Hipster Atau Bukan, Mendukung Klub Kecil adalah Soal Konsistensi

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Hipster Atau Bukan, Mendukung Klub Kecil adalah Soal Konsistensi

Ada berapa tulisan yang seakan memojokkan orang-orang yang mendukung tim medioker, semenjana, atau non-mainstream. Benarkah tujuannya hanya untuk mencari sensasi belaka?

Saya meyakini, untuk menyukai suatu hal ada banyak penyebabnya, juga alasannya, termasuk alasan yang tidak masuk akal sekalipun. Yang paling banyak dijumpai dan masih menjadi alasan mengapa kebanyakan orang mendukung sebuah kesebelasan karena seringkali memenangi gelar juara. Untuk itu kita sebut saja golongan ini sebagai mayoritas. Orang-orang yang mendukung karena faktor kejayaan semata.

Di lain sisi, ada juga yang disebut minoritas. Golongan minoritas ini adalah mereka yang memiliki selera berbeda karena memilih mendukung kesebelasan medioker. Selera? Ya, saya katakan begitu. Saya katakan karena mendukung sebuah kesebelasan sepakbola adalah selera. Menurut KBBI daring, "selera" berarti (1) kesukaan; (2) kegemaran.

Meskipun banyak orang mengatakan mendukung kesebelasan sepakbola sebagai agama, tapi saya tidak seserius itu. Apalagi untuk mendukung sebuah kesebelasan Eropa.

Seorang teman pernah bertanya, "Apa sih motivasi kamu dukung tim yang termasuk non-mainstream? Apa tujuan sebuah kesebelasan selain juara? Kamu pasti hipster ya?"

Saya hanya bisa tertawa dan ingin mencekoki sambal ke mulutnya. Kebetulan sekali orang yang bertanya adalah fans sebuah kesebelasan besar yang tak kunjung juara liga Inggris sejak ponsel Nokia 3310 menjadi primadona.

Faktanya, penyebab menyukai sebuah kesebelasan tidak melulu muncul dari sisi sepakbolanya sendiri. Ada yang menggemari karena kostum, pemain, sejarah, gerakan politik, budaya tribun, hingga musisi idola. Menurut saya, semua itu sah-sah saja. Seperti pepatah yang mengatakan tak peduli bagaimana kau mengawalinya, tapi bagaimana kau mengakhirinya.

Saya mengibaratkan sebuah kesebelasan sepakbola adalah musisi. Musisi, baik panyanyi solo, duo atau grup, bertujuan untuk bermain musik dan menelurkan karya. Saya jamin, ketika satu atau sekumpulan orang memutuskan menjadi pemusik, ia tak akan langsung mempunyai tujuan memenangkan Grammy sebagai lambang prestisius di dunia musik.

Lalu, apakah musisi yang tidak memenangi Grammy lantas buruk? Apa tujuan musisi sebenarnya? Tentu bermain musik dengan cara mereka masing-masing dan menorehkan karya di blantika musik.

Begitu pula dengan kesebelasan sepakbola. Mereka menjadi wadah untuk bermain sepakbola. Seiring perjalanannya, satu sama lain akhirnya mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan target yang telah dicapainya. Makin sering juara, berbeda pula targetnya dengan yang belum pernah sekali pun juara.

Kita juga harus melihat bahwa pada awalnya, kebanyakan kesebelasan sepakbola yang bersifat profesional dulunya merupakan tim amatir. Mereka jauh dari tujuan merajai dunia, apalagi merancang agenda sebagai salah satu kekuatan finansial atau brand global.

Sebagai contoh, kita bisa lihat bagaimana West Ham United yang baru berganti nama dari Thames Ironworks, sebuah kesebelasan buruh galangan kapal di London di tahun 1900 memutuskan memilih warna claret (merah anggur) dan biru langit agar sehebat Aston Villa yang kala itu menjuarai liga Inggris. Kini keduanya berada satu level kompetisi.

Kesebelasan bola non-mainstream ini mulai banyak meraih perhatian di tanah air seiring makin kuatnya kesadaran kalau sebenarnya ada banyak cara pandang menikmati sepakbola selain kemenangan bertubi-tubi.

Baca juga : Adrenalin Zona Degradasi


Bahkan ada fenomena yang disebut secondary team atau tim kedua. Tim kedua ini adalah tim pilihan selain tim pertama yang didukung (biasanya klub besar). Misalnya, seorang fans FC Barcelona memilih untuk mendukung Newcastle United. Selain karena bosan melihat Barcelona yang menang terus, ia perlu "keseruan" lain yang bikin jantung lebih berdebar. Maka mungkin pilihan jatuh kepada Newcastle. Kebetulan juga, ada faktor Sir Bobby Robson didalamnya.

Dan fenomena tim kedua ini lumrah terjadi bahkan di Inggris sekalipun. Biasanya tim kedua ini dipilih dari klub-klub yang tidak ada di jalur persaingan juara. Biasanya banyak memilih kesebelasan giant killer yang termasuk golongan medioker.

Kita bisa melihat bagaimana tiap musimnya pemain-pemain dari kesebelasan medioker menjadi sesuatu dan akhirnya diambil oleh kesebelasan besar. Matteo Darmian, contohnya.

Saya jadi saksi bagaimana beberapa waktu lalu segelintir fans Manchester United ngomel-ngomel di twitter dan bertanya mengapa tidak membeli Dani Alves saja dan malah membeli pemain dari klub (yang katanya) antah berantah. Ini mungkin jadi bahan tertawaan penggemar klub liga Italia.

Sedikit bercerita tentang seorang teman saya yang bernama Adrie. Dia pendukung Birmingham City. Adrie beralasan, bahwa Birmingham City-lah yang menyelamatkan passion-nya kepada sepakbola.

Semua bermula pada 2003, saat itu Adrie masih mendukung Barcelona. Ia menyukai Birmingham karena di tahun itu ia sempat melihat semangat tak kenal lelah dari The Blues. Birmingham yang kala itu tertinggal 0-2 akhirnya menyamakan kedudukan berkat Mikael Forsell. Skor akhir 2-2. Alhasil, mulailah ia menjadi Bluenose. Menurutnya, motto Keep Right On milik Birmingham City juga menjadi sesuatu di dalam hidupnya.

Terlihat aneh, namun itulah yang terjadi. Kadang ada satu momen yang bisa mengubah hidup anda.

Lain lagi dengan teman saya yang mendukung Torino FC, Ferri. Saya bahkan sempat merasakan ketegangan disoraki cori "Anti-Torino" yang isinya sumpah serapah pendukung Si Nyonya Tua yang memenuhi ruangan saat nobar Derby della Mole. Kala itu saya dan dia (nekad) datang memakai atribut Torino.

Ferri bercerita, awalnya mengamati serunya pertarungan derbi di kota Turin. Selidik punya selidik, ia menemukan informasi bahwa penduduk lokal Turin lebih banyak mendukung Il Granata. Faktornya banyak, salah satunya adalah mayoritas pendukung Torino merupakan kaum pekerja dan memiliki pandangan sosialis, ketimbang Juventus, klub yang disokong dana korporasi Fiat.

Baca juga : Kerusuhan Derby Turin dan Totalitas Kelas Pekerja Torino


Fenomena mendukung tim medioker ini sebenarnya mulai berkembang pesat ketika memasuki era internet. Semua orang bisa melihat tim sepakbola yang "tidak familiar"ÂÂ’ yang jarang ditayangkan di stasiun televisi. Melalui cara ilegal, seperti streaming lewat pc atau tablet atau bahkan sengaja berlangganan tv berbayar, kesebelasan-kesebelasan medioker itu kini dengan gampang bisa disaksikan oleh para penggemarnya.

Selain itu, para pendukung kesebelasan medioker dari Inggris pasti pernah setidaknya memiliki pengalaman mengikuti jalannya pertandingan lewat streaming radio. Ya, radio! Biasanya radio BBC menyiarkan beberapa pertandingan secara langsung. Bahkan terkadang kita harus menyaksikan lewat livescore saja karena tidak ada alternatif lain.

Tercatat, ada banyak akun twitter yang mengatasnamakan fanbase tim non-mainstream dari liga-liga Eropa. Jangan kepalang sinis dulu, karena separuh dari mereka memang ada, dan rajin menonton tim kesayangannya bertanding setiap akhir pekan. Bahkan dini hari saat weekday. Sebagian lagi aktif di kegiatan seperti futsal tiap minggunya.

Boleh percaya atau tidak, saya memiliki teman yang hobi menonton pertandingan dari divisi English League One ke bawah, seperti League Two, bahkan Conference sekalipun, kalau ada yang menyiarkan. Menurutnya, ada sensasi berbeda saat menonton laga dari divisi tersebut.

Bahkan West Ham United mencantumkan beberapa chapter fans West Ham United di Indonesia di laman resminya. Selain itu, West Ham membuat akun twitter resmi berbahasa Indonesia untuk lebih dekat dengan penggemarnya. Salah satu bukti keberadaan fans West Ham yang seringkali menjadi korban cap hipster oleh khalayak ternyata diakui secara nyata oleh kesebelasan idola mereka.

Pertanyaan bernada menyindir lain pun biasanya terlontar, "Kenapa gak sekalian dukung tim dari Liga Rumania atau Islandia saja sekalian?"

Selama pertandingannya bisa didapat melalui tv atau ilegal streaming, saya rasa tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi. Toh selera orang lain, siapa yang tahu.

Bahkan kalau mau jujur, lebih menyenangkan berdiskusi dengan para penggemar kesebelasan non-mainstream. Jika kita mengobrol dengan penggemar kesebelasan besar, wawasan mereka kebanyakan cenderung terbatas alias itu-itu saja. Bandingkan dengan penggemar klub non-mainstream yang mau tidak mau harus lebih ‘berjuangÂÂ’ demi sekadar mendapatkan berita tim kesayangannya dan setiap hari terpaksa menerima berita dari kesebelasan-kesebelasan besar saja.

Tak bisa dipungkiri, mendukung sebuah atau bahkan banyak kesebelasan non-mainstream dari tiap negara tidak bisa dilepaskan dari cap hipster. Semacam risiko. Begitupun sebaliknya, suporter klub mainstream akan selalu lekat dengan label glory hunter.

Hipster sendiri menurut dictionary.com adalah usually young person who is trendy, stylish, or progressive in an unconventional way; someone who is hip. Sementara arti kata hip yaitu aware of or following the latest trends in music, ideas, fashion, etc

Bisa disimpulkan bahwa hipster adalah kecenderungan untuk memilih pilihan berbeda dari orang lain karena dianggap keren. Apabila sudah banyak orang yang memakainya, hipster akan meninggalkan dan mencari lagi sesuatu yang belum dipakai atau menjadi identitas orang lain. Maka, pelabelan hipster ini akan menjadi sah apabila konsistensi mereka sebagai fans hilang suatu waktu dan berganti mendukung tim lain karena tim yang sekarang ia dukung dianggap sudah banyak yang mendukung dan dianggap tak keren lagi. Selama mereka konsisten, maka cap hipster itu sebenarnya tak terlalu tepat.

Saya sering bercanda kepada teman-teman saya bahwa keuntungan mendukung tim kecil adalah jika tim kita kalah, wajar namanya juga klub kecil. Kalau menang, kita bisa mencela fans tim besar habis-habisan karena dikalahin sama tim kecil.

So, pilihan beberapa orang untuk mendukung tim sepakbola di luar kebiasaan harus dianggap lumrah. Lagipula, apa menariknya hanya melihat pendukung tim yang itu-itu saja? Juga terkadang, orang-orang lupa bahwa ada banyak alasan untuk menggemari sesuatu. Toh, sama-sama melihat dari layar kaca juga.

Teruntuk para penggemar klub non-mainstream: Jangan takut berbeda, karena semuanya adalah masalah selera. Jangan takut dibilang sekadar cari sensasi, buktikan dengan konsistensi!

*Penulis adalah peserta #PanditCamp gelombang pertama. Melihat musik rock dan sepakbola sebagai salah satu nikmat Tuhan yang paling tidak dapat didustakan. Dapat dihubungi melalui akun twitter @Teguhrama

Komentar