Sepakbola sebagai Juru Selamat Kaum Albino Tanzania dari Pembunuhan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola sebagai Juru Selamat Kaum Albino Tanzania dari Pembunuhan

Dikirim oleh: Ajie Rahmansyah*

Di Tanzania orang-orang albino hidup dalam keterasingan. Mereka tak pernah bisa menikmati hidup dengan tenang. Mereka harus menghadapi ancaman pelecehan, makian, hingga kekerasan yang berujung kematian.

Apa yang dialami orang-orang albino di Tanzania bukannya tanpa sebab. Masyarakat setempat percaya bahwa organ tubuh albino bisa mendatangkan keberuntungan dan kekayaan. Bahkan, organ vital mereka dipercaya ampuh sebagai obat peningkat seksualitas. Dalam beberapa kasus tubuh orang-orang albino dilepas saat mereka masih bernyawa.

Fakta ini yang membuat John Haule dan Oscar, dua bersaudara berkulit hitam, mencoba untuk mengubah cara pandang masyarakat Tanzania lewat sepakbola pada 2008 silam. John dan Oscar memandang orang albino tidak ada bedanya dengan orang-orang pada umumnya. Mereka bisa melakukan sesuatu yang normal. John dan Oscar kemudian membentuk kesebelasan khusus orang-orang albino dengan nama “Albino United”.

John yang berperan sebagai pelatih membuka pintu selebar-lebarnya untuk orang-orang albino untuk bisa bergabung. Ia tidak sedikitpun memungut biaya dari kesebelasan tersebut. Misi John dan Oscar adalah mengubah paradigma masyarakat Tanzania terhadap orang albino.

Albino merupakan bentuk kelainan pigmentasi di mana penderitanya kekurangan pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut. Karena tak memiliki pigmen, orang albino umumnya berkulit putih bahkan warna rambutnya hampur sama dengan warna kulitnya. Penderitanya umumnya sensitif terhadap cahaya yang kuat dan memiliki masalah penglihatan.

Apa yang dilakukan John dan Oscar mendapat perhatian dari Pemerintah Tanzania dan Federasi Sepakbola Tanzania. Mereka mengundang Albino United untuk bermain di kompetisi tingkat ketiga Liga Tanzania.

Masalah pertama dari Albino United adalah sulitnya mengatur jadwal latihan. Mereka cuma bisa berlatih pada pukul lima sore hingga tujuh malam saat matahari tidak begitu mentorot kulit mereka. Mereka bisa berlatih di mana saja, mulai dari di pinggir pantai hingga lapangan tanah di sebelah pembentukan konstruksi gedung.

Albino United berlatih dengan begitu sederhana. Mereka hanya memiliki satu bola sepak untuk berlatih. Namun, keterbatasan tersebut tak menyurutkan semangat mereka. “Yan paling penting adalah kami dapat mempromosikan diri dan tujuan kami. Bermain di divisi tiga amatlah luar biasa. Kami bisa mengubah cara pandang dan kesadaran orang-orang bahwa orang albino juga manusia,” ucap penyerang Albino United, Mau, dikutip dari Four Four Two.

Berawal dari Divisi Ketiga

Saat memulai kompetisi, John kesulitan untuk mencari kata-kata motivasi yang tepat bagi anak asuhnya. Mereka terlihat begitu tegang karena ini merupakan pertandingan kompetitif pertama mereka. Sebelum pertandingan, John cuma berkata bahwa semalam ia bermimpi bahwa Albino United akan menang.

Saat masuk ke lapangan, para pemain terkejut karena banyaknya penonton yang ingin menyaksikan permainan mereka. Saat pertandingan dimulai, Albino United memulai pertandingan dengan baik. Namun, mereka kemudian kebobolan satu gol.

Gol tersebut nyatanya mengganggu konsentrasi para pemain. Mereka kebingungan. Kesalahan umpan begitu sering terjadi, yang membuat mereka kalah. Hal ini mengundang tawa penonton yang hadir. Mereka seperti menunggu hal seperti ini akan terjadi. Kejadian-kejadian itu selalu terjadi di tiap pertandingan yang membuat posisi mereka di liga berada di posisi terbawah. Ini juga seolah membuktikan bahwa orang albino memang tidak berguna di Tanzania.

Mwanza, Tempat Pembantaian Albino

Setelah melakoni pertandingan demi pertandingan, tibalah saat Albino United bertandang ke Mwanza. Orang-orang albino memiliki masa kelam karena di Mwanza lah pembunuhan orang-orang albino paling banyak terjadi.

Untuk mencapai Mwanza, Albino United memerlukan waktu 24 jam. Ini merupakan perjalanan tandang pertama Albino United. Baru saja menginjakkan kaki di Mwanza, kerumunan penonton sengaja datang untuk menertawai dan mengejek mereka. Para pemain pun mencoba tegar dan menganggap tawa serta ejekan tersebut sebagai angin lalu.

Pertandingan dihelat di bawah guyuran hujan. Tanpa diduga, Albino United unggul terlebih dahulu setelah mereka menampatkan bola lambung di atas kiper lawan. Para penonton pun terkejut. Harapan untuk menertawai dan mengejek, berganti menjadi decak kagum dan rasa keheranan.

Tiba-tiba saja sejumlah penonton mengalihkan dukungan bagi Albino United. Mereka berteriak “serang” ketika para pemain Albino memegang bola. Hingga pertandingan usai, Albino United mampu menambah keunggulan dan menang 2-0.

Para penonton pun turut senang dengan kemenangan tersebut. Mereka ikut bergabung dengan perayaan kemenangan tersebut. Saat bus kesebelasan meninggalkan stadion, sejumlah penonton menghadangnya. Bukan untuk melakukan aksi kekerasan melainkan untuk bersalaman.

Misi mereka dalam mengubah cara pandang sukses besar hingga saat perjalanan pulang mereka bernyanyi “Kami albino akan menelan kalian.” Kemenanagan ini menjadi satu dari sekian banyak kemenangan dari albino united di divisi ketiga hingga akhirnya mereka finis di posisi keempat.

Trofi Piala Dunia dan Didier Drogba

Pada November 2009, para pemain Albino United mendapatkan kesempatan yang mungkin tidak bisa didapat orang Tanzania lain yaitu melihat pameran trofi Piala Dunia (yang diselenggarakan sponsor minuman bersoda). Mereka memenuhi undangan untuk melihat dari dekat trofi suci tersebut. Pemandangan kontras terjadi di tempat pameran tersebut. Kerumunan orang berkulit putih berada di kerumunan orang kulit hitam. Banyak yang menertawai mereka, tapi tidak sedikit yang meneriakkan nama “Albino United.” Para pemain terlihat gatal untuk mencoba menyentuh trofi tersebut. Hingga akhirnya seorang dari mereka nekat dan mencium trofi itu ketika sesi foto berlangsung. Tak pelak si pemain diusir oleh petugas keamanan.

Pada malam harinya mereka diberi kesempatan untuk melihat timnas Pantai Gading berlatih untuk Piala Afrika 2010. Mereka melihat Didier Drogba, Toure bersaudara, dan Emmanuel Eboue berlatih dari dekat. Satu momen yang tak pernah terbayangkan dalam perjalanan hidup mereka. Mereka terkenal layaknya selebritas. Mereka membuktikan bahwa lewat sepakbola kini orang-orang albino mulai sejajar dengan orang normal.

Albino United berhasil mengubah cara pandang masyarakat Tanzania (meski tidak secara keseluruhan) terhadap orang-orang yang memiliki kelainan kulit. Dari yang menjadi bahan ejekan lalu berubah menjadi pahlawan. “Orang Albino kini bisa menang,” ujar Yassin salah satu pemain Albino United, “Ketika kami kalah mereka akan berkata, ‘oh mereka tak mungkin menang. Mereka semua albino.’ Tapi ketika kami menang mereka berkata, ‘Bagaimana bisa mereka menang.’ Dan saat itulah mereka sadar.”

Setelah itu Albino United mulai membidik target lain berupa promosi ke divisi teratas sepakbola Tanzania, meskipun hingga saat ini hal tersebut belum bisa terealisasikan. Akan tetapi perjuangan Yassin dan kawan-kawan dalam mengubah cara pandang orang Tanzania melalui sepakbola membuktikan bahwa sepakbola adalah olahraga yang dapat mempersatukan bangsa.

Note : Cerita Albino United juga sudah dibuat dalam versi film dengan judul yang sama pada tahun 2010 lalu. Sayangnya film ini tidak mendapat rating yang tinggi.

Foto: theball.tv

*Penulis merupakan mahasiswa psikologi di Yogyakarta berakun twitter @ajielito

Komentar