Hooliganisme dalam Rivalitas West Ham vs Manchester United

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Hooliganisme dalam Rivalitas West Ham vs Manchester United

Oleh: Toni Sugianto

Pada lanjutan Premier League musim 2020/2021 pekan ke-11, Manchester United akan bertandang ke London Stadium untuk menghadapi West Ham United. Manchester United sampai artikel ini ditayangkan harus puas berada di peringkat sembilan dengan mengoleksi 16 poin hasil dari empat kemenangan, satu hasil imbang, dan tiga lainnya berujung kekalahan.

Nasib lebih baik diterima West Ham. Mereka bercokol di peringkat kelima klasemen dengan mengoleksi 17 poin. Tim asuhan David Moyes ini berhasil meraih lima kemenangan, tiga kekalahan, dan dua lainnya berakhir imbang.

Rivalitas kedua tim ini memanglah tidak begitu spesial, karena kedua tim ini tidak memiliki riwayat masa lalu yang buruk. Lalu, apakah Manchester United dan West Ham United tak memiliki kisah spesial? Oh, pasti punya.

Salah satu momen yang akan selalu dikenang oleh fans West Ham adalah ketika terakhir kali menggunakan stadion “keramat” mereka, Stadion Boleyn Ground. Saat itu, West Ham berhasil mempecundangi Manchester United dengan skor 3-2.

West Ham yang saat itu tidak diunggulkan, seakan menerima energi besar dari stadion yang telah mereka gunakan sejak 1904 itu. Para pemain West Ham tampil spartan di sepanjang laga. Para penonton yang hadir di stadion pun, tak henti-hentinya bernyanyi dan berteriak demi memberikan kesan manis di laga terakhir mereka.

Boleyn Ground sudah memberikan banyak kisah manis dan pahit bagi West ham selama lebih dari 100 tahun. Banyak sekali pemain-pemain besar, tumbuh dan berkembang disana. Mulai dari Michael Carrick, Carlos Tevez, Dimitri Payet, hingga legenda-lengenda mereka seperti Bobby Moore, Sir Trevor Brooking, dan Sir Geoff Hurst, pernah merumput di stadion itu.

Sedangkan bagi Manchester United, kemenangan comeback mereka atas West Ham pada tahun 2011 lalu, menjadi salah satu momen penting saat meraih gelar Premier League musim itu. Bagi West Ham, kekalahan tersebut semakin menyulitkan mereka untuk keluar dari zona degradasi.

Bahkan, pada musim itu West Ham harus menjadi juru kunci klasemen, sekaligus menghantarkan mereka degradasi ke Divisi Championship. The Hammers unggul terlebih dahulu, berkat dua goal penalti Mark Noble. Namun, tim asuhan Sir Alex Ferguson membalas dua goal tersebut melalui hat-trick yang diciptakan Wayne Rooney dan satu goal dari Javier Hernandez.

Sisi Kelam Hooligans Manchester United

Hooliganisme seolah menjadi bagian dari budaya sepakbola di Inggris. The Red Army seakan memiliki ikatan yang sangat erat dengan aksi kerusuhan.

Hooliganisme di Inggris yang terjadi sejak pertengahan 1970-an itu selalu diidentikan dengan The Red Army. Kelompok garis keras suporter MU ini selalu datang dengan jumlah yang besar. Mereka berbondong-bondong datang menggunakan kereta maupun menaiki bus.

Tidak peduli jarak yang jauh, hujan atau cerah, tetap saja mereka ada di sana, berdiri dan tidak berhenti menyanyikan chant-chant selama pertandingan berlangsung. Konon kabarnya, julukan Red Army bagi Manchester United terinspirasi dari hooligans mereka yang selalu datang dengan jumlah yang banyak ke berbagai tempat.

Jika hooligans lain identik menggunakan pakaian casual demi mengelabui kepolisian setempat, berbeda dengan The Red Army. Mereka menggunakan pakaian serba hitam demi menunjukkan eksistensi mereka. The Red Army dipimpin oleh seorang bernama Tony O’Neill. Tony merupakan seseorang yang mendedikasikan hidupnya untuk Manchester United.

Meski tak dapat bayaran, Tony rela melakukan apa pun termasuk mengorbankan nyawanya demi Manchester United. Dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Man In Black” ia menceritakan kisah-kisah heroik kelompoknya saat mendukung Manchester United.

Salah satu aksi gila yang dilakukan Tony adalah saat menusuk suporter Blackpool hingga tewas. Saat itu, Manchester United tengah melakoni laga tandang menghadapi Blackpool, dalam lanjutan Divisi II Inggris pada musim 1974.

Tony yang saat itu hendak memasuki The Kop Spion di Bloomfield Road, menemukan seorang suporter muda Blackpool yang tengah memprovokasi mereka. Tony yang melihat aksi tersebut, tersulut emosi dan mengejar pemuda itu.

Nasib sial menghampiri pemuda itu, dia malah berlari menuju jalan buntu. Tony langsung menyerang anak itu dengan pisau yang sudah dia siapkan untuk laga tersebut. Pemuda itu tewas seketika di tangan Tony.

Akibat dari kejadian itu, Tony harus menerima nasib masuk penjara dan tidak boleh menginjak seluruh stadion yang ada di Inggris hingga tahun 2001.

West Ham vs Manchester United yang Lebih Menarik di Luar Lapangan.

Kisah menarik antara kedua kesebelasan justru lahir di luar lapangan. Suporter dari masing-masing tim memiliki rivalitas yang cukup panjang. Bahkan, paham hooliganisme yang tersebar di dunia termasuk Indonesia, dipelopori oleh kedua suporter tersebut.

Kedua fans garis keras dari masing-masing kubu, rela melakukan apa pun demi tim kesayangan mereka. Meninggalkan semua aktivitas penting, menjual barang kesayangan, hingga menempuh jarak yang cukup jauh demi menonton pertandingan akan mereka lakukan.

Rivalitas antar keduanya tidak hanya tentang mendukung klub, namun merambah hingga adu kuat soal baku hantam. Keduanya sering kali terlibat perkelahian saat Manchester United berhadapan dengan West Ham.

Dari kubu Manchester United, The Red Army (hooligans Manchester United) sering membuat kerusuhan saat mereka melakoni laga tandang. Saat Manchester United menghadapi tim rival di laga away, mereka bisa datang lebih banyak ketimbang suporter tim tuan rumah.

Mulai dari Chelsea, Arsenal, hingga Liverpool, pernah merasakan itu. Misalnya saja saat pertandingan melawan Liverpool di Anfield pada 2006 silam. 5 orang dari The Red Army membuat kekacauan dan berhasil menginvasi lapangan tersebut.

Sedangkan Inter city firm (hooligans West Ham) tersohor akan aksi rasialisme kepada siapa pun yang berbeda paham dengan mereka. Firma ini tak segan menghajar orang-orang yang mengganggu saat mereka sedang mendukung West Ham.

Mulai dari suporter lawan, polisi, bahkan hingga suporter West Ham sendiri, akan mereka habisi. Ciri khas dari hooligans ini selalu menggunakan pakaian yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola. Maka tak heran, gaya Casual yang mendunia oleh suporter bola, konon katanya dipelopori oleh firma ini. Meski besar di London, Inter city firm memiliki masa yang cukup banyak di berbagai kota di Eropa. Seperti Barcelona, Glasgow, hingga Moskow. Bahkan, sekarang banyak orang Asia dan Amerika yang mengaku sebagai bagian dari Inter city firm.

Awal rivalitas antar kedua kelompok suporter ini terjadi saat Manchester United harus terdegradasi ke Divisi II pada tahun 1974/1975. Sejak saat itu, Manchester United dan West Ham menjadi sering bertemu. Pertemuan antar keduanya selalu diwarnai oleh bumbu-bumbu kekerasan antar suporter.

Federasi Sepakbola Inggris (FA) selalu memberikan pengamanan ekstra saat kedua tim bertemu. Namun pengamanan ketat itu pun seakan sia-sia. Mereka selalu memiliki cara untuk saling baku hantam.

Dalam beberapa pertemuan antar keduanya, sudah tak terhitung korban luka hingga cacat yang berjatuhan. Bahkan, tiga suporter West Ham dan satu suporter Manchester United harus merenggut nyawa mereka saat menyaksikan kedua tim ini bertanding.

Aksi kedua hooligans tersebut, sempat diabadikan dalam sebuah film dokumenter berjudul “Hooligans 1985”. Dalam film tersebut, diperlihatkan The Red Army dan Inter city firm terlibat baku hantam cukup besar di dalam dan luar stadion.

Saat itu kelompok Hooligans West Ham United melakukan perjalanan away ke Old Trafford dalam pertandingan Piala FA Putaran ke-6. Mereka melakukan provokasi terhadap suporter tuan rumah dengan melakukan chant bernada rasialis dan melemparkan flare (kembang api)

Aksi saling lempar batu dan flare hingga pertarungan bak pegulat profesional tak dapat terhindarkan. Hal tersebut merupakan sebuah aib bagi Pemerintahan Inggris dan FA, yang saat itu sedang membangun kembali sepakbola mereka setelah berbagai kegagalan di ajang Piala Dunia.

Hooliganisme saat ini

Terjadi pergeseran karakteristik antara hooligan di masa lalu dan saat ini. Jika jaman dulu hooligan Inggris identik dengan mereka yang bertato, pemabuk, berpenampilan lusuh, dan kebanyakan dari mereka adalah pengangguran, maka hal tersebut tak terjadi pada saat ini.

Saat ini, hooligans-hooligans Inggris kebanyak adalah mereka yang terpelajar, memiliki pekerjaan tetap, berbadan kekar dengan penampilan yang maskulin. Tak sedikit juga dari mereka yang kini menggunakan pakaian klub kebanggaan mereka.

Namun ada satu yang tak berubah. Mereka tetap menjadi hooligans yang gemar membuat rusuh dan meresahkan siapapun yang menghalangi mereka saat mendukung tim kesayangannya. Alih-alih Memakai kendaraan khusus untuk suporter yang disediakan, mereka pergi sendiri untuk menghindari perhatian polisi. Alhasil, keberadaan mereka sulit dideteksi oleh aparat keamanan.

Pada pertandingan yang akan tersaji Sabtu nanti, romantisme kelam antar kedua suporter tersebut menjadi banter yang tak lekang oleh waktu. Apalagi semenjak Pandemi Covid-19 menyerang dunia, termasuk Inggris, kedua suporter sudah tidak bisa bertemu lagi. Jangankan untuk berkelahi seperti masa lalu, bertatap muka pun sepertinya sulit bagi mereka.

* Penulis merupakan seorang “barista” yang tidak suka kopi dan soda. Dapat ditemui melalui Twitter dan Instagram @tonaaiiii

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar