina adalah negara paling besar di Piala Dunia 2018. Argentina bukan hanya mengirimkan 23 pemain ke sana, tapi juga 4 pelatih (terbanyak) yaitu Héctor Raúl Cúper (Pelatih Mesir), Ricardo Gareca (Peru), dan José Néstor Pékerman (Kolombia), serta 3 ofisial.

Artinya bisa ada 30 orang Argentina yang menginjakkan kaki di atas rumput Piala Dunia 2018, jumlah terbesar dari seluruh negara di Piala Dunia nanti.

Susah Payah di Kualifikasi

Argentina bersama negara-negara Amerika Latin lainnya bermain di babak kualifikasi zona CONMEBOL. Pada babak kualifikasi ini semua kesebelasan bertemu, artinya kualifikasi CONMEBOL adalah cerminan kekuatan Amerika Latin.

Argentina hampir tak lolos. Mereka lolos karena... Messi. Pada pertandingan terakhir, Argentina bukan hanya butuh menang melawan Ekuador, tapi juga sambil berharap Cile serta Peru atau Kolombia tidak menang. Jika La Albiceleste imbang atau kalah, posisinya juga terancam oleh Paraguay.

Pada akhirnya Messi mencetak trigol. Argentina menang 3-1 di kandang Ekuador. Cile kalah 0-3 di kandang Brasil (membuat Cile gagal lolos ke Piala Dunia). Peru bermain imbang 1-1 dengan Kolombia yang dicurigai ada main mata (keduanya lolos). Paraguay kalah 0-1 atas tamunya, Venezuela. Hasil ini membuat Argentina lolos dengan menempati posisi ketiga.

Argentina sangat menunjukkan jika mereka butuh Messi untuk susah payah lolos ke Rusia. Padahal sebelumnya Messi malah sempat pensiun ketika Argentina kalah adu penalti dari Cile di final Copa América Centenario 2016. Mungkin Messi juga sudah lelah karena selalu jadi satu-satunya andalan.

“[Pensiun] adalah keputusan yang aku ambil di saat panas,” kata Messi. Setelah itu ia kembali lagi ke Tim Nasional Argentina.

Baca juga: Anomali DNA Juara Argentina

Banyak pakar sepakbola berkata jika Argentina memiliki penyerangan yang komplet. Di situ ada Gonzalo Higuaín, Sergio Agüero, Paulo Dybala, dan didukung oleh Ángel Di María dari belakang. Bahkan stok penyerang Argentina masih surplus sampai-sampai Mauro Icardi, sang top skor Serie A Italia, tak dibawa ke Rusia.

Para pakar juga berkata masalah Argentina itu ada di lini belakang. The Guardian menyebut Federico Fazio dan Nicolás Otamendi tak memberi kepercayaan diri di lini belakang. Kemudian juga tak ada satupun kiper yang punya caps di atas 10 menjelang turnamen.

Sergio Romero, yang hanya kiper pelapis di Manchester United, harus absen karena cedera lutut di saat-saat terakhir. Wilfredo Caballero yang sudah berusia 31 tahun juga jarang bermain di Chelsea. Jujur saja, ini masalah klasik. Sebelumnya bagi Argentina, menyerang adalah bentuk pertahanan terbaik mereka.

Namun di kualifikasi, mereka hanya mencetak 19 gol (kedua terburuk di CONMEBOL bersama Paraguay dan Venezuela). Nah, lho. Masa di Rusia mengandalkan Messi lagi?

Apakah Argentina Bergantung kepada Orang yang Tak Tepat?

Messi meninggalkan Argentina sejak usia 13. Ia bahkan belum tahu lagu kebangsaan Argentina saat itu. Tak heran banyak yang mengkritisi jika Messi tidak “menyatu” dengan Argentina. Itu juga mungkin yang membuat mentalnya terganggu sampai ia memutuskan pensiun pada 2016.

Namun Messi membantahnya. Ia sampai meminta rekan-rekannya di Barcelona untuk juara La Liga Spanyol secepat-cepatnya (dan Barcelona berhasil melakukannya) supaya ia bisa berkonsentrasi ke Piala Dunia. Di Barcelona memang berbeda dengan di Argentina, meski saya tak yakin yang berbeda itu Messi-nya atau rekan-rekannya.

Namun Pablo Zabaleta berkata jika Messi tidak sendirian dan ia sudah menyatu dengan Argentina. “Kami tahu seberapa besar ia peduli dan semua pengorbanannya berarti karena ia bepergian jauh ke ujung dunia untuk membela Argentina. Ketika kami dengar ada orang yang melabeli kami sebagai pecundang yang tidak memiliki gairah, itu menyakitkan,” kata Zabaleta yang tidak dibawa ke Rusia.

Faktanya di Piala Dunia ini, bukan hanya Messi yang rencananya menjalani Piala Dunia terakhir (padahal belum tentu juga), tapi ada Di María (30 tahun), Agüero (30), Higuaín (30), Lucas Biglia (32), Javier Mascherano (34), Éver Banega (29), Otamendi (30), Fazio (31), Cristian Ansaldi (31), Gabriel Mercado (31), serta semua kiper mereka yang di atas 30 tahun. Now or never.

“Jika kami tidak juara, semua dari kami harus menyublim dari tim nasional,” kata Messi akhir tahun lalu, seolah nama besarnya menuntutnya untuk berkata demikian. Entah ia menganalogikan ini sebagai pensiun atau bukan, karena memang mayoritas pemain Argentina di Rusia nanti adalah angkatan tua.

Bertualang di Rusia dengan para pemain kepala tiga bisa berarti positif sekaligus negatif. Positifnya, mereka diharapkan akan lebih semangat. Negatifnya, mereka bisa cepat kelelahan dan kehabisan bahan bakar.

Baca juga: Tuhan, Terima Kasih telah Menurunkan Messi ke Dunia

Kalau dibandingkan dengan negara-negara kandidat juara lain seperti Jerman, Spanyol, Perancis, dan Brasil, Argentina secara umum tergolong lebih lemah. Namun faktor pembeda bagi Argentina ada pada sosok (siapa lagi kalau bukan) Messi.

“Jika Leo oke, tim ini akan lebih banyak di bawah kontrolnya daripada kontrolku,” kata pelatihnya sendiri, Sampaoli.

Momen Pembuktian Lionel Messi (Lagi)

Mau bagaimana tidak membahas Messi, pada akhirnya kalau membicarakan Argentina pasti membicarakan Messi. Bagaimana ia tak kecewa dan putus asa, Argentina selalu kalah di final (Piala Dunia 2014, kemudian Copa América 2015 dan 2016).

“Aku sudah banyak menangis karena kalah di final. Tapi sekarang aku memimpikan hadir lagi di final Piala Dunia, untuk mengangkat pialanya. Itu selalu jadi mimpiku. Setiap kali Piala Dunia datang, perasaan itu bertambah kuat. Aku harap Tuhan menolong kami. Aku harap itu terjadi,” kata Messi.

Argentina adalah salah satu negara yang “paling dekat dengan Tuhan” karena Paus Francis adalah pendukung La Albiceleste. Namun bagi Argentina, Tuhan mereka benar-benar pernah menolong Argentina untuk menjuarai Piala Dunia 1986, apalagi pada momen “Gol Tangan Tuhan” dan “Gol Terbaik Sepanjang Abad” dari Diego Maradona yang menjelma bak Tuhan sungguhan.

Bagi Messi (dan Cristiano Ronaldo), trofi Piala Dunia adalah pembuktian pamungkas mereka berdua sebagai pemain terbaik dunia, bahkan sepanjang masa.

Celakanya, ini bisa jadi Piala Dunia terakhir mereka, meski Messi “masih” 30 tahun. Bedanya dengan Ronaldo (33 tahun), Messi bahkan tak pernah jadi sekadar juara konfederasi (Copa América). Ronaldo pernah juara Piala Eropa 2016 bersama Portugal.

Itu semua membuat Piala Dunia 2018 ini jadi momen penentuan untuk Messi. Kalau diforsir dan gagal, Messi harus ingat, ia masih punya Copa América 2019 dan 2023, serta Piala Dunia lagi di 2022 kalau ia mau.

Masalahnya di Piala Dunia kali ini, menurut saya, Argentina tergabung di “grup neraka” bersama Islandia, Kroasia, dan Nigeria. Ada kemungkinan, meski kecil, untuk Argentina tersingkir di babak grup.

Jadi, kalau gagal juara kali ini, jangan pensiun dulu, ya, Messi. Jika pensiun sehabis gagal, seperti di kutipan Sampaoli di paragraf pertama, pistolnya bakal meledak sungguhan di kepala Messi; cuma yang menarik pelatuknya, ya, Messi sendiri. Dan sepakbola akan selamanya berutang Piala Dunia pada Messi.

Komentar