Toleransi Beragama dari Lapangan Hijau

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Toleransi Beragama dari Lapangan Hijau

Kiriman dari Giri Burhani Ahmad


Menjelang Idul Fitri, lapangan di salah satu kawasan di pinggiran kota Bandung tampak berbenah. Saat Ramadan tiba, lapangan yang dikenal dengan nama “Di Riung Sawah” itu selalu ramai dengan kegembiraan sore hari. Penamaan Di Riung Sawah disinyalir karena lapangan itu dikelilingi hamparan sawah di bagian barat, selatan, dan timur. Lalu di bagian utara, jalur kereta menjadi garis lurus pemisah antara lapangan dan jalanan. Di sisi utara lapangan pun ada sedikit tempat, sekitar tiga meter, yang biasanya dijadikan bench.

Anak-anak yang mejeng ala british, gadis-gadis yang menepi, para tetua yang juga tak mau kalah unjuk gaya. Para pedagang berjajar menjajakkan dagangan mereka di tepi jalan. Si ibu penjual aneka manisan untuk buka puasa terlihat sibuk melayani pembeli. Pedagang gorengan berpacu di antara wajan dan orang-orang yang mengerumuninya. Jarak antara jalan dan lapangan dibatasi rel kereta, dan ada satu jalur rel yang tidak beroperasi lagi yang biasanya dibuat sebagai tribun bagi mereka yang menyaksikan pertandingan. Suasana itu tampak setiap hari di bulan Ramadan.

Di dalam lapangan Di Riung Sawah, yang tidak memiliki ukuran yang sesuai dengan lapangan sepakbola yang semestinya, selalu ada pertandingan yang berlangsung dengan serius walau tak serius-serius amat. Wajar saja, meskipun pertandingan yang dijalankan adalah sebuah turnamen, namun itu hanyalah agenda yang diberikan oleh Kepala Desa untuk menyemarakkan bulan Ramadan. Tujuannya pun tidak begitu jauh pula dengan pemaknaan bulan Ramadan pada umumnya: agar Ramadan tidak serta merta menjadi bulan yang terlepas dari gairah dan api semangat.

Agenda yang dimaksud adalah turnamen sepakbola yang tidak memperebutkan piala, tapi menyuplai kemeriahan bulan Ramadan. Waktunya pun tidak berjalan normal, per babak hanya diberikan waktu sekitar 25 menit saja. Sehingga dalam satu hari yang bisa menggelar dua pertandingan setelah ashar itu akan berakhir sebelum adzan maghrib tiba.

Dalam turnamen yang dinamai “Ramadan Fun” itu, hampir seluruh warga di desa Bedahan ditunjuk sebagai peserta. Dari mulai para remaja hingga bapak-bapak paruh baya. Setiap tim diberi porsi yang sama untuk skuatnya dan dibagi secara adil: yang jago dan yang baru bisa menendang. Uniknya, setiap tahun, penamaan tim selalu berbeda. Jika tahun ini menggunakan nama-nama burung, tidak untuk tahun lalu dengan nama-nama buah. Dan untuk tahun berikutnya pun akan berbeda pula entah dengan nama apa. Mungkin dengan nama merk mobil, merk televisi atau merk celana. Tidak ada yang tahu.

Dalam Ramadan Fun, bukan hanya warga muslim yang terlibat, seperti Johannes yang merupakan seorang kristiani, Fafa yang seorang budhis dan beberapa yang lain yang bukan umat muslim pun tak pernah absen mengikuti turnamen ini. Bahkan, Fafa merupakan warga yang dikenal sebagai pemain bola paling jago seantero desa Bedahan. Menjadi kapten kesebelasan remaja Bedahan dalam beberapa kompetisi antar kampung.

“Bukan karena ini Ramadan Fun, berarti hanya diikuti oleh warga muslim. Mereka yang Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu pun kita selalu ajak untuk memeriahkannya. Ini acara Kami dan Kita,” kata Kepala Desa Bedahan.

Ramadan Fun diikuti oleh delapan kesebelasan yang masing-masing berisikan 15 pemain. Turnamen ini pun tanpa aturan yang rumit. Dalam setiap pertandingan, pemain boleh keluar masuk bebas dengan cara mendekati hakim garis.

Turnamen ini biasa dimulai beberapa hari setelah bulan Ramadan bergulir dan berakhir beberapa hari menjelang lebaran. Diawali penyisahan grup yang terdiri 3mpat kesebelasan dalam dua grup. Dua pemuncak grup berhak lolos ke semifinal, dan berakhir di final. Dengan tidak adanya piala yang diperebutkan, turnamen ini berbekal pendekatan untuk seluruh warga sekaligus dijadikan ajang pencarian bakat bagi mereka untuk nantinya masuk pada skuat utama tim desa jika mengikuti kompetisi antar kampung, walau tidak mengikat secara mutlak.

Setelah berakhirnya bulan Ramadan, bukan berarti tak ada pertandingan sepakbola lagi, justru sekitar seminggu setelah Idul Fitri menjadi puncak kemeriahan Ramadan Fun. Setelah warga kembali dari kampung-kampung halamannya yang lain, ada pertandingan sepakbola yang paling dinantikan. Pertandingan yang digelar pun terasa sangat istimewa, mempertemukan tim yang berisikan para warga muslim dengan tim yang berisikan warga non-muslim. Karena sedikitnya warga non-muslim yang tinggal di desa Bedahan, biasanya warga mengundang warga dari desa lain atau teman dan saudara warganya yang non-muslim.

Pertandingan setelah Idul Fitri ini tidak pernah kehilangan antusiasme dan selalu dipenuhi warga yang menyaksikan. Dalam suasana hati yang masih berbahagia mereka menempati sisi-sisi lapangan dan gerbong yang diparkir di rel mati. Dengan suka cita, baik mereka yang bertanding dan menonton saling melempar tawa. Tidak ada sedikitpun kecanggungan atau emosi yang meledak-ledak seperti Perang Salib, misalnya. Semua larut dalam suasana yang ceria.

“Gol ini untuk hari kemenangan Kita dan Kami!” Teriak Fafa sambil tertawa usai mencetak gol untuk timya, Kita. Kita adalah nama tim untuk warga non-muslim. Sedangakan warga muslim diberi nama Kami. Penamaan tim Kita dan Kami untuk meunjukkan tidak adanya perbedaan, bahwa Kita dan Kami adalah simbol dari peradaban manusia yang tak perlu memandang bulu dalam kehidupan, agar tak ada pemaknaan kata mereka di antara kerukunan manusia dan umat beragama.

Pertandingan sore itu berakhir dengan skor sama kuat 2-2, sehingga diputuskan dilanjutkan adu penalti tanpa perpanjangan waktu.

Dua penendang tim Kami gagal mengeksekusi penalti. Johannes, yang menjadi algojo penentu untuk tim Kita berhasil menceploskan bola dan membawa kemenangan untuk tim Kita. Ia berlari-lari dan dikejar oleh Imran, penjaga gawang tim Kami. Mereka berguling-guling girang sambil tertawa seolah telah menuntaskan jam sekolah yang membosankan.

Seusai pertandingan, seluruh pemain dan penonton yang hadir berkumpul di tengah lapangan untuk membaur dan berbagi tawa bersama-sama. Mereka tidak menunjukkan siapa muslim siapa kristen siapa budhis. Semua seperti sepakat untuk menjadi manusia yang seutuhnya, yang berkembang tanpa memandang sensitif perbedaan yang sangat masif itu.

Ketika malam tiba, biasanya akan diakhiri dengan makan bersama-sama seluruh warga di balai desa. Sangat jelas terlihat keceriaan dan kebersamaan itu terasa hidup melewati waktu. Terasa menyegarkan setiap memandang wajah-wajah yang tak satupun sembap. Kita dan Kami adalah gerbongan yang akan berjalan besama, mengitari sisi lain perbedaan dengan romantika yang tak akan kunjung berhenti.

Di saat Johannes disalami dan dirangkul penuh kasih oleh bapak Sopandi, salah satu tetua sekaligus ulama desa, saya tiba-tiba saja terbangun. Aiiihh… itu hanya mimpi!

Seketika saya amini saja mimpi itu. Sebab saya pikir, kisah toleransi dan saling menggembirakan di antara umat beragama sudah bukan masanya lagi hanya tumbuh dan menari-menari di alam fana. Apalagi jika itu kemudian mengembang dan dimulai dalam sepakbola yang sudah barang tentu penuh kisah humanisme. Terlebih lagi, bukankah sepakbola telah menjadi kultur yang digemari oleh mereka penganut Islam, Kristen, Hindu, Budha, bahkan Atheis?

*Penulis adalah warga Sukasari, Pasirbiru, Bandung. Dapat dihubungi melalui akun twitter: @kiipeeng.

Komentar