Sepakbola Butuh Break, Tapi Bukan Winter Break

Sains

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Sepakbola Butuh Break, Tapi Bukan Winter Break

Louis van Gaal, manajer Manchester United, berkata bahwa ketidakadaan winter break adalah “hal yang paling kejam dari budaya di Inggris” dan “itu sangat tidak baik bagi Inggris.”

Claudio Ranieri juga sependapat dengan Van Gaal. “Akan jauh lebih baik untuk memberikan libur kepada para pemain selama 15 hari setelah Natal, ini sangat penting untuk mengisi ‘baterai’ mereka, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental,” kata Ranieri yang berhasil membawa Leicester City bertengger di peringkat dua klasemen sementara Liga Primer Inggris sampai pekan ke-21.

Manuel Pellegrini, Mauricio Pochettino, Roberto Martinez, dan bahkan Sam Allardyce juga berpendapat bahwa kesebelasan asal Inggris akan memiliki performa yang lebih baik di kompetisi Eropa jika Inggris menerapkan winter break. Benar begitu?

Dari 53 liga domestik di Eropa, hanya enam saja yang tidak menerapkan winter break atau jeda musim dingin. Mereka adalah Inggris, Irlandia Utara, Israel, Skotlandia, Spanyol, dan Wales.

Sebenarnya masih 11 liga lagi, yaitu Belarusia, Estonia, Finlandia, Irlandia, Islandia, Kazakhstan, Kepulauan Faroe, Latvia, Lithuania, Norwegia, dan Swedia. Namun, mereka tidak masuk ke dalam pembahasan kali ini karena liga mereka memang tidak terpotong musim dingin (sudah selesai sebelum musim dingin tiba).

Tidak seperti kita di Indonesia, Benua Eropa memiliki musim dingin dan musim panas. Sehingga secara umum akan terdapat dua “waktu liburan” bagi mereka.

Dari seluruh kompetisi liga di dunia, memang hanya liga di Benua Eropa saja yang memiliki jeda musim dingin. Jeda ini rata-rata berlangsung selama 10 hari sampai dua pekan, meskipun pada kasus khusus bisa sampai satu bulan seperti Jerman di musim ini (19 Desember sampai 22 Januari).

“Di Inggris, saya tidak pernah menemukan kesulitan untuk bermain saat Natal dan Tahun Baru,” kata Robert Pires kepada FourFourTwo.

Pires adalah salah satu pemain yang menjuarai Piala Dunia 1998 dan Euro 2000 bersama Prancis. “Saya senang bermain pada Boxing Day. Itu lah yang terjadi di Inggris. Orang pergi (menonton pertandingan) bersama keluarga mereka dan menciptakan atmosfer yang luar biasa,” katanya.

Masalahnya, ini bukan lah soal suka atau tidak suka dan juga ingin atau tidak ingin jika kita membicarakan pertandingan di periode Natal dan Tahun Baru, melainkan soal butuh atau tidak butuh.

Winter break dapat merusak match fitness

Dari sudut pandang pemain, terus bermain tanpa terpotong libur adalah salah satu cara untuk tetap mempertahankan ritme permainan. Masalah yang biasa dihadapi para pemain jika mereka liburan biasanya adalah untuk mengembalikan ritme atau performa mereka sebaik sebelum liburan. Kita mengenal istilah ini dengan nama “match fitness” di mana seorang pemain dinyatakan bugar untuk bertanding. Tidak semua pemain sehat adalah mereka yang match fit.

Pada jeda musim dingin, pemain Eropa (kecuali biasanya Spanyol dan Turki) cenderung akan pergi ke tempat yang lebih hangat. Tidak jarang juga ada kesebelasan yang melakukan latihan berintensitas rendah sambil sesekali menjalankan pertandingan persahabatan di daerah yang lebih hangat, misalnya saja Bayern Munchen yang sudah lima tahun terakhir ini selalu menghabiskan winter break mereka di Aspire Academy Doha, Qatar; untuk kepentingan kebugaran, liburan, maupun bisnis.

“Kesegaran mental yang didapatkan dari liburan Natal akan menghilang enam bulan kemudian ketika pemain sudah lebih banyak lagi bermain dan bepergian,” kata Paul McVeigh, mantan pemain Tottenham Hotspur dan Norwich City yang sekarang menjadi psikolog olahraga di Crystal Palace.

“Jika Anda tidak berlatih selama beberapa pekan, ketajaman mental Anda akan terkikis dan Anda malah mendapatkan kerugian dari break,” lanjutnya. “Saya pikir saya tidak butuh mental break di tengah musim, yang penting adalah saya punya waktu satu hari untuk mempersiapkan setiap pertandingan.”

Break dari latihan dan pertandingan sebenarnya akan menyediakan kesempatan bagi tubuh untuk melakukan pemulihan. Namun jika break tersebut terlalu lama, itu justru akan membuat pemain kehilangan kebugaran yang selama ini mereka bangun.

Kami pernah menulis bahwa semakin banyak latihan dan pertandingan, maka akan semakin besar kemungkinan cedera. Tapi ternyata tidak semua ahli sains olahraga sependapat.

“Semakin sering latihan, akan semakin tinggi tubuh mengalami stres dan semakin tinggi juga kemungkinan cedera,” kata Barry Drust, seorang profesor di Liverpool John Moores University. “Namun ada potensi yang sebaliknya justru akan terjadi. Semakin jarang latihan dan bertanding, tubuh akan semakin tidak siap dengan tuntutan permainan dan kemungkinan cedera akan semakin tinggi lagi.”

Menurut laporan dari Elite Club Injury Study dari UEFA, sebenarnya persebaran kasus cedera antara sebelum dan setelah musim dingin itu hampir merata di seluruh Eropa. Namun pada separuh musim kedua, ada risiko cedera yang lebih tinggi di Inggris.

Pemain di Liga Inggris kemungkinan dua kali lipat akan mengalami cedera di Bulan Januari, Februari, dan Maret, dibanding dengan liga Eropa lainnya yang menerapkan winter break. Sementara pada April dan Mei, risiko ini naik lagi menjadi empat kali lebih tinggi. Cedera metatarsal yang terkenal dari David Beckham (April 2002) dan Wayne Rooney (April 2006) adalah dua contoh cedera yang terjadi karena tulang mengalami kelelahan.

Berdasarkan laporan di atas, sejujurnya Inggris (dan lima liga lainnya) membutuhkan winter break. Hanya saja memang jangan terlalu lama, misalnya satu pekan saja.

Komentar