Tentang VAR dan Gol Siluman yang Disahkan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Tentang VAR dan Gol Siluman yang Disahkan

Oleh: Masdar Hilmi*

Sepakbola sempat beberapa kali melakukan perubahan aturan. Dalam hal teknologi, misalnya, penggunaan Video Assistant Referee atau VAR digunakan untuk membantu wasit dalam mengambil keputusan. Perubahan lain misalnya mengenai aturan backpass yang sejak 1992 tidak boleh lagi ditangkap dengan tangan oleh kiper.

Peraturan sepakbola dalam Laws of the Game hanya bisa diubah oleh International Football Association Board atau IFAB yang mempunyai delapan anggota. FIFA memiliki empat perwakilan. Empat lainnya diisi anggota federasi sepakbola dari Britania Raya: Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Keanggotaan keempatnya bisa dikatakan berakar dari asal usul sepakbola modern yang berkembang dari Britania. Peraturan sepakbola sekarang banyak berasal dari Britania Raya khususnya Inggris.

IFAB sebagai penjaga Laws of the Game dikenal sangat kaku. Beberapa perubahan memerlukan waktu tak sedikit untuk bisa diimplementasikan dalam permainan. VAR baru digunakan memasuki 2010-an. Padahal di saat yang sama telah banyak olahraga lain beberapa tahun lebih dulu melakukannya.

Tekanan menggunakan VAR untuk membantu kinerja wasit makin besar semenjak 2010. Sebagai contoh, tendangan Frank Lampard ketika Inggris melawan Jerman pada babak 16 besar Piala Dunia 2010 yang tidak disahkan wasit padahal bola sudah melewati garis gawang. Lalu handsball Thierry Henry sebelum memberi umpan gol ketika Perancis melawan Irlandia saat play-off Piala Dunia Zona Eropa yang justru disahkan wasit. Belum lagi insiden lain di tataran liga lokal. Gol-gol “siluman” yang terjadi atau tidak disahkan tersebut bisa sangat merugikan tim yang tengah berjuang meraih hasil maksimal.

Beberapa waktu lalu, ketika Marco van Basten masih menjabat Chief Officer for Technical Development FIFA, ia meluncurkan ide yang terbilang radikal untuk diterapkan dalam sepakbola. Beberapa ide itu mengadopsi dari cabang olahraga lain. Misalnya penggunaan sin bins alih-alih kartu kuning di mana pemain yang melakukan pelanggaran akan diusir sementara dari lapangan selama beberapa waktu. Pemain yang bersangkutan kemudian diperbolehkan kembali ke lapangan setelah memenuhi jangka waktu pengusiran. Teknis aturan sin bins bisa dilihat pada web IFAB. Lalu ada usulan Van Basten penghapusan soal adu penalti, offside, penambahan jumlah pemain cadangan, hingga mengurangi jumlah pertandingan per musim/tahun. Van Basten tampak mengambil ide dari aturan yang berlaku umum di olahraga lain seperti basket dan rugbi.

Tentu saja semua hal yang baru akan selalu mendapat pertentangan. Banyak reaksi yang mayoritas berupa penolakan ide-ide tersebut. “Invasi” aturan tersebut bisa jadi menghilangkan kekhasan sepakbola itu sendiri. Membayangkan penalti ala hoki, penghapusan offside, hingga sin bins, memang serasa tidak sepakbola sama sekali. Entah bagaimana jika hal itu benar-benar diterapkan meski hanya satu ide saja. Namun tampaknya perkembangan ide-ide Van Basten tersebut mulai tenggelam. Meski ternyata uji coba sin bins telah dilakukan di liga level bawah dalam struktur sepakbola Liga Inggris.

Sementara kebutuhan akan perubahan sebenarnya memang hakiki dan alami. Misalnya bagaimana meminimalkan terjadinya gol siluman. Baik gol siluman yang seharusnya tidak ada namun disahkan, atau gol yang sah namun menjadi siluman karena dianulir.

Terampasnya hak tim karena gol siluman seharusnya seharusnya tak dianggap sekadar bumbu sepakbola. Kerugian akan hal itu sangat besar dari gagal ke melaju Piala Dunia, terdegradasi ke level bawah, hingga kemungkinan kehilangan uang yang besar dari industri sepakbola yang semakin komersil.

Terlalu banyak kontroversi bisa jadi akan menurunkan minat pada sepakbola. Melawan perubahan jelas bukan hal yang mudah. Banyak yang akan berjuang menyesuaikan diri akan perubahan. Meski perubahan tidak selalu berakhir baik, entah karena menimbulkan resistensi atau memang proses perubahan yang dikehendaki memang ada kesalahan.

Seperti VAR yang awalnya dicerca karena dianggap mengurangi wibawa wasit. Namun kebutuhan mengurangi kontroversi sepertinya akan membuat VAR lambat laun menemukan tempat dalam sepakbola. Hal itu ditopang seiring perkembangan teknologi yang makin canggih. Perputaran uang yang bisa dikatakan besar seharusnya tak menjadi halangan penggunaan VAR. Akan menjadi ironi jika gol-gol siluman disahkan sementara gol bersih justru dianulir karena dianggap offside terlalu banyak terjadi. Kerugian bagi tim yang mengalami bisa tak terbayangkan. Meski VAR sepertinya akan tetap menempuh jalan panjang menuju kemapanan.

foto: CNN International


*Penulis berprofesi sebagai guru. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @hilmi_masdar

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar