Kejayaan di Atas Reruntuhan Delle Alpi

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kejayaan di Atas Reruntuhan Delle Alpi

Oleh: Fahmin*

Italia terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 1990 untuk kedua kalinya sejak 1934 ketika Giampiero Combi mengangkat Piala Jules Rimet di negaranya sendiri. Beberapa kota ditunjuk sebagai tempat penyelenggara, salah satunya adalah kota Turin, ibu kota region Piomente, kota yang terletak di bagian tersempit Lembah Po,  dan berjarak kurang dari 100 kilometer dari perbatasan Prancis.

Pemerintah setempat pun mulai membangun sebuah stadion baru dan mengabaikan keberadaan Stadion Comunale yang sudah berdiri terlebih dahulu. Mereka menilai Stadion Comunale sudah terlalu kuno. Pegunungan Alpen sebagai lanskap utama kota Turin menjadi ide penamaan stadion baru mereka:  Alpi dalam bahasa Italia berarti Alpen; Delle Alpi berarti pegunungan Alpen.

Pada 31 Mei 1990 Delle Alpi resmi dibuka. Utusan dari Portugal, F.C Porto, diundang sebagai lawan tanding bagi skuat yang berisi campuran pemain Torino dan Juventus, dua kesebelasan Turin yang selanjutnya menjadi tuan tanah bagi Delle Alpi.

Pada pergelaran Piala Dunia, stadion ini menjadi saksi ketika gol tunggal Canigia menghempaskan Brasil di perdelapan final. Atau saat 62,628 pasang mata di Delle Alpi menjadi saksi ketika  air mata Paul Gascoigne jatuh sesaat sebelum Inggris harus takluk lewat adu penalti dari Jerman Barat di semifinal, sekaligus menjadi bagian cerita bahwa skuad The Three Lions memang tak becus dalam urusan adu tendangan penalti. Inggris harus tersingkir dan merelakan Lotthar Mathâus dan kolega melenggang ke final menjumpai Argentina yang dipimpin Maradona.

Namun rekor stadion tercatat ketika sekitar 65.000 supporter—dari total kapasitas 69 ribuan kursi—hadir Torino bermain imbang 2-2 dengan Ajax Amsterdam di babak final Piala UEFA. Kala itu, Ajax diasuh oleh Louis van Gaal.

Ironisnya, dengan kapasitas sebesar itu, banyak fans yang menyebut Delle Alpi sebagai stadion yang tak bernyawa. Tak ada keriuhan di sana. Kemeriahan itu lindap sebab suporter yang datang tak sebanding dengan besarnya stadion. Lintasan maraton di sisi lapangan menjadi alasan para penggemar lebih memilih menonton di rumah daripada harus menyaksikan dari jarak yang jauh di tribun.

Tapi kenyataan bahwa Delle Alpi pernah manjadi rumah bagi pemain sekaliber Alessandro Del Piero, Roberto Baggio, dan Zinedine Zidane, menjadi romantisme yang disuguhkan oleh panggung Delle Alpi pada setiap pekannya. Khususnya bagi Juventini. Ya, pada periode 1990 hingga 2006 lebih banyak dihabiskan Torino untuk bermain di kasta bawah, pada periode yang sama Delle Alpi seoalah menjadi identitas Juventus.

Fergie Time Effect tak akan pernah dilupakan oleh publik Delle Alpi sama seperti mereka akan terus mengenang ketika ribuan supporter masuk ke lapangan dan melucuti celana Inzaghi pada perayaan scudetto ke-25, atau juluran lidah Alessandro Del Piero ketika menghempaskan lawan-lawannya. Sebanyak tujuh scudetto (termasuk dua scudetto yang dibatalkan) serta satu trofi Liga Champions berhasil mereka bawa pulang saat bermain di Delle Alpi.

Barangkali ada banyak hal yang dipertimbangkan, tapi romantisme menjadi alasan yang menguatkan. Akhirnya pada 2003, F.C Juventus mengakuisisi stadion ini sepenuhnya dari pemerintah Turin dengan mahar sekitar 25 juta euro.

Tapi kisah ironis itu datang, justru ketika ide pembangunan stadion baru mulai dicanangkan, skandal Calciopoli pelan-pelan mulai menyeret Juventus ke buritan. Kasus ini yang membuat Juve harus merelakan dua scudetto mereka melayang. Bukan cuma itu, Luciano Moggi pun dilarang beraktivitas di sepakbola, para pemain bintang perlahan menghilang, pengurangan poin, serta harus terdegradasi ke Serie B untuk pertama kalinya dalam sejarah, merupakan buntut dari skandal Calciopoli.

Masa perombakan Delle Alpi  berbanding lurus dengan masa-masa kepayahan Juventus untuk meraih kembali kejayaan lama mereka. Soalah-seolah mereka tidak kerasan dengan rumah sementara mereka. Selain juara Serie B, praktis tak ada trofi yang mereka dapat selama hidup di bawah naungan Stadion Olimpico.

Baca juga: pengalaman Bayu Adi Persada yang mengunjungi Juventus Stadium di sini.

*


Pada 8 September 2011 Juventus akhirnya resmi membuka stadion baru. Sebuah stadion yang dibangun di atas reruntuhan Delle Alpi. Ditandai dengan laga pembuka melawan Notts County, klub memiliki keterikatan dan mengilhami kostum hitam-putih Juve.

Stadion yang diberi nama Juventus Stadium didesain menyerupai stadion-stadion Inggris. Tak ada lagi running track di sekeliling lapangan. Jarak 7,5 meter merupakan jarak antar tribun terdekat dengan sisi lapangan yang membuat ruang dengan penonton menjadi begitu dekat.

Meskipun tempat duduk menyusut hingga 15.000 dari kapasitas awal Delle Alpi, namun justru itu membuat tribun di Juventus Stadium tampak penuh pada setiap pertandingan. J-Stadium pun menjadi pionir stadion modern di Italia.

Lebih dari itu, Juventus seolah menemukan momentum untuk lahir kembali. Mereka menemukan alasan untuk memulai lagi kejayaan yang seolah-olah sempat terkubur bersama dengan runtuhnya Delle Alpi serta reputasi yang sempat terpendam karena skandal calciopoli. Benar saja, sejak mereka pindah ke J Stadium, mereka berhasil meraih gelar scudetto empat kali beruntun, satu gelar Coppa Italia, dan dua gelar Piala Super Italia.

J-Stadium berdiri dengan nyawa dan marwah Delle Alpi di dalamnya. Dari sana, setiap musim Si Nyonya Tua memulai perjalanan mereka guna merajut kembali kejayaan mereka.

foto: ilgarlloparlente.org

*Bangunkan saya jika sudah berada di depan Mol Antonelliana, atau saat sudah terdampar di perairan Venezia. Berakun twitter @vchmn22

Komentar