Apa Menariknya Menjadi Fans Kesebelasan Semenjana?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Apa Menariknya Menjadi Fans Kesebelasan Semenjana?

Ditulis oleh Ferri Ahrial

Di negeri ini ada banyak kelahiran, salah satunya, kelahiran kelompok penggemar sepakbola Eropa yang semakin lama semakin lazim.

Eksistensi penggemar klub Eropa, mulai dari klub bernama besar hingga yang paling semenjana, perlu disambut dan diakui secara serius. Kendati demikian, istilah penggemar ‘karbitan’ dan penggemar ‘plastik’ tak jarang terdengar di kuping kita. Menandakan bahwa polemik tentang kegemaran sepakbola Eropa belum usai alias masih dalam tahap pencarian.

Tulisan ini sebetulnya merupakan salah satu respons serius, menentang pemikiran banyak kalangan terhadap kemunculan penggemar klub-klub baru di Indonesia. Di pemikiran itu, kurang lebih, mereka berpendapat bahwa kelompok penggemar klub semenjana hanyalah sebuah pencarian sensasi belaka, tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang lebih logis.

Kemunculan kelompok penggemar kesebelasan semenjana seperti Queens Park Ranger, Torino FC, Athletic Club, atau Westham United, memang suatu hal yang mengejutkan bila dipandang dari sudut pandang ‘menang-kalah’ apalagi ‘juara-tidak juara’. Tentu saja, klub-klub tersebut bukanlah klub yang ideal untuk selalu menang, apalagi selalu juara. Meskipun itu mungkin saja terjadi, akan tetapi, saya berspekulasi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, tidak mungkin pula secara instan.

Selain itu, kelompok-kelompok penggemar klub semenjana ini kerap kali disama-samakan dengan kaum hipster. Bahwa mereka terlahir dari rahim yang bernama trend. Walaupun penilain itu bisa saja benar, tapi saya juga menilai, bahwa hal tersebut bisa juga salah.

Simak beberapa editorial kami mengenai "keputusan aneh" menyoal kegemaran akan sepakbola:

Tentang Lipstik 50 Ribuan Itu...

Sepotong Cinta dalam Kepala Suporter Karbitan


Saya pikir, sepakbola tidak dapat lagi dipandang sebagai suatu terjemahan atas tanah kelahiran, tidak pula atas dasar menang-kalah, juara-tidak juara, dan lain sebagainya.

Sepakbola, dulunya, memang merupakan identitas suatu daerah. Misalnya, orang Bandung dan Jawa Barat yang mendukung Persib atas dasar kecintaan daerah mereka. Atau masyarakat Basque yang secara habis-habisan mendukung Athletic Club di kampung halaman mereka sendiri.

Namun, sepakbola zaman dulu adalah satu hal, dan sepakbola zaman sekarang adalah satu hal. Sepakbola pada saat itu hanya dapat disaksikan di lapangan secara langsung. Jadi, satu-satunya pertandingan sepakbola yang dapat mereka saksikan pada saat itu ialah sepakbola yang digelar di kampung halaman mereka sendiri.

Di era sepakbola modern yang sudah terkemas baik untuk kepentingan industri, sepakbola dapat ditonton langsung hanya dengan menggunakan kabel atau nir-kabel. Sudah tentu, pengertian sepakbola akan mengalami perubahan makna. Sepakbola tidak lagi menjadi sajian kedaerahan, melainkan menjadi sajian semua orang di seluruh dunia.

Tidak heran bila, pendukung sepakbola klub-klub Eropa semakin menyeruak di Indonesia, yang notabene, masyarakatnya ‘haus sepakbola’ yang indah, lebih jauh lagi, ‘haus juara’. Penggemar Manchester City di Indonesia secara mendadak menjadi berjuta-juta akibat kemudahan teknologi dan prestasi yang mereka saksikan di TV. Penggemar Real Madrid, AC Milan, Liverpool, atau Barcelona di Indonesia pun demikian. Masyarakat Indonesia dapat menonton sepakbola Eropa sejak TV masuk ke pelosok kampung. Dan kita secara sinis memandang fenomena ini sebagai ‘karbitan’.

Itu baru satu kasus. Bahwa pada saat sepakbola Eropa baru muncul di TV dan surat kabar Indonesia pada medio 90an. Berbeda lagi dengan pendukung klub-klub semenjana. Kehadiran mereka sering diolok-olok. Misalnya, pendukung Juventus di Indonesia yang menyangsikan kelahiran komunitas pendukung Torino FC di Indonesia beberapa tahun yang lalu. Yang bahkan, keduanya, sempat menggelar kegiatan nonton bersama partai derby di Bandung pada 2014 lalu.

Klaim sinis terhadap ‘pencarian sensasi’, agaknya patut disanggah. Sepakbola modern yang tidak bersifat kedaerahan ini telah memberi peluang pada segala kemungkinan.

Nilai-nilai primordiarlistis sudah lama terhapuskan sejak kemajuan teknologi dan informasi. Apalagi, ada banyak klub sepakbola Eropa kenamaan yang menggelar tur ke Indonesia dan berbagai benua lainnya. Semuanya menjadi mungkin. Sepakbola menjadi meluas, tidak lagi hanya menyoal nama daerah.

Kemungkinan yang dimaksud ialah untuk menikmati sepakbola bukan dari segi ‘menang atau kalah’, juara atau tidak juara’, tanah kelahiran atau bukan tidak tanah kelahiran, plastik-organik. Melainkan penggemar klub-klub semenjana itu juga sudah pasti memperhatikan budaya sepakbolanya: menyukai seni dalam sepakbola.

Seperti orang Indonesia yang bersikap fanatik terhadap Oasis, The Beatles, L’arc en Ciel, Sigur Ros dan lain-lain: Mereka tidak lagi mempersoalkan ideologi Timur atau Barat. Selagi lagunya dapat mereka nikmati, tidak ada yang mampu menangkis gairah mereka untuk menempatkan diri sebagai penggemar.

Sama seperti musik, sepakbola itu timeless. Siapapun tidak pernah salah bila baru mendengarkan tembang-tembang The Beatles hari ini bahkan suatu saat nanti. Begitu juga sepakbola, siapapun tidak pernah salah bila baru menyukai Real Madrid, oleh karena baru saja menyaksikan penampilan mereka di TV.

Jadi, sepakbola menurut pandangan penggemar klub-klub semenjana di Indonesia dapat dinilai sebagai suatu apresiasi positif terhadap keindahan sepakbola. Bukan ‘menang atau kalah’, tapi ‘indah atau tidak indah’, bukan daerah kelahiran atau tidak daerah kelahiran’ melainkan ‘cocok atau tidak cocok’ bukan ‘juara atau tidak juara’ melainkan ‘berjuang atau tidak berjuang’.

 Penulis dapat dihubungi lewat akun Twitter @ferriahrial

Komentar