Mourinho Bagaikan Kacang Lupa Kulitnya

Taktik

by redaksi

Mourinho Bagaikan Kacang Lupa Kulitnya

Akhir-akhir ini ramai orang berbicara tentang taktik negative football. Sebuah taktik bertahan dengan menumpuk pemain sebanyak-banyaknya di depan gawang. Berbicara soal bertahan orang selalu akan teringat pada Italia.

Bertahan adalah budaya yang mengakar di Italia. Kenapa Catenaccio bisa populer di Italia karena taktik itu memang sejalan dengan masyarakat Italia.

Lantas kenapa hal itu bisa terjadi? Di Italia hasil akhir adalah segalanya. Sepakbola hanya dilihat dari satu ukuran statistik: menang atau kalah. Gialuca Vialli dalam buku The Italian Job memberikan komparasi menarik terkait budaya sepakbola Italia ini. Kali ini ia membandingkannya dengan Inggris, negara sepakbola modern berasal. Mengkomparasikan Inggris dan Italia memang amatlah timpang. Inggris selalu identik dengan menyerang dan Italia malah sebaliknya.

Dalam bukunya itu Vialli menganalogikan kultur kedua negara ini dengan dua petinju amatir. Sebut saja petinju A dan petinju B.

Saat bertanding, petinju A adalah petarung yang agresif. Ia akan menyerang lawannya tanpa ampun. Pertahanan terbaik adalah menyerang, itulah filosofi yang diembannya. Di atas ring, petinju A ingin menunjukan hasil latihan kerasnya sepanjang tahun kepada penonton. Ia bertarung memakai hati.

Lain hal dengan petinju B. Saat bertarung, ia lebih bersabar. Badannya melenggak meliuk menahan segala gempuran. Orang akan jemu dan kelu meliat tingkahnya yang enggan menyerang. Ia menunggu momen yang pas, hingga akhirnya hook matang ia hantamkan kepada lawannya. Si petinju B bertarung memakai otak dan menggunakan kalkulasi.

Bagi petinju A, menang dan kalah adalah dinamika kehidupan. Maka ia siap menanggung segala konsekuensi dari sebuah pertarungan: jadi pemenang atau pecundang sama saja. Hal yang paling penting adalah bertarung dengan hati.

Ini berbanding terbalik dengan petinju B. Baginya, pertarungan adalah bagian dari hidup dan mati. Karena itu, ia pikirkan segala cara agar tetap terus bertahan hidup, tak peduli apapun caranya dan ketidaksukaan orang padanya.Toh dalam benaknya hasil lebih dihargai orang daripada proses.

Pasti Anda sudah bisa menebak mana petinju yang merepresentasikan sepakbola Italia, bukan?

Dari analogi diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa: “di Italia sepakbola adalah pekerjaan, sementara di Inggris sepakbola adalah permainan”. Demikian kata Vialli. “Inggris bermain dengan hati, Italia bermain dengan otak” tak peduli apapun cercaan orang kemenangan mesti didapat meskipun dengan bermain ultra defesive sekalipun. Budaya ini yang membuat Italia selalu bermain menunggu, menunggu dan menunggu sampai lawan lengah.

Lantas saat ada yang mencerca Carlo Ancelloti saat memaikan permainan yang defesif saat Real Madrid menghadapi Bayern Munich tentu itu adalah hal naif. Ancelloti adalah seorang Italia, budaya bertahan ala italia tentu sudah mengakar kuat dalam dirinya.

Sebuah anomali jika budaya bertahan ini diadopsi saklek oleh pelatih yang lama menghirup aroma kompetisi sepakbola Inggris dan Spanyol seperti Jose Mourinho. Semua orang mahfum bahwa kick and rush ala Inggris memaksa orang untuk terus menyerang dan menyerang. Sepakbola Spanyol pun menganut filosofi seperti matador yang bertarung habis-habisan. Budaya bertahan jelas bukan kultur yang mengakar kuat dalam sepakbola Portugal - negara tempat Mou berasal. Negara di semenanjung Iberia itu lebih mirip cenderung seperti Brazil. Jika menilik asal-usul kedua pelatih ini, wajar saja jika Mou mendapat sorotan lebih ketimbang Ancelloti.

Lantas darimana sebuah pemikiran pragmatisme Mou itu didapat?

(wam)

Komentar